Sabtu, 07 Mei 2011

Tiga Generasi Tiga Cinta


Aku ingat malam itu. Malam ketika ku harus menjaga nenekku di ruang ICU rumah sakit di Belitung Timur. Nenekku tersayang satu-satunya nenek yang kupunyai, terbaring koma di satu bangsal di ruangan itu. Selang-selang pernafasan, infus, tabung oksigen, suara mesin menjadi temanku saat itu. Sesekali mesin yang memonitor tekanan darah, supplai oksigen, suhu dan lain-lain ini berbunyi nyaring. Mengindikasikan bahwa salah satu dari besaran yang diukurnya berada diatas normal. Suara nafas beliau kadang parau, menandakan adanya lendir yang menumpuk di paru-parunya. Nafasnya terdengar keras menghentak namun sesekali terdengar nafas yang lembut. Stroke yang menyerangnya benar-benar melumpuhkan seluruh sistem dari tubuhnya. Kesadarannya turun dengan drastis. Kakinya dingin, lengannya dingin, semua di ruangan itu dingin. Sesekali tangannya bergerak mencekram tanganku. Sesekali kakinya juga menghentak.

Kadang, ia seperti tampak mengerti apa yang kuucapkan. Ia tampak bergumam bila aku katakan ” Nenek cepat sembuh ya, nanti kita jalan-jalan ke Pantai Punai, aku janji setelah lulus aku akan pulang nek, aku akan pulang.....”. Kuhabiskan malam itu, dengan banyak berdo’a, banyak membaca surat yang sampai hafal diingat. Surat Yasin dan Arrahman. Membaca Surat ini, semakin dalam, semakin membuatku mengisak tangis. Aku ingat segala dosa-dosaku padanya. Aku ingat betapa aku sering kali membuatnya menangis. Aku ingat bahwa aku sering kali tidak melakukan apa yang disuruhnya. Aku terisak, dan berjanji kuat dalam hatiku.. ” Nek.. cepatlah pulih, aku janji aku takkan melakukan lagi apa yang dulu pernah kulakukan. Aku akan jadi cucumu yang manis.. aku janji, nek.. aku Mohon Ya Allah, Kumohon angkatlah kesulitan ini . hanya Kepada-Mu, aku memohon Maha Kuasa ”. Suaraku mengaji sudah parau, ku kadang menghentikan bacaanku, karena dadaku seperti membuncah. Tangisku tumpah, ku hanya terus berdoa terus berdoa dan terus berdoa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.. tak ada, Hanya Pada-Nya, Tuhanku yang Menghidupkan dan Mematikan ku bisa mengadu.


Ku cium pipinya, bau tubuhnya sangat khas. Memandang wajahnya, wajah keriputnya, dagunya yang tetap tirus, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, alisnya yang segaris, helai rambutnya yang memutih, kulit tangannya yang keriput, ruas-ruas jarinya, kulitnya yang melegam. Ada satu butir air mata yang turun dari matanya. Seakan ia turut sedih dengan kesedihanku. Seakan dia merasakan kegelisahanku. Atau seakan, dia berpesan padaku ” Nina Cucuku, tak usahlah kau menangis ”.
Malam yang lama sekali, lama kupatut-patut wajahnya. Kemudian, aku berpikir, apa yang terjadi dalam komanya itu. Apakah ada seperti tawar menawar, apakah dia akan terus hidup atau menghabiskan perjalanan hidupnya di dunia ini. Apa yang terjadi dalam tidurnya... , adakah malaikat menghampirinya dan membisikkan sesuatu pada telinganya karena Aku seperti merasa kehadiran sesuatu yang lain di ruangan itu. Aku merasakan, seperti Maut datang mendekat, dan semakin mendekat. Ruangan ini dingin, temaram, dan hening.


Lalu kuingat seorang guru ngaji pernah berkata padaku, bahwa jika Allah sayang pada seorang hamba-Nya, maka Allah akan mengambil nyawanya dengan sangat pelan hingga ia tak merasa sakit. Tapi, bila seseorang itu dimurkai oleh-Nya, maka pastinya Malaikat Maut pun akan dengan kasar mengambil nyawanya. Lalu doaku kemudian menjadi .. ” Ya Allah Tuhanku yang Maha Kuasa, jika Kau ingin memanggilnya, aku mohon, ambil nyawanya dengan lembut.. , ampunilah dosanya, ampunilah dosanya, dan berikanlah dia tempat yang indah baginya untuk menunggu keluarganya, aku, ibuku, ayahku, adikku kembali pada-Mu dan kita berkumpul dalam kehidupan yang nyata... kehidupan Akhirat , aku mohon kabulkanlah doaku. Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Ghofur ya Hakim Ya Khaliq. Amien ya Rabbal Alamin”.


Malam yang lama sekali, satu persatu video kenangan bersama beliau seperti terputar di mataku. Aku adalah cucu pertama dari hanya dua cucu yang dimilikinya. Ibuku tersisa dari empat anak yang dilahirkannya tapi meninggal semua. Tak ada seorang pun yang lebih dicintainya melainkan aku dan adikku. Sejak kecil, aku sering dimanja olehnya. Aku tidur bersamanya, dipangku olehnya, ditimang-timang walaupun aku sudah besar. Hanyalah aku cucunya yang sering dibawanya kemana-mana, ditunjukkannya agar orang-orang mencubit pipiku. Ia senang membelikanku boneka atau mainan lainnya. Boneka yang masih disimpannya di lemarinya hingga akhir hayatnya. Waktu ku kecil, kami sekeluarga sering berkendara motor sejauh 90 Km setiap akhir pekan agar dapat menikmati liburan di rumahnya, di pelosok pedalaman Belitong. Ia tak pernah marah, walaupun bajuku kotor sehabis main katapel dengan teman-teman lelaki di pekuburan samping rumah.

Ia sering kali bercerita tentang kehebatan usaha kakekku dahulu. Kakek yang tak sempat kulihat. Pulau-pulau yang dimilikinya, luasnya kebun kelapanya, ribuan butir kelapa yang dikupasnya setiap hari, dagangannya dan sebagainya. Ia bercerita tentang jalinan kerabat dalam keluarga-keluarga besar kami. Ia sering bercerita tentang mitos-mitos yang dipercayai suku melayu pedalaman seperti kami. Ia jago berpantun, pantun khas para melayu belitong. Ia senang berjalan kaki ke rumah kerabat yang jaraknya berkilo-kilo untuk hanya sekedar ngobrol.Makanan favoritnya hanya dua, gangan ikan dan opor ayam. Ia tak pernah bosan dengan makanan ini. Ia senang dibuatkan teh manis yang manis gulanya terasa pekat sekali. Ia juga senang makan telor ayam kampung rebus dan ngemil kue rintak atau semprong. Ku ingat, ketika lebaran kemarin, ku masih sempat minta stok kue rintaknya untuk ku bawa ke jakarta. ia sudah tak bisa melihat dengan jelas, kalau berjalan, kami harus memapahnya. Ia senang menyusun barang-barangnya dan menyimpannya rapih di kamarnya. Ia tak suka meminjamkan barangnya. Ia senang menyimpan emas dan uang di bawah kasurnya sampai uang itu tak lagi laku. ia senang sekali jalan-jalan dengan mobil, bila terdengar olehnya kami hendak jalan-jalan, pastinya ia sudah mempersiapkan bekalnya . bahkan ia sempat ingin menjual rumah dan tanahnya, agar ia bisa membeli mobil untuknya jalan-jalan, walaupun kami tak mengizinkan. Ia senang meminyaki rambutnya dan waktu ku kecil, ia juga sering meminyaki rambutku dengan kelapa tua. mengusap-usap rambutku sampai aku tertidur di dalam ayunan sarung yang digantungkan di langit-langit rumah tuanya.

Ia sering mengajakku mandi di ”aik arongan” , semacam telaga yang tak jauh dari rumah agar akubisa senang main air sepuasnya. Ia memang cukup malas sholat, kadang aku sedih bila ia tak juga beranjak untuk sholat bila adzan terdengar. Mungkin, karena tak cukup bekal agama sejak kecil, yang membuatnya tak mengerti dengan kewajiban sholat. Kadang aku mengingatkan, tapi yach.. itulah nenekku.. walaupun begitu, sesungguhnya nenekku orang yang baik.. baik dengan caranya yang unik.
menurut ibuku, menjelang stroke menyerangnya, ada perubahan dalam sikapnya. Biasanya, ia selalu buang muka bila kami mendengarkan tilawah atau siaran langsung sholat subuh dari Mekkah di TV kabel kami. Membuat kami kadang berpikir, mungkinkah nenekku ini punya ”sesuatu” yang dipasang di tubuhnya yang membuatnya begitu tak tertarik dengan Agama. Walaupun ternyata tidak benar. Beberapa hari sebelum stroke , ia sering kali melihat TV yang memutar lantunan Ayat Al-Qur’an. Ia seringkali melamun. Mungkinkah itu pertanda..

Bila ada teman lelakiku yang datang, ia sering kali melongok ke ruang tamu, untuk menanyakan siapa tamuku itu, tinggal dimana, anak siapa, dan terus-terus begitu. Dengan ekspresi yang lucu dan mau tahu, ia tak jua beranjak masuk kekamarnya dan meninggalkanku. Tapi begitulah nenekku..
Sebagaimana lazimnya para nenek di dunia, beliau ini termasuk nenek dengan tingkat cerewet yang lumayan kronis. Bila disuruhnya aku ke pasar untuk membeli minyak kemiri, haruslah saat itu juga. Bila belum bergerak juga, akan terus menerus diingatkannya. Hal ini, sering membuatku jengkel, dan sering kali aku sengaja mengulur-ngulur untuk membuatnya mengomel.

Nenekku punya hubungan yang tidak harmonis dengan ibuku. Kadang aku menangkap kesan bahwa mereka ini bermasalah dengan mengungkapkan rasa sayang. Ibuku merasa kalau sejak kecil dia tak pernah disayang olehnya. Sedangkan nenekku selalu tampak sedih karena dia merasa tak diperlakukan sebagaimana seorang ibu. Kadang aku malah berpikir, apa iya ibuku memang anak nenekku bila mereka sedang tak akur. Tapi tak ada yang bisa membantah aliran genetik diantara kami. aku malah melihat, ibuku mirip sekali dengan nenekku. Mirip dengan keras kepala, keteguhannya, impulsivitasnya, kekolerisannya, dominansinya, persuasinya, bakat dagangnya, dan banyak hal-hal lainnya. Aku melihat ibuku mirip dengan ibunya, dan aku mirip dengan ibuku. Jadi, aku pun mengikuti sifat mereka. Sama-sama keras kepala, impulsif, moody, perfeksionis namun kadang kami bisa lembut, sensitif dan menyayangi.

Kami adalah perempuan-perempuan melayu yang memiliki keyakinan akan dirinya. Kami adalah Pejuang. Pejuang sesuai zamannya masing-masing. Kami hidup dengan nilai-nilai yang unik. Yang kemudian, memberikan makna dari kehidupan kami di setiap zamannya. Memberikan arti dari seorang Zakiah binti Thalib, Husnawati binti Usman dan juga Nina Kreasih binti H. Sulaiman.Tiga Generasi, Tiga perempuan, Tiga Cinta, Tiga Zaman, dan Tiga Harapan. Yang kemudian, bergerak menuju generasi-generasi berikutnya yang menjadi tugasku berikutnya. Mengalirkan kembali alur genetik kami, nilai-nilai keluarga kami, cinta, harapan, dan kehidupan yang memaknai dalam setiap episodenya.
Kini perempuan berdarah Melayu, berperanakan Cina dan Belanda ini telah tiada. Kamis, 27 Oktober 2009, selepas Adzan Ashar, Ia kembali pada-Nya, pada sang Penciptanya di usia 79 tahun. Dengan Senyum yang terukir di wajah keriputnya. Ia tampak tenang sekali.. tampak tenang dan damai. Alhamdulillah.. Doaku dan doa ibuku dikabulkan-Nya agar ia dipermudah dalam diambil nyawa pada waktu selepas Azan Ashar, sehabis kami sholat berjamaah.


Tak ada lagi seorang yang bertugas membuat ketupat setiap lebaran. Tak ada lagi seorang wartawan yang gemar mencari informasi dari setiap tamu yang datang. Tak ada lagi perempuan yang bertubuh tinggi, berhidung mancung, yang cantik di zamannya itu. Tak ada lagi seorang yang akan pura-pura ” menjebik” bila melihat masakanku, tapi kemudian membuka tudung meja makan untuk mencicipi. Tak ada lagi seorang yang mengomel-ngomel kalau aku bilang aku tidak akan pulang lagi ke Belitong ketika aku sedang ngambek dengan ibuku. Tak ada lagi seorang yang bisa ibuku, adikku dan aku ajak berantem setiap harinya karena sering malas untuk sholat. Tak ada lagi sang dagu lancip itu, yang sering bersungut-sungut menyuruhku tidur tiap malamnya. Tak ada lagi suara dahak dari sang mantan perokok berat.

Tak ada lagi usapan di punggung dan bahuku dan menyuruhku agar kembali pulang ke rumah. Tak ada lagi yang menunjukkan foto kakekku dan omku yang meninggal muda pada setiap orang baru yang datang ke rumah. tak ada lagi yang uring-uringan kalau ibuku meninggalkan rumah dan menguncinya sendirian di rumah. Tak ada lagi yang bawel mengingatkanku untuk segera menyudahi masa lajangku, karena ia ingin segera punya cicit dan dipanggil ” Datuk”. Tak ada lagi teh manis pekat itu.. Tak ada opor ayam.. tak ada Gangan ikan.. tak ada telor ayam kampung rebus.. tak ada kue rintak.. tak ada Pantai Punai... untuk Nenekku yang aku sayangi. Tak ada lagi dia di kamarnya.. dan aku pasti akan merindukannya.. sangat merindukannya sampai ke tulang sampai ke jantung.

aku bersyukur, masih sempat berada disisinya di akhir hayatnya. Kutinggalkan semua urusan kuliah dan pekerjaanku di Jakarta. Karena hanya aku satu-satunya cucu perempuan kebanggannya. Cucunya yang dicintainya.
Hanya Do’a yang hadir dalam setiap lepas sholatku. Agar Ia diampuni dosanya oleh Allah SWT. Agar aku dan keluargaku diampuni dosanya olehnya. Agar ia dilepaskan dari siksa kubur. Dilapangkan kuburannya. Agar setiap amal dan perbuatannya diterima. Agar ia menunggu kami di tempat yang dijanjikan-Nya..Tempat yang dijanjikan-Nya... Amien. . Amien Ya Rabbal Alamin.
Subhanallah, Semua yang ada di Dunia, Dari-Nya, dan akan kembali pada-Nya.
Tuhanku . Ya Rahman.. Ya Rahim.



Nina Kreasih
( 1.30 pagi dan insomnia enggan beranjak dari malamku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar