Minggu, 01 Mei 2011

Malam di Anatolia (part1)


Malam di bulan Maret kota Anatolia. Apartemen berlantai tiga dengan warna cat tembok merah bata ini seakan berdiri menghimpit di tengah kota. Aku berdiri disamping jendela. Dengan syal usang dan sepatu dingin, duduk di tataran batu bata. Jaket kurapatkan, dingin seakan liar memasuki pori-pori kulit. Kopi yang kupersiapkan untuk menemani malam tak lagi hangat. Begitu juga dengan setangkup roti panggang isi selai nanas dan beberapa potong coklat putih, tak lagi semenarik beberapa menit lalu.


Aku memperhatikan tepi-tepi jalan. Segerombolan anak muda sedang berlatih tari jalanan yang sedang trend di sudut jalan, seorang wanita tua dengan mantel coklat yang membawa bongkahan roti segar yang baru keluar dari oven toko roti di ujung blok sana, dan seorang wanita yang berusia sekitar 30-an baru saja pulang bekerja dari sebuah restoran di pusat kota. Langkahnya gontai tak bersemangat, tampaknya ia benar-benar lelah menyuci piring dan membantu membereskan dapur dan harus bangun esok pagi berbelanja di pasar ikan tak jauh dari dermaga.

Aku masih memperhatikan mereka dengan mata jernihku. menyisiri gang demi gang yang masih tampak terlihat dari atas ketinggian lantai tiga. Suara mobil ambulan melengking-lengking mendekat dan menjauh menuju pusat kota. Kudekatkan cangkir kopiku, menyeruput dengan pelan. Tapi sudah tak berminat lagi dengan roti isi selai kacang. Mataku menyusuri jalan gang antar apartemen. Kemudian beralih pada plang di atas apartemen tingkat lima di seberang jalan. Plang itu sudah hampir bobrok. Tampaknya ada tulisan di plang itu. Ku coba melebarkan pupilku untuk melihat lebih jelas. Membacanya dengan bergumam. “Kesepian”. Manggut-manggut, aku kemudian kembali memperhatikan plang itu dengan seksama. Tulisan yang dibuat dengan cat semprot berwarna hijau. Kuupikir, tulisan di plang itu paling tidak baru saja dibuat karena warna catnya masih hijau terang. Diam dan mencoba mencerna apa itu arti kesepian. Tapi aku masih tak bisa menemukannya dalam memori otakku. Ada apa gerangan ini?


Aku tak tahu apa itu kesepian? Kata kerjakah, kata bendakah, atau apa? Seperti apakah wujudnya. Masih dengan pertanyaan yang memantul-mantul di otakku, Kuputuskan aku mencoba mencarinya di rak buku di sebelah jendela. Kuletakkan cangkir kopi, dan menyusuri buku-buku. Tapi tidak ada kamus yang diletakkan disitu. Masih dengan pikiran tentang apa itu arti kesepian. Aku memutuskan untuk keluar dari apartemen ini. Dengan harapan, bisa mendapat jawaban pertanyaanku. Kututup jendela rapat-rapat, dan aku pun keluar dari bilik apartemen ini. Menuruni tangga, dan keluar melalui pintu depan. Ku katupkan tanganku erat-erat. Udara jauh lebih dingin diluar. Aku beruntung menemukan syal usang berwarna biru pupus di kotak dekat perapian. Syal itu kukalungkan erat-erat di leherku. Kakiku melangkah menyelusuri tepi gang. Kemudian duduk pada bangku halte bis . masih dengan pikiran-pikiranku, tentang apa arti kesepian. Kubetulkan letak kerah jaketku. seperti apakah wujud kesepian itu?
Apakah ia sesuatu yang berkilau bila terkena cahaya ataukah kusam ketika tak disinari. Kurasa tidak, ia bukanlah satu benda. Lantas apa? Apakah ia sesuatu yang mengalir lewat darah, memasuki otak dan memberikan warna pada pipi? Kurasa tidak, ia bukanlah satu zat. Ia tak ditemukan dalam kotak obat atau di toko rempah bumbu segala rupa.


Lantas apa kah ia? Terdengar bisik-bisik…, di telingaku.
Ada suara angin. angin menyeretkan langkahnya di telingaku. Angin menyapa “ hai, sedang apa kau di halte bis ini?” aku menjawab, “aku sedang mencari jawaban tentang satu hal, kawan”.
“apakah itu? Mungkin aku bisa membantu”

Aku pun bertanya padanya.
Angin menjawab, kesepian sering mendatangi mereka yang tak bisa tidur malam. Angin sering menemani mereka yang meringkuk di tempat tidur tanpa tahu apa lagi yang harus dilakukan selain mencoba tidur. Angin juga berkata, kadang ia menghembuskan nafas kesedihan pada mereka yang baru saja kehilangan. Mereka yang kehilangan kekasihnya, binatang kesayangannya, atau orang-orang terkasihi lainnya. Angin pun berangsut pergi membawa kakinya yang terseok-seok lelah setelah mengelilingi dunia. Ia pamit dan berkata, kalau ia ingin sebentar istirahat di surga. Sebab di surga, ia tak perlu beraktivitas apa-apa.

Aku masih penasaran dan melangkah berjalan ke sebuah taman kota. Duduk di bangku panjang. Langit biru cerah, dan bintang-bintang mengedipkan sinarnya. Ditengah langit, kupandangi bunda Bulan, yang seperti sangat dekat untuk kusentuh. Hari itu, ia sangat anggun dengan jubah perak dan renda keemasan di tepinya. Setelah kusapa ia, Kutanyakan lagi pada bunda bulan. Bagaimana sih wujud dari kesepian itu?
Bunda Bulan yang selalu ramah berkata kesepian selalu mendatangi mereka yang bermuram durja. Muram tanpa hal ihwal sebab musabab. Wajah mereka selalu menekuk ke bawah. Dengan usia 5-10 tahun lebih tua dari usia sebenarnya, mereka sungguh-sungguh tampak tidak bahagia. Kutanyakan mengapa mereka sedemikian muramnya?bunda Bulanpun tersenyum.. dan menjawab “karena mereka selalu merasa gelap diantara bintang-bintang yang terang”. Aku pun menggangguk mencoba memahami ungkapan bunda Bulan.

Mungkinkah ia mendatangi pak Jhon yang bekerja sebagai kuli angkut beras di pelabuhan yang diusianya yang baru 45 tahun. Dia sudah seperti berusia 60 tahun karena sudah bongkok.

lantas aku pun mengakhiri percakapanku dengan Bunda bulan, dan berkata padanya bahwa aku akan berjalan ke suatu dermaga. Dermaga ini letaknya tak jauh dari taman kota. Bunda bulan masih tersenyum padaku, dan ia berkata “pergilah, anakku. Temukan jawabanmu. Sebab kau tau, aku pun bahkan tak pernah berhenti berkilau walau para bintang ini sebegitu riuh di taman angkasa. “
aku membalas senyuman bunda Bulan dan melambai padanya diiringi tawa bintang-bintang yang riuh rendah .


aku berjalan menuju dermaga. Melalui sebuah kebun mawar. Kebun mawar ini dikelompokkan oleh pemiliknya menjadi tiga area. Satu untuk mawar merah, satu untuk mawar kuning, dan satu untuk mawar putih. Malam itu, wangi mereka seakan memenuhi udara. Aku pun menyapa, suara gaduh terdengar. Mawar merah seakan tidak peduli dengan sapaanku.. mereka sibuk dengan cerita sesama mawar merah. Bahwa besok pagi pagi sekali, mereka akan dipetik pak Pito, pemilik dari toko bunga. Kemudian mereka akan dipajang dalam satu buket-buket dengan plastic transparan pada satu toko bunga diujung trotoar. Dan satu orang pemuda tampan dengan jas dan kumis klimis membelinya dengan kumpulan uang 25 sen seharga satu blus indah. Kemudian, ia akan mencium mawar merah ini satu persatu dengan hening yang terasa. Saat itu, ia benar-benar sedang jatuh cinta. Senyum dibawah kumisnya begitu syahdu, ia yakin sekali sang gadis akan sangat senang. Di bawanya buket mawar merah itu ke rumah sang gadis. Mengendap-endap tanpa suara, meletakkannya pada jambangan di tepi jendela. Dan kemudian mengendap-endap keluar, menyaksikan gadis itu berjalan untuk duduk di samping jendela. Menyentuh meja, dan terkejut ketika menyentuh sebentuk buket bunga diatas jambangan. Sayang sekali, gadis ini memiliki penglihatan yang tak baik. Ia hanya bisa meraba dan menghirup udara segar darimawar merah. Merasakan ketulusan dari sang pemuda. Dan tersenyum, entah kea rah mana. Sang Pemuda diam, memperhatikan dengan seksama. Mawar merah seakan ranum dalam hatinya. Ia tersenyum, berharap suatu saat dapat mengumpulkan uang cukup untuk mengajak sang gadis jalan-jalan ke taman kota kemudian minum kopi di kafe seberang. Berjumpa dengan kebun bunga mawar yang masih asyik berceloteh tentang begitu hebatnya mereka. Selalu menjadi pernak-pernik bagi mereka yang sedang jatuh cinta.

Mawar merah masih gaduh dengan cerita keesokan harinya. Mereka merasakan bahwa besok, mereka akan mendapat tugas istimewa. Mawar putih, tampak lebih tenang. Mereka sekali kali menggoyangkan tangkainya ke kanan dan ke kiri. Kemudian menjawab sapaanku dengan suara yang ringan. Mereka bercerita bahwa esok, pak Pito juga akan memetik mereka. Bahwa esok, mereka akan langsung dibawa oleh Renata , pekerja Pak Pito ke sebuah resepsi pernikahan di pinggiran kota. Renata akan menghiasi mereka dengan berbagai pita-pita.

*lanjut to Malam di Anatolia part 2
sedang dikerjakan.

dikerjakan akhir Februari 2011 seperti biasa larut malam.
dan mata sedang enggan berkompromi.
ditemani secangkir kopi panas dan roti panggang selai nanas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar