Sabtu, 30 April 2011

Psikologi Belajar Psikologi


Apa yang ada dalam benak anda bila mendengar kata “psikologi”? Pertanyaan ini sering saya ajukan kepada rekan-rekan yang sering kali mengutip kata ”psikologi” sebagai istilah yang umum dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Kebanyakan dari mereka menjawab Psikologi adalah ”ilmu tentang jiwa”. Karena memang secara harfiah, psikologi berasal dari bahasa Yunani, Psyche yang artinya jiwa dan logos yang artinya ilmu. Sehingga, tak heran lulusan Psikologi kerap di cap sebagai ”dokter jiwa”.

Walaupun pada kenyataannya mahasiswa Psikologi belajar tentang Psikopatologi seperti Schizhophrenia dan depresi ;tidak berarti menjadi Psikolog adalah sama dengan dokter jiwa karena psikolog bukanlah dokter yang mengambil spesialis kejiwaan atau psikiatris dan psikolog tidak diperkenankan meresepkan obat kepada kliennya. Hal ini juga kadang masih belum dipahami juga bahkan oleh mahasiswa Psikologi sekalipun yang ternyata masih ada satu-dua yang sampai ke berapa waktu masa perkuliahan masih saja belum paham akan essensi ilmu yang sedang dipelajarinya.tapi sudahlah, mungkin karena mereka belum mencermati pembelajarannya. Lantas, apakah yang dipelajari di Fakultas Psikologi kalau bukan tentang jiwa manusia ?

Psikologi adalah ilmu yang relatif baru karena usianya pun didaulat sebagai science belum sampai 150 tahun sejak Wilhelm Wundt mendirikan Labarotarium Psikologinya yang pertama tahun 1879 di Leipzig. Singkat kata, Psikologi mempelajari Tingkah Laku Manusia. Nah, berarti ke semua aspek dari Tingkah Laku Manusia dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah agar dapat diprediksi dan dimodifikasi baik tingkah laku yang overt ( terlihat) atau tingkah laku yang covert ( kognitive ). Inilah yang menjadi sorotan utama pembelajaran di Psikologi. Sehingga, dapat disimpulkan ranah pembelajaran di Psikologi bukan lagi luas tapi sangat luas. Sebanyak manusia di dunia ini sebanyak itulah probabilitas pembelajaran tingkah laku nya. Jadi, selagi ada manusia, disitu Psikologi berada. Tidak hanya sebatas menjadi HRD, Psikolog klinis , Psikolog Anak, Guru Bimbingan Konseling , tapi juga bisa menjadi Edukator dalam Seminar atau penyuluhan, trainer dalam pelatihan soft skill, jurnalis, tim kreatif iklan, Aktivitis Sosial, Peneliti bahkan Entreupreuner. Ada begitu banyak bidang yang bisa dirambah oleh lulusan Psikologi. Untuk itu apa saja yang menjadi mata kuliah, agar lulusan Psikologi dapat berkiprah di Masyarakat? Kemudian apakah mata kuliah itu dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan kehadiran lulusan Fakultas Psikologi?

Pertanyaan yang unik dan menggelitik pikiran saya selama beberapa hari terakhir. Selama lebih dari tujuh semester, dan sekarang melangkah dalam penyusunan Skripsi, ada sekian mata kuliah yang harus ditempuh dan dikuasai. Tetapi sebelum bercerita tentang mata kuliah apa saja di Psikologi. Izinkan saya untuk bercerita, bagaimana bisa saya tercemplung dalam jurusan ini.

Sebelum kuliah di Psikologi, saya adalah lulusan Elektronika Industri yang ternyata sangat tidak saya nikmati prosesnya. Saya tidak memiliki keberanian untuk keluar dari jurusan ini walaupun saya tahu saya sangat tidak suka dengan jurusan ini, saya tahu seharusnya saya tidak berada diantara tumpukan kabel-kabel, osiloskop, solder, PCB, dan lain-lain. Saya tidak berani mengambil keputusan karena jelas saya tidak kenal siapa diri saya. Saya lulus dengan nilai pas-pasan dan saya juga tidak berniat bekerja di perusahaan yang bergerak dalam industri. Saya juga mengalami masalah dilemmatis antara diharuskan kembali pulang ke kampung halaman atau tetap bertahan disini dengan segala kebingungan dalam hidup yang saya rasa cukup berserakan puzzle-puzzlenya.

Terus terang, saya tidak malu mengakui bahwa saya pernah ’depresi’ saat itu. saya merasa tidak berharga, tidak mampu, tidak menarik, tidak memiliki apa-apa, tidak berguna, dan semua perkataan negatif lainnya yang saya tujukan pada diri saya. Sampai suatu saat, kost-an saya yang sepi dengan diskusi kemudian didatangi oleh sekolompok mahasiswi yang membuat saya menemukan satu kepingan puzzle yang hilang. Mereka membuka wawasan saya, dengan diskusi-diskusi panjang yang memberikan inspirasi bahwa saya harus membereskan kembali kehidupan saya. Ada sesuatu yang harus saya lakukan yaitu Belajar. Saya harus kembali ke bangku kuliah lagi untuk mengejar ketertinggalan pola pikir saya . lantas, mengapa saya memilih Psikologi?

Kalimat yang paling saya suka untuk menjelaskan hal ini adalah ” berobat jalan”. Hal itulah yang menuntun saya menuju Psikologi, karena akhirnya saya lelah dengan komentar-komentar miring orang tentang saya dan saya mulai mendengarkan kata hati saya sendiri. Tapi kali ini, saya bisa membuktikan bahwa inilah langkah yang saya mau dan tentu, saya harus bertanggung jawab dengan langkah ini.

Sampailah saya ke dalam barisan perkuliahan sore hari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Fakultas yang menjadi acuan pengembangan fakultas psikologi universitas lainya di Indonesia. Saya membayangkan, kuliah di Psikologi pastilah sangat menyenangkan karena materi-materinya sangat dekat dengan kehidupan. Dan sebagai mahasiswa Psikologi, tentulah saya sering didengarkan pendapatnya menurut pandangan ilmu psikologi. Hal ini membuat saya jadi tampak keren. Walaupun, ternyata saya harus belajar bahwa mengemukakan pendapat atas nama keilmuan itu boleh saja, asalkan benar-benar valid dan reliable.

Saya harus bisa menguasai apa saja yang dipelajari selama perkuliahan dua semester setahun. Dengan durasi tiga bulan persemesternya, perkuliahan serasa seperti ’berlari”, karena sangat cepat tapi tetap menantang sinaps-sinaps elektron di otak saya untuk berkoneksi dan mengikat hubungan antara milyaran neutron sinyal-sinyal keilmuan.

Jangan bayangkan, bahwa Psikologi juga tampak semenyenangkan bila belajar tentang cinta, persehabatan, pernikahan, perselingkuhan yang didapatkan di mata kuliah hubungan interpersonal. Kalau hanya sekedar perkuliahan plus ujian saja kurasa, semua mahasiswa psikologi yang notabene ber-IQ diatas 110 ini akan mendapatkan IP selalu diatas 3. Karena ternyata, yang dihadapi adalah Tugas, Tugas dan Tugas. Psikologi adalah Fakultas yang paling banyak memberikan tugas kepada mahasiswanya setiap semesternya. Perbandingannya, satu tugas akhir semester di fakultas lain itu sama dengan satu tugas chapter yang harus dikerjakan dalam sekian chapter satu semesternya di Psikologi.

Juga jangan bayangkan, bahwa Psikologi tidak berurusan dengan angka, karena dari awal perkuliahan, kami sudah ditempa dengan Statistik untuk behavioral science kemudian Psikometri dan puncaknya di Konstruksi Alat Ukur. Mata kuliah ini adalah momok yang cukup menumpahkan adrenalin saat pengerjaan tugasnya

Jangan bayangkan, bahwa bila anda jadi mahasiswa Psikologi bisa mengerjakan tugas anda sendirian. Karena kebanyakan dari tugas dikerjakan berkelompok dan tentu saja, kerajinan, perilaku anda pada teman, dapat mempengaruhi nilai anda nantinya. Jadi kesimpulannya, berbaik-baiklah pada teman dan bekerja samalah dengan tim yang solid kalau tak mau nilaimu jelek dan harus mengulang tahun depan.

Jangan bayangkan, bahwa belajar di Psikologi, adalah berupa ceramah satu arah. Karena ternyata, kami diarahkan untuk mengkomunikasikan apa yang ada di benak dengan berdiskusi, berkolaborasi. Jadi tidak ada istilah ” gak bisa ngomong” atau perkuliahan yang hanya mendengarkan dosen berceloteh. Metode pengajarannya juga khas. Mana ada fakultas yang kegiatan perkuliahannya banyak diisi dengan nonton film, dengan tugas membuat resensi film kalau tidak di Psikologi. Kami juga bisa diasyikan dengan mata kuliah yang mengundang celetukan-celetukan dan tawa seisi kelas seperti Perilaku Seksual. Karena tak ada kata ”vulgar” dalam kamus Psikologi, semua hal vulgar tak kan pernah menjadi vulgar bila dikemas dalam ranah ilmiah

Jangan bayangkan bahwa semua mahasiswa Psikologi seperti ” dukun” atau ” ahli astrologi” yang langsung tahu kepribadian seseorang hanya dari melihat giginya. Karena kami belajar teori-teori kepribadian yang merupakan aliran-aliran khas dalam psikologi, dan untuk itu, kami bisa lebih cenderung menyetujui aliran yang mana untuk dapat dikuasai lebih lanjut. Setiap gejala bisa diterangkan dari pandangan aliran tersebut, dan sejauh mana kami bisa menerangkannya. Tergantung dari penguasaan setiap teori. Saya sendiri tidak terlalu suka dengan teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud yang selalu melihat sisi kelam manusia, saya juga tidak suka teori behavioris oleh Watson yang mereduksi tingkah laku manusia hanya dengan reinforcement dan punishment. Saya lebih suka pandangan psikologi terbaru yang disebut dengan Positive Psychology dari Martin Selignman yang membahas mengenai memaksimalkan keberfungsian manusia. Walaupun, suka tidak suka kami tetap harus mempelajari semua teori dari semua tokoh. Setiap tokoh ini istimewa, bahkan kami mempelajari biografinya dengan lengkapnya. Seakan mereka itu, sangat dekat.Dalam literatur-literatur yang kami baca, dalam diskusi panjang bersama rekan-rekan, dan dalam perkuliahan bersama professor-professor nan idealis dan nan perfeksionis tiada duanya se Indonesia.

Jangan bayangkan bahwa kami hanya belajar penyakit-penyakit psikologis saja seperti mengapa orang jadi gila, bunuh diri, dan sebagainya. Kami belajar memahami manusia tidak hanya sekedar psikopatologinya tapi juga keberfungsiannya sebagai manusia. Nilai-nilai luhurnya sebagai makhluk Tuhan dengan akalnya. Kami belajar menemu kenali kehidupan kami dalam asyiknya di mata kuliah Psikologi Perkembangan Manusia dengan teori Erik Erikson dan mengkilas balik tahapan sebelumnya, memikirkan bagaimana cara memecahkan virtu tahapan sekarang, dan merencanakan sesuatu untuk tahapan selanjutnya. Satu proses perkembangan yang luar biasa megah di setiap episodenya terputar di setiap perkuliahan ini.

Jangan bayangkan bahwa kami hanya sekedar kuliah. Karena sebagian besar dari kami memiliki multi peran dimana setiap perannya berpeluang konflik. Misalnya, salah seorang teman yang bekerja, ia juga seorang ibu dengan dua anak, seorang istri dan seorang mahasiswa Psikologi dengan tugas-tugas menggila. Ia harus mencuri-curi waktu agar bisa belajar dan mengerjakan tugas. Salah satu cara effektif bagi kami adalah memaksimalkan fungsi e-mail. Karena sulit untuk bertemu di luar kuliah untuk mengerjakan tugas. Tapi tak semua rekan yang multi peran ini, berantakan kuliahnya lho. Bahkan ada beberapa orang, yang secara prestasi cukup bagus pencapaiannya. Walaupun juga banyak juga, yang berguguran.

Jangan bayangkan bahwa kami hanya sekedar bicara teori. Kami harus turun ke masyarakat untuk mencari jawaban atas fenomena-fenomena. Lulusan Psikologi paling ditempa dalam merumuskan penelitian. Berbeda dengan lulusan Fak. Psiko Universitas lainnya, yang menjadi pengoperasi alat tes. Kami ditempa untuk membuat alat tes. Walaupun, mengerjakannya juga dengan termabuk-mabuk, begadang, menginap di rumah teman, dan seribu satu cerita lainnya.

Jangan pernah membayangkan kami hanya belajar di ranah ilmu psikologi saja. karena bidang lainnya yang bersinggungan dalam diagram venn menjadi kajian juga. Bidang-bidang yang bisa dikemas dalam pemahaman psikologi. Kami mempelajari sosiologi,pendidikan, periklanan,perilaku konsumen, entreupreuner, perdamaian, perempuan dan gender, antropologi dan yang jelas adalah Filsafat. Ini adalah salah satu mata kuliah favoritku,karena belajar filsafat seperti belajar mengenai mempolakan pikiran ke dasar. Rumit tapi mempesona.


Juga jangan pernah membayangkan bahwa semua mahasiswa Psikologi adalah orang yang paling menyenangkan, bisa diajak curhat , perhatian dan baik hati. Karena mahasiswa Psikologi adalah manusia. Dan karena manusia itu Unik. Maka, dengan kepribadian yang berbeda-beda juga tidak bisa digeneralisasi sedemikian rupa. Toh, banyak juga orang-orang Psikologi yang juga bermasalah secara emosi seperti sulit mengendalikan amarah, cenderung moody, cenderung neurotik, sok tahu, tidak percaya diri, gampang menjudge orang, merasa dirinya lebih pintar, dan lain-lain. Bahkan sampai sekarang, kami juga masih tercengang-cengang dengan fenomena dosen-dosen yang sekiranya masih ada yang seperti itu. tapi yach, dosen juga manusia bukan??

Jangan pernah membayangkan bahwa lulus dari Strata Satu Psikologi dapat langsung membuka praktik sebagai Psikolog. Karena ternyata perjalanan masih panjang. Kalau berminat menjadi Psikolog berarti harus menempuh dua tahun pendidikan Profesi S2 di setiap peminatannya. Ada Psikologi Klinis dewasa, klinis anak, pendidikan, Psikologi industri dan Organisasi, dan juga Sosial.Dengan biaya yang juga fantastis untuk ukuran kantongku. Seorang Psikolog harus disumpah dan mematuhi Kode etik Profesinya.Bila tidak berminat menjadi Psikolog, ada bermacam pilihan spesifik terapan psikologi yang bisa dipilih seperti Psikometri, intervensi sosial, dan lain-lain.

Oya, yang terakhir adalah jangan pernah bayangkan bahwa menjadi bagian dari Psikologi itu sama dengan pluralisme, sama dengan sekulerisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya. Satu hal, dengan mempelajari Psikologi. Kami melihat Bukti Kebesaran Allah yang terbaca jelas dalam tingkah laku manusia. Kami melihat bahwa Allah menciptakan perbedaan sejelas-jelasnya agar manusia berpikir. Dan kami belajar menerima perbedaan itu dengan menyingkirkan barrier-barrier dalam skema kognitif kami. Kami terbiasa untuk tidak men-judge seseorang hanya karena satu dua aspek yang berbeda dari orang kebanyakan.


Itulah mengapa, anak psikologi sering dianggap ” nyeleneh” bila dia malah berpandangan berbeda dalam menyikapi satu fenomena seperti homoseksual, PSK, anak luar biasa, dan lain-lain. Bagi kami, agama bukanlah barrier yang menjadi dalil untuk menghujat seseorang. Karena judgement dan diskriminasi tak pernah menjadi solusi. Dan ini bagiku adalah satu kemewahan tersendiri yang hanya dirasakan bila kita memahami bahwa dengan belajar psikologi kita juga akan belajar untuk tidak menjugment diri kita sendiri. Kita belajar untuk mengenali bahwa sebagai manusia, kita dibekali dengan potensi-potensi luar biasa yang mengokohkan definisi kita tentang siapa diri kita.

Kurasa terjun menjadi individu Psikologi, adalah sebuah proses yang tak pernah bertemu pada satu titik karena kita akan menemukan titik lagi sebagai tujuan, menemukan lagi dan terus begitu

Kembali ke pertanyaan utama diatas, jadi sebenarnya dengan mata kuliah yang disajikan di kuliah Psikologi apakah lulusan Psikologi dapat berkiprah di Masyarakat. Maka menurut saya akan dikembalikan kepada faktor-faktor individual dalam memahami ilmunya, dan niat tulus untuk berkiprah di berbagai bidang di masyarakat. Karena idealnya, Psikologi tanpa berkiprah untuk kesejahteraan manusia bukanlah ilmu. Psikologi dengan mengendap dalam tempurung otak belaka, juga bukanlah ilmu. Kami ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat di setiap aspeknya. Karena di mana ada manusia, di situlah Psikologi berada. Kami yang belajar di dunia akademis tentang tingkah laku manusia toh juga harus belajar dari kehidupan nyata. Bahkan belajar dari sorot mata individu-individu rendah hati yang kaya pengalaman tapi tak tau apa “labelisasi” dari pengalamannya itu.

Karena Psikologi dalam belajar Psikologi begitu dinamis, luas, mengakar, mendalam, menguniversal, mengkualitatifkan, mengkuantitatifkan, mengabstrakkan, mengkongkritkan, memfilosofikan, merumuskan, mempertanyakan dan menemukan jawaban.

Dengan segala kemabuk-mabukan kami di situasi tugas, keblenger-blengeran kami di tumpukan buku-buku tebal berbahasa Inggris, kepusing-pusingan kami membaca jurnal, kecemas-cemasan kami ujian, kedag-dig-dug-an kami menunggu nilai, kerela-relaan kami menabung untuk membayar SPP, keterbirit-biritan kami berlari sana-sini antara pekerjaan, kuliah dan keluarga, keseruan diskusi-diskusi panjang kami, keindahan dialog perkuliahan dengan sang dosen mempesona. Psikologi adalah satu hal yang paling spesial dalam hidup kami. Sampai mati pun, kenangan dalam rumitnya Psikologi dalam belajar Psikologi tak akan pernah terhapus dalam memori otak kami.

Nina Kreasih
Diketik sehabis ujian comprehensif Pelatihan. Pulang larut malam, flu berat dan mataku enggan terpejam.

Apakah yang Anda Butuhkan Hanya Cinta?



Hanya ada sedikit (jika ada) kata lain yang muncul lebih sering dalam lagu-lagu, kisah-kisah, film, dongeng dan kehidupan sehari-hari kita dibandingkan dengan kata ”cinta”. Akan tetapi pertanyaan yang seringkali ditanyakan oleh orang kepada diri mereka sendiri (dan juga kepada penulis kolom-kolom saran) adalah ”Bagaimana caranya saya tahu kalau saya benar-benar jatuh cinta?

Jawaban yang umum adalah ” Kalau anda masih bertanya, Anda tidak jatuh cinta.”. hal ini lucu, tetapi jangan yakin dulu bahwa anda tepat hanya karena anda begitu yakin kepada diri anda bahwa anda tidak perlu bertanya.

Anda mungkin akan menemukan kegunaannnya jika anda mempertimbangkan apa yang telah dipelajari mengenai topik ini pada penelitian yang empiris.

Terbangkitnya emosi Belum Tentu Cinta

Ketika anda merasa dekat dengan seseorang yang menarik bagi anda, mudah saja untuk sulit membedakan beragam keadaan tergugah dengan sesuatu yang disebut dengan Cinta.
Elain Hatfield, seorang Psikolog sosial pernah mengajukan bahwa kita sering kali jatuh dalam nafsu dan menginterpretasikannya sebagai cinta. Secara lebih umum, penelitian mengenai kesalahan atribusi emosi ini mengindikasikan bahwa keteransangan psikologis yang terkait dengan kegembiraan, takut, kebahagiaan , kecemasan dan bahwakan marah dapat disalah artikan.

Pikirkan mengenai pengalaman umum dalam suatu kencan (mulai dari pegangan tangan, saling memandang, berciuman, menonton, hingga mengendarai sepeda motor) yang dapat berpotensi membangkitkan perasaan secara psikologis. Anda mungkin melabel perasaan anda sebagai keteransangan seksual, rasa takut, atau kegembiraan, tetapi juga sangat mudah untuk menamainya sebagai....Cinta.

Jika anda menyadari bahwa anda dilanda emosi dan berpikir bahwa anda pastilah dimabuk cinta, ambil nafas yang dalam dan pertimbangkan penjelasan alternatif mengenai apa yang mungkin anda rasakan.

Apa yang anda ketahui tentang Dia?

Sulit untuk mengenal seseorang secara mendalam. Tidaklah tepat memberikan kuesioner yang detail bagi calon pasangan kencan, kekasih, ataupun pasangan hidup. Suatu alternatif yang sederhana dan masuk akal bagi dua orang yang belajar sebanyak mungkin untuk bisa mengenal satu sama lain adalah dengan berbicara, menulis, chatting lewat internet (seperti Meg Ryan dan Tom Hanks dalam film You’ve Got Mail), atau hal lain apapun yang menurut mereka nyaman. Dan jika suatu topik yang spesifik sangatlah penting bagi anda-agama, politik, seks, vegetarianisme atau apapun –lebih baik menemukan ketidaksesuaian di awal hubungan daripada belakangan.

Tampaknya canggung jika bertanya mengenai hal-hal tersebut, tetapi lebih baik merasa canggung sekarang daripada terkaget-kaget secara tidak menyenangkan dibelakangan.

Apa makna Cinta bagi Anda?
Lihat kembali pada definisi dari keenam jenis cinta, ketiga sudut dari segitiga cinta, dan konsep cinta mengenai cinta sebagai nasib dan takdir. Bagi anda, apakah cinta cukup dengan persahabatan, permainan yang menyenangkan, pengaturan logis, pembenaran seks, atau sesuatu yang lain?

Apakah pasangan anda mendefinisikan cinta dengan cara yang sama dengan anda?

Jika anda berdua cocok dalam hal ini, anda kemungkinan akan menemui lebih sedikit permasalahan percintaan dibandingkan jika anda berdua memahami cinta dengan cara yang cukup berbeda.

Apakah Cinta Sempurna merupakan kemungkinan yang Realistis?

Dalam model segitiga Cinta dari Sternberg, kecocokan yang ideal atau sempurna adalah antara dua individu dimana Keintiman, Passion dan komitmen semuanya hadir dalam kekuatan yang setara. Apakah hal itu mungkin?
Sedikit sekali hubungan yang sempurna, tetapi cinta sempurna tentulah suatu yang ideal dan layak diperjuangkan. Paling tidak, dua orang yang serius mengenai satu sama lain perlu tahu dimana tepatnya tempat masing-masing dari mereka di dalam segitiga tersebut.

(Ide dari Baron& Bryne ( 2005). Social Psychology. Allyn & Bacon: New York).

Essai Psikologi Konsumen untuk Segmentasi Kaum Gay


To be gay or lesbian is to be marked by the larger culture, on the one hand, and invisible, on the other” ( Craig Halsoff, 1998)


Gay dan Lesbian adalah satu dari pengkategorisasian orientasi seksual manusia. Orientasi ini dikecam dan dimarginalkan tetapi ada dan perlahan mulai menampakkan dirinya. Menurut Dede Oetomo (Pendiri Majalah Gaya Nusantara dalam indonews) bahwa jumlah para homoseksual di Indonesia berkisar dua juta atau 1% dari populasi penduduk Indonesia.Tentu saja jumlah ini, bukanlah jumlah yang sedikit, walaupun sulit untuk melakukan survey tentang populasi gay ini di Indonesia dikarenakan tak banyak Gay yang mau mengakui orientasi seksualnya. Kaum ini juga memiliki kebutuhan yang sama dengan kaum heteroseksual. Mereka juga membelanjakan uangnya, berekreasi, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bahkan, pada beberapa kota besar di Indonesia, kaum Gay juga memiliki pekerjaan yang memiliki penghasilan cukup besar. Mereka banyak bekerja di bidang kreatif, administrative, maupun pekerjaan lapangan.Walaupun belum ada survey terakhir mengenai berapa besar rata-rata penghasilan mereka tapi bisa dilihat bahwa sebagian besar dari mereka merupakan single income tanpa tanggungan yang merupakan segmentasi market khusus yang potensial dan menarik untuk ditelusuri.


Menurut penelitian Trisika Putri Hapsari (2007) ditemukan bahwa kelas dan status sosial sangat penting bagi mereka . Karena biasanya pola konsumsi kaum gay memang senang menghabiskan uang untuk produk-produk luxurious (Wardlow,1996). Mereka sadar betul tentang kebutuhan untuk self-image dan merek yang bisa menaikkan kelas sosial mereka (Miller,1990 dalam Wardlow,1996 ). Mereka juga dikenal sebagai kelompok yang sangat loyal dengan produk ( Trisika (2007) juga menemukan bahwa Kaum gay di Jakarta memiliki gaya hidup dipengaruhi oleh kehidupan gay di luar Negeri. Gaya hidup ini menuntut kebutuhan untuk bersosialisasi dan merasa nyaman dengan komunitasnya sendiri dengan tidak merasa terdiskriminasi karena perbedaan orientasi seksualnya (Lugosi, 2007).

Oleh karena itu, bagi para marketer yang jeli meliat pe.luang ini mulai membuka beberapa lokasi-lokasi yang friendly bagi mereka untuk bersosialisasi. Lokasi-lokasi ini bisa berupa bar, pub, club atau fitness club yang bisa dilihat sebagai alat sebuah subculture untuk menciptakan suasana mengekspresikan diri mereka tanpa mendapat perlakuan negative oleh hetero (Wardlow,1996)..Lokasi-lokasi yang bisa merupakan tempat untuk segmen hetero namun memberikan kenyamanan untuk mereka hang-out (gay friendly) atau memang lokasi yang dikhususkan untuk komunitas mereka. Salah satu, lokasi yang paling sering didatangi untuk nge-ber (istilah untuk hang-out dalam komunitas gay) adalah Bar. Dalam penelitiannya tentang partisipasi konsumen dalam bidang hospitality, Lugosi (2007) menemukan bahwa konsumen gay dan lesbian memang banyak berperan dalam konsumsi hospitality seperti bar, café dan restoran.


Ada beberapa bar yang didirikan khusus untuk komunitas ini di Jakarta dan Surabaya. Salah satu bar yang terkenal adalah Apollo Bar and Lounge yang merupakan vendor dari Apollo Bar di Las Vegas, US. Apollo berada di lantai 1 (UG) Bellagio Mall di Mega Kuningan, Jakarta. Bar ini memberikan suasana ekslusif dan berbeda untuk komunitas Gay dan Lesbian. Apollo menyediakan esklusif bar untuk tempat berkumpul selepas kerja dengan menikmati koktail dibawah pencahayaan yang temaram. Apollo beroperasi pada hari Selasa hingga Sabtu dari jam 7 malam hingga pagi.Apollo menyediakan DJ yang akan memainkan music dari klasik 80an, R & B, house, disko, dan new wave.


Apollo memiliki ruangan yang luas dengan fitur island bar, private sofa untuk pesta private, ruang dansa yang luas, dan juga panggung untuk dance performance dan kontes. Apollo menyediakan hang out di bar, pengunjung bisa bersantai di sofa ataupun melantai. Ada beberapa program yang ditawarkan oleh Apollo yang dapat dinikmati oleh para Gay. Salah satunya adalah Gay Nite Party, Men Fashion Show, Sexy Dancer, dan satu hari yang dispesialkan untuk Lesbian Nite di Hari Jum’at (www.apollo-jakarta.com) . Bahkan mereka mengklaim bahwa mereka satu-satunya Bar di Jakarta yang menyelenggarakan spesial khusus untuk Lesbian Nite .


Pada gambar iklan pembukaan Bar ini (pada lampiran) dapat dilihat bahwa mereka memposisikan segmentasi mereka dengan memisahkan dua bagian gambar dan mengillustrasikan apa saja yang akan mereka performakan disana. Untuk Lesbian, ada Red and Black Party dengan gambar dua perempuan yang salah satunya diikat matanya ( bagian dari permainan touching oleh sexydancer) dan White sensation Party dengan tiga laki-laki muda berwajah manis .


Sedangkan pada iklan selanjutnya, Apollo masih menempatkan dua gambar yang terpisah dalam satu kemasan antara segmentasi lesbian dan gay. Apollo menerapkan effect dari sexual appeals homoseksual sama seperti iklan-iklan untuk konsumer lovemaps (Reichert & Lambiase,2003). Untuk para gay dan lesbian, pastinya sangat akan tertarik dengan efek seksual yang ditawarkan dan terlihat oleh para model di iklan tersebut. Dengan model yang mengenakan celana renang , berotot dan bertelanjang dada. Atau untuk lesbian, dengan model yang mengenakan dress tanpa tali yang menampakkan bagian dari dadanya.


Apollo menyadari dengan segmentasi yang ada namun sulit baginya untuk mengiklankan diri secara terbuka. Mereka harus berhati-hati dalam memasang iklan di media tertentu. Oleh karena itu, pihak marketing Apollo gencar sekali memasang iklan yang dimuat di majalah khusus para gay seperti Gaya Nusantara atau majalah-majalah life style seperti Matra atau Cosmopolitan ,melalui website jejaring khusus para gay seperti www.itsmylifeclub.com atau www.boyzID.com, dan juga melalui blog-blog para gay man yang mempromosikan lagi kepada rekannya sesama gay. Hingga tak heran, setiap malamnya bar-bar segmentasi khusus ini selalu ramai dikunjungi oleh segmentasinya seperti yang dipaparkan dalam penelitan Lugosi (2007) tentang gambaran budaya bar gay. Bahkan berdasarkan testimoni yang hadir di blog-blog para gay dan dari pendapat beberapa rekan gay, mereka setuju bahwa konsep Apollo adalah konsep Bar yang paling trendi dan menghadirkan perasaan berkelas tersendiri bagi consumernya. Sampai saat ini, di usianya yang belum satu tahun, Apollo telah mampu menjadi yang terdepan dalam segmentasi tempat hang-out khusus gay di Jakarta.


Referensi

Hapsari ,Trisika Putri (2007) .Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk pada komunitas gay di Jakarta. Perpustakaan Universitas Indonesia UI - Tesis S2

Lugosi, Peter (2007) .Queer consumption and commercial hospitality Communitas, myths and the production of liminoid space. School of Services Management, Bournemouth University Poole. UK

Lugosi, Peter (2007) Consumer participation in commercial hospitality. School of Services Management, Bournemouth University, Poole. UK


Reichert, Tom & Lambiase, Jacqualine (2003) Sex in advertising: Persprective on the erotic appeal. Lawrance Erlbaum Associates, Inc. New York.

Wardlow, Daniel.L (1996) Gay, Lesbian and Consumer Behavior:theory Practice and Research Issues in Marketing. Hawroth Press, Inc. New York.

www.gayanusantara.com
www.itsmylifeclub.com
www.boyzID.com
www.apollo-jakarta.com