Minggu, 01 Mei 2011

Aku dan Lelaki Senja


Aku temui dia di suatu senja di ujung jalan teduh yang dipagari pohon akasia. Senja yang damai tanpa hiruk pikuk mahasiswa mengawali pertemuan yang tak pernah direncanakan sebelumnya Wajahnya pias oleh cahaya dan matanya teduh seperti ada danau didalamnya. Mata teduh yang jenaka dalam kacamata yang mencuri perhatianku saat itu juga.. Mata teduh itu tak berpaling pada satu titik di ujung daun akasia. Apa yang dibenaknya, aku mencoba menduga-duga.


Tak ada percakapan. Tak ada satu dengusan. Bahkan tak ada kedipan. Tak ada tarikan di ujung bibir tipisnya. Ia hanya menatap satu titik di ujung daun akasia. Lima, enam, tujuh detik, ahaa… ia mengedip. Tapi masih tanpa dengusan. Tanpa gumaman. Atau sampai menoleh ke arahku. Hanya suara nafas yang lembut dan angin yang menyapu rambut ombaknya yang tampak tak tersisir rapi. Entah apa yang ada dibenaknya,aku masih mencoba menduga-duga.


Titik di ujung daun akasia. Apa yang dilihatnya. Kuperhatikan lamat-lamat. Aaah. .Tak ada apapun yang menarik untukku kecuali daun menguning yang gemulai di sentuh angin. Titik di ujung daun akasia. Apa lagi yang dilihatnya. Apakah yang merebut perhatiannya. Berkas cahaya, di ujung titik itu? Hmm... mungkin saja. Warna jingga senja hanya indah bila diperhatikan lamat-lamat dan menyisakan hangat dan ceria di pori-pori muka.

Aku kembali mencuri-curi mata dengan lelaki ikal dengan rahang kokoh yang masih sibuk dengan benaknya. Apakah ia ada disini? Atau berkelana pada satu cerita silam yang ingin dikenang dari titik ujung daun akasia atau berlompatan pada kemilau mimpi-mimpi yang dikemas sedemikian rupa.


Lamat-lamat.. aku perhatikan dirinya. Tapi ia masih tak bergerak.. masih tak bergumam. Dua, tiga menit, terasa lama untukku memperhatikan dirinya. Sampai satu detik, .. . kreessksss.. suara ransel yang jatuh dari bahunya. Ia menatapku seketika. Mata teduh itu tajam menembus kedalaman hati. Ia menangkap mataku dengan kedalaman rahasia. Ia benar-benar memiliki mata teduh dengan danau terdingin yang pernah kulihat sepanjang usia. Ia menatapku tanpa jeda. Aku tertunduk seketika. Tak berani lagi menatap dia. Mata itu tak kuasa untuk kutantang, lagipula aku mencari-cari rupa kebawah kakiku karena malu rasanya ketika ia tahu seseorang mencuri pandang kepadanya.

Tapi ia masih menatapku dengan pandangan yang tak pernah kumengerti. Aku masih tertunduk menanti bayangannya pergi. Tapi bayangannya masih didepanku.. utuh dengan ombak rambutnya dan kemejanya yang dipakainya sekenanya. Ia tak menyambangiku dengan satu katapun, dan aku terkunci oleh bayangannya yang tak segera beranjak meninggalkanku. Aku diam dalam bahasa benakku dan kurasakan ia pun berkata dengan bahasa benaknya. Kami diam.. dan terkunci pada pandangan yang jatuh pada mata hati yang bertanya-tanya siapa dia. Bertanya Tanya apakah kami pernah saling berjumpa pada suatu ketika entah dimana.


Percakapan diam ini berhenti pada satu detik ketika bayangannya pindah pada angin yang bercengkerama. Kelebatan bayangannya begitu cepat tak terasa. Tiba-tiba kurasakan dingin menyapu telingaku, hangat membungkus dadaku, dan mataku basah pada satu hal yang tak kumengerti sebelumnya. Kutegakkan kepala dan tak kutemui lagi dia. Kucari bayangannya, tak ada.. mataku menyapu penjuru, tapi masih tak ada dia. Tak ada mata teduh itu. Tak ada kelebatan ekor matanya atau ombak rambutnya. dan seketika aku tahu, Malaikat menghadiahi satu senjaku dengan pertemuan dengan dia. Dialah lelaki senja. Bukan untukku bukanlah untukku mereka-reka. Tapi untuk senja yang diam dalam cahaya bening warna jingga. Kutatap berkas cahaya diujung cakrawala, Surya masih turun dari singgasana dan menyimpan rahasia. Aaah.. akankah kutemui lagi dia dalam senja dengan berkas cahaya hangat warna jingga di titik daun akasia.




Nina Kreasih
Diketik pada pukul 22.30. dan aku sedang ingin bercerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar