Minggu, 03 Juni 2012

Ortu

Well, tulisan ini terinspirasi dari kolom Paradi nya Samuel Mulia yang selalu membuat saya tersenyum di setiap minggu. 
Ok, Ortu itu akronim dari orangtua.
 Karena, saya juga belum menjadi orangtua (kecuali suami saya) , maka tulisan ini dibuat dari kacamata anak. Setuju, dengan celotehannya Samuel mulia, saya hanya sekedar menertawakan hidup yang memang tidak adil, tanpa maksud apa-apa koq. Jadi, baca saja, celotehan saya, dan dapat dimaklumi, kalau hari ini saya hanya dalam kapasitas “bernyanyi”.


 Bagian pertama (Tkp: Padang rumput Desa Ban motor, tahun 1995 pukul 09.45) Seorang ibu bersepeda mengejar anaknya yang berlari terbirit-terbirit. Sambil tangannya memegang kendali setang sepeda, tangan satunya memegang sapu lidi. Si anak perempuan, yang masih berusia sekitar sembilan tahun, berlari sekuat tenaga. Ibunya datang menghampiri, melepaskan sepedanya, dan langsung memukuli anaknya dengan sapu lidi. Yang membuat saya bergidik ngeri tatkala si ibu, memanggil anaknya dengan kata “Jaha**m!!!!!!!!”.
 Sontak saya yang lagi duduk istirahat kelas, tak jauh dari lokasi kejadian, langsung merasakan perut yang bergejolak. Saya masih ingat kejadian itu, saya masih kelas 1 SMP, dan cerita ini masih terekam jelas pada ingatan saya. Miris.... !! Bagi saya, berkata kasar kepada anak sendiri, dengan alasan apapun.. entahlah... speechless. Apalagi memukuli. 

Bagian kedua (TKP: mall elit di jakarta, tahun 2011, makan malam)

 “ gue jarang ketemu nyokap”. Bocah bongsor berusia 16 tahun ini, mengemukakan hal ini kepada saya. Ia pun panjang lebar menjelaskan pada saya bahwa sejak masih bayi, ia dirawat oleh puluhan pembantu. Sejak TK, ia hanya mendengarkan suara ibunya yang tertawa saat menelpon teman bisnisnya, saat malam sudah larut. Saat SD, ia selalu menatap wajah riang teman-temannya yang dijemput oleh orangtuanya setiap pulang sekolah. Kemudian, ia bercerita, suatu saat, ia mengirim sms kepada ibunya untuk minta uang. Ibunya malah sontak membalas dengan ucapan “minta papa aja”. Ia pun tidak tahu menahu ibunya sedang dimana, sedang mengerjakan apa, juga kepada papanya yang sibuk dengan dalih memberikan kebebasan finansial keluarganya. 
Pembicaraan dalam keluarga, selalu berkisar tentang uang dan kebutuhan dibumbui kebohongan. Begitu banyak prasangka yang hadir, komunikasi yang mampet, walau sudah memiliki gadget canggih, dan frustrasi yang tidak berkesudahan. Ketika, toh, akhirnya , papa mamanya berpisah, ia masih harus membiasakan kupingnya dimasuki hingar bingar saling caci-maki antar hubungan orangtuanya.

 Bagian ketiga (TKP: diskusi kopi dengan teman-teman sekostan di suatu tengah malam) Sejujurnya sih, say punya banyak sekali cerita yang saya dengar dan mungkin pembaca dengar juga. Dari orangtua yang punya anak emas, lebih sayang yang kedua dari yang pertama, yang meninggalkan anaknya luntak lantung di jalanan, yang menginjak perut anak perempuannya yang hamil diluar nikah, yang menyumpahi anak adalah ritual sehari-harinya, yang mengajarkan anaknya masuk ke rumah orang lain dan kemudian mencuri, yang mengajarkan anaknya berdandan cantik agar bisa dibeli. Uuufhhh.. 

Seperti yang sudah saya katakan diatas, tulisan ini terinspirasi dari paradinya Samuel mulia. Nah, samuel mulia terinspirasi dari tweet yang pernah ia posting yang isinya begini: Orangtua itu sering bertanya tidak pada waktu yang tepat dan tidak diam pada waktu yang tepat”. Yach, pasti ada yang setuju dan yang tidak setuju. Tapi bukan persetujuan, atau like this yang jadi penting. Tapi makna, bahwa apa iya seperti itu ya?

 Menyadur katanya Samuel Mulia Sebegitu banyakkah anak yang tampaknya menganggap orangtua itu begitu menyebalkan? Kalau dalam aturan kesantunan, anak inar. Anak itu selalu di pihak yang keliru. Orangtua selalu benar. Padahal, anak bisa keliru atau tidak, awalnya yaaa... karena pendidikan dari orangtuanya, bukan?  

Dengan aturan kesantunan itu, hrmatilah anak-anakmu. Ohya?? Yang sering didengar bukankah, Sayangilah anak-anakmu. Nah, mungkin yach karena kalimat sayang itu, kekejaman sering kali terjadi, dan senantiasa dijadikan alasan satu-satunya sebuah bentuk dari menyayangi. 

Tulisan ini tidak didasari dengan sebuah tujuan untuk membedakan orangtua sehat dan tidak sehat. Tidak juga dengan tujuan memojokkan orangtua, tetapi hanya sebagai sebuah bentuk kasih sayang anak terhadap orangtua “agar membiasakan diri untuk diam dan mendengar tanpa bereaksi sebelum diresapi” Untuk itu, sebagai anak (yach, kalau nanti saya jadi orangtua, amiiin, saya bisa mempraktikkan semua celotehan saya tadi), saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pembaca.  

My room 22.35 Waiting for my chocalate pastry. Dan keluh kesah saya tentang bagaimana seharusnya hidup. Dan saya kembali tersenyum... Alhamdulilllah.

 sumber gambar.http://www.teach4real.com/wp-content/uploads/2010/05/parents.jpg