Rabu, 04 Mei 2011

It's a Novel


Apa makna kata “novel” untuk anda? Pada beberapa orang, novel bisa dimaknai seperti film. Karena novel bisa menghadirkan fragmen-fragmen dalam pikiran mengikuti alur kisah yang diceritakan oleh penulis. Novel menghibur, menemani kesendirian, dan bisa menjadi topik diskusi yang hangat bersama teman. Sedangkan pada beberapa orang lain, novel malah bisa dimaknai sebagai bukan buku. Alih-alih menikmati novel, mereka bahkan bisa saja mencap orang yang membaca novel sebagai membuang-buang waktu dan senang dengan khayalan. Bagiku, topik mengenai makna “novel” kembali mengusikku sesaat sebelum menulis note ini. Karena dua pendapat yang berbeda ini, bisa saja dimiliki oleh orang-orang sekitar kita.

Satu orang teman pernah memandang heran kepada rak buku-ku yang selain diramaikan oleh teksbook psikologi juga dihiasi beberapa jenis novel dari bermacam genre. Satu orang teman yang lain malah mengungkapkan kalimat yang terkesan memandang novel sebagai khayalan dan bukan buku yang bermutu ketika aku menyusuri rak-rak novel di toko buku. Mungkin karena mereka tipe orang yang sangat empiris, mungkin karena mereka belum menemukan novel yang pas dengan kebutuhan dan seleranya atau malah mungkin mereka malas membaca dan buru-buru menarik kesimpulan.

Novel menghadirkan cerita dengan penokohannya. Membaca akan terasa mengasyikkan ketika kita disajikan dengan gaya cerita yang memikat dan mengajak kita untuk memutar film dalam kepala. Dengan alur yang hadir dalam barisan aksara itu, penulis yang baik akan menghadirkan ketegangan-ketegangan dan dialog-dialog yang membuat pembaca merasakan dan menangkap pesan yang ingin disampaikan. Banyak novel yang menuntut penulisnya untuk melakukan riset panjang sebelum dilahirkan. Banyak novel yang bukan fiktif bukan pula non-fiktif. Pembaca dibiarkan untuk mereka-reka garis tipis antara data factual dan imajinasi penulis. Mungkin benar, novel penuh dengan khayalan atau pernak-pernik imajinasi antah –berantah yang kadang sukar dilogika. Tapi novel, bisa jadi tak hanya sekedar khayalan ketika pembaca melekatkan makna “hidup” dalam tokoh-tokoh novel tersebut.

Stephanie Mayer memulai menulis Twilight, saat dalam kepalanya terlintas tentang percintaan manusia setengah vampire, seorang gadis biasa, dan manusia serigala. Saat ia menulis satu kata, satu kalimat, satu halaman, dan kemudian beratus-ratus halaman. Ia tak hendak ingin menulis satu novel. Ia hanya ingin menulis. Itu saja.
Saat Jane austeen menulis Pride & Prejudice, ia juga tak bermaksud menuliskan novel. Tak lazim perempuan menulis novel di zamannya. Ia hanya ingin menulis. Menulis tentang bagaimana perempuan mengendalikan hidupnya di zamannya. Dan cerita-cerita itu mengalir, karena ia melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan sendiri apa yang ingin disampaikannya sebagai perempuan lajang dengan praktik perjodohan yang kental dimasanya.

Pramoedya Ananta toer. Dialah maestro sastra indonesia yang berkali-kali dinominasikan nobel tapi tak pernah bisa memenangkannya sampai akhir hayatnya. Tetralogi pulau buru-nya begitu memukau, mengajak kita larut dalam kegelisahan sang Pribumi bernama Mingke dengan problematika kolonial yang sangat historical. Sang maestro sastra ini harus mendekam menerima penawanan tanpa persidangan karena sesuatu yang ditulisnya. Pastinya, bukan hanya sekedar tulisan tanpa makna

Saat Andrea Hirata menulis Laskar Pelangi, ia juga tak bermaksud menuliskan novel. Ia hanya ingin menuliskan kisahnya, kisah masa kecilnya dengan ungkapan terima kasih sedalam-dalamnya pada sang Ibunda guru dan teman-teman yang membawa jejak dalam sanubarinya. Dan siapapun yang membaca masterpiece dari si Ikal ini, tak mungkin tak akan tersenyum, kemudian tertawa, dan menangis. Cerita Ikal dan kesembilan temannya membuat pembaca terbang ke pulau Belitong, mengecap rasa menjadi seorang melayu, duduk di bangku reot dalam kelas SD Muhammadiyah di kota kecil bernama Gantong. Diingatkan dalam nilai kemuhamadiyahan yang mendasar tanpa kesan vulgar. Sangat nyata, sangat terasa seakan semua indra ikut serta membaca. Bang Andrea telah menyihir banyak orang yang tak suka novel menjadi mulai menyukai novel. Pun bang Andrea telah menyihir banyak orang yang tak suka membaca menjadi mulai membaca. Siapa yang peduli dengan 534 halamannya? Karena pesan yang ingin disampaikannya, begitu kuat, begitu dalam, mengakar, mencengkeram, menampar skema pesimisme dalam kepala, dan mengajak turut serta dalam keindahan warna dunia. Dan lagi-lagi buku ini bukanlah motivation book, atau self-improvement book, atau serial buku psikologi. It’s a novel. Just a novel!

Pada beberapa orang, membaca teks sejarah Indonesia sungguh sangat-sangat membosankan dan tidak menarik. Tapi hal ini tak akan dialaminya, bila ia merasakan bagaimana Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkari-nya bekerja keras menghalau pemberontakan Ra Kuti dan kawan-kawan, menyelamatkan Jayanegara dan mengokohkan kembali bendera Majapahit di Nusantara dalam novel Gajah Mada-nya Langit Kresna Hariadi. Atau ketika ia ikut dalam petualangan menelusuri gedung-gedung dengan simbolis Freemanson di Jacatra Secret. Istilah-istilah dan bahkan pengetahuan baru sangat bisa tersajikan dalam novel-novel ini.

Bahwa novel itu bercerita. Tak ada Kitab Suci di dunia yang tidak bercerita kurasa. Al-Qur’an sangat indah menceritakan kisah nabi Musa dan Harun, kisah Maryam, kisah nabi Yusuf dan Zulaikha, dan kisah-kisah lainnya. Dan dari cerita.. bukankah kita memetik suatu pelajaran? Bukankah kita mengambil kesimpulan? Bukankah kita menangkap pesan?

Aku pernah berseloroh “tak ada orang yang tak suka cerita”. Seorang anak bisa duduk manis mendengarkan sang kakek mendongeng tentang kisah buah mangga. Masih ingat kisah 1001 malam? Sang perempuan (S*****, aku lupa namanya) selalu mengakhiri ceritanya malam itu dengan ucapan “ceritanya akan kusambung esok hari” agar ia bisa mengulur waktu dihukum pancung oleh sang Sultan. Sang sultan selalu menunggu keesokan hari agar tahu kelanjutan ceritanya., begitu seterusnya.
Begitulah bercerita, begitulah mendengarkan cerita.

Begitulah makna dari novel. Begitulah makna dari membaca novel. Betapa dahsyatnya kekuatan kata!

Tentu saja, banyak juga bacaan yang tak bisa ditempatkan dalam waktu kita yang sibuk. Novel seperti apa yang buang-buang waktu, novel seperti apa yang picisan, menyajikan cerita mudah ditebak, dan tak ada satu apapun yang bisa dipetik di dalamnya. Atau novel seperti apa yang sayang sekali terlewatkan dan semestinya menjadi koleksi kita. Mengeneralisir bahwa membaca novel itu tidak berguna terkesan terburu-buru tanpa melihat dan memilah-milah sebelumnya. Novel, akan bermakna bila kita mengindrai maksud dari penulisnya. Novel tidak hanya sekedar novel bila ada jejak dalam hati kita, kemudian disarikan dalam pengetahuan dan tingkah laku. Karena kita tak hanya sekedar pembaca. Pembaca yang pintar dan berpikir tentu tahu bagaimana memaknai kata “novel” baginya.


Sabtu pagi jam 03.00
Pagi buta. Kuingat diskusi tengah malam tentang berbagai penulis mendadak selebriti di rumah kita.
Pagi ini, Aku sedang menulis novel dalam lembaran akademisku
Aroma Vanilla, Randy Crawford, blue t-shirt , Good time biscuit,
Dan mata yang belum sekejap-pun terpejam.
Sendiri.. Dan filosofiku masih tentang cinta seperti udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar