Kamis, 10 Januari 2013

RSBI dari siapa untuk siapa??



Visi dasar dari pendirian RSBI tentu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam visinya tersebut, RSBI menawarkan sebuah konsep pengajaran yang berbasis International curricullum. Metode pengajarannya yang berbeda, memang diperuntukkan bagi orangtua yang ingin mempersiapkan anaknya lebih cakap lebih terampil berbahasa Inggris. dalam praktiknya ternyata, konsep baik ini, dicurigai sebagai konsep yang melunturkan nasionalisme anak bangsa. 



konsep ini pun dituding, membuat anak yang dari keluarga mampu, jadi punya kesempatan lebih pintar lagi. diskriminasi lah, kalau kata yang pihak kontra.

Jadi permasalahan, ketika RSBI hanya sekedar dagangan.
tengoklah sekolah-sekolah yang asal mengklaim bahwa mereka sudah berstandar internasional. Lantas, memasang biaya pendidikan yang membumbung tinggi yang tak terjangkau oleh keluarga Indonesia kebanyakan. orangtua mana yang tak ingin, anaknya berbicara bahasa inggris dan jago science juga.
Padahal, guru-guru sekolah ini bahkan masih ngak ngek ngok berkomunikasi dalam bahasa Inggris. koq, berani-beraninya ya, mengklaim sebagai standar Internasional.

ini pendapat subjektif ya,  cmiiw:

1. Nasionalisme , tidak bisa diukur serta merta karena sang anak belajar bahasa asing. Zaman sudah berubah, benda modern apa yang sekarang tidak terbumbui dengan kosa kata asing. mereka akan diajarkan mencintai budaya mereka sendiri, justru ketika mereka bisa merasakan budaya asing, dan kembali "mengakar" .  anak-anak yang lahir dari orangtua Indonesia atau campuran, namun dibesarkan di luar negeri sekalipun tidak menjamin bahwa mereka tidak memiliki kecintaan terhadap Indonesia.  Bahkan, banyak orang yang telah menyelami budaya di luar negeri, kembali ke tanah air, malah menikmati mempelajari budaya negeri sendiri. 

Dalam pendidikan, tentu, ini bukan tugas mutlak para guru. Peran orangtua, justru lebih krusial dalam menumbuhkan semangat kebangsaan.  Saya sendiri kadang suka sewot, kalau apa-apa semua harus dibebankan pada sekolah. Halo halo, orangtua... yok ayok sama sama kita didik anak kita. bukan Cuma diajak upacara bendera. Alih-alih diajak nonton dangdutan tetangga, sekali-kali bisa mengajak anak-anak mendongeng bersama. Insya Allah, lebih manfaat nemplok di hati. 

2. Keluarga kaya, malah lebih punya kesempatan untuk anaknya lebih pintar. inikan diskriminasi?

lho, bukankah kita tahu. umpamanya nich ya, seorang anak mau belajar tari balet. kan, kita tahu, bahwa balet itu sekolahnya mahal, dan perlengkapannya juga mahal. apakah anak dari kalangan yang tidak mampu, akan sanggup masuk ke sekolah balet dan belajar disitu? bahkan untuk sekedar mengetahui, bahwa ia punya keluwesan menari, dan bisa saja menjadi penari pun terkadang mereka tidak.

kesempatan itu memang akan bicara dengan sendirinya.
saya ingat, ketika masih kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ada program internasional yang diselenggarakan oleh fakultas. Bahasa pengantarnya memang bahasa inggris, mereka pun memiliki waktu belajar di dua kampus, di UI dan di Australia. bayaran SPP nya tentu pakai dollar. Tapi materi dalam pembelajarannya, sama dengan program Reguler, dan Ekstensi sekalipun.

Apakah reguler tampak terdiskriminasi? saya rasa tidak, toh, secara kualitas, mereka yang belajar di program internasional belum tentu lebih baik daripada yang di kelas reguler.

Ketika kuliah dulu, saya menjumpai rekan-rekan kuliah dari berbagai latar belakang SMA. Ada yang dari SMA favorit Jakarta, jalur PMDK, pesantren, SMA standar Internasional, atau bahkan SMA dari pelosok desa. Ibunya sendiri adalah buruh tani yang pendapatannya  sebulan pun jauh daripada uang jajan seminggu anak-anak yang sekolah di internasional ini. 

Mereka-mereka ini lah yang justru malah bisa mengirim uang ke desa. Dari beasiswa yang didapatkannya, bahkan satu orang bisa sampai dua-tiga beasiswa, dari pekerjaan mengajar privat yang dilakoninya, tidak menyurutkan prestasi akademis mereka di kampus. 

Nah, bicara tentang diskriminasi, baru-baru ini saya mendengar salah satu SD favorit di kota saya ini menggelar acara study tour ke jakarta dan jogja.  Anak kelas 5 dan 6 SD lho... mereka tentu dengan senangnya bisa jalan-jalan ke tempat-tempat wisata di Jakarta dan Jogja.  yang saya tahu, study tour ini memang tidak diwajibkan, tetapi tentu saja hal ini, toh, akan menyisakan perasaan iri bagi anak-anak yang tidak bisa ikut karena orangtuanya tidak mampu.   . Bagi beberapa orang, mungkin akan mudahnya wara-wiri Belitong-Jakarta, ketika liburan tiba. Tapi toh, pada kebanyakan orang Belitong  lainnya, ada yang belum pernah meninggalkan pulau ini. Bayangkan, bagaimana ekspresi mereka ketika teman-temannya bercerita tentang asyiknya perjalanan wisata mereka. 

Sewaktu SMA pun, saya yang sempat merasakan duduk di Kelas Unggulan di sebuah SMA favorit di Jakarta, merasakan hal yang sama. Mengapa di”label” anak unggulan, anak biasa? Mengapa di”label” lagi nich, anak IPA lebih pintar daripada anak IPS atau Bahasa? 

Inilah Persepsi yang mengsteoretype. Skemanya nyantol di kepala. Wiii.. anak unggulan, IQ nya tinggi. Wiii..anak IPA, lebih pintar. Sama seperti definisi kecantikan, siapa yang membuat definisi ini?
They are very adaptable .Hati-hati dengan LABELISASI.. :)

3. Guru-guru yang sedianya sudi meng"akar"kan dirinya menjadi pendidik bukan hanya pengajar.

Geregetan dengan guru-guru sekarang yang ada aja dijumpai menggunakan pendidikan sebagai ladang pencarian dana pribadi. Huhh,  kalau mau kaya, jadi pengusaha aja.

Senyum-senyum sendiri, lihat beberapa sekolah di daerah yang sok ikut-ikutan meng"internasionalkan" dirinya. hehehehe, ayo, gurunya coba tes toefle.. berapa skornya? apalagi kalau disuruh menyampaikan materi.  Sebagian pasti dorong-dorongan.

RSBI “abal-abalL" inilah yang sulit dikontrol, dan menyebabkan RSBI dihapuskan.   Berdasarkan pendapat bahwa RSBI tidak sesuai dengan UUD 1945, maka RSBI dianggap menyebabkan klasifikasi pendidikan di Indonesia.  Menyebabkan ketidak adilan dalam pendidikan, begitu pendapat masyarakat. Hal ini, kemudian dimahfumkan oleh MK, yang kemudian membubarkan RSBI.

Ok, pendapat saya secara mendalam ya..

aaah.. anak-anak hanya akan jadi penonton sahaja. dituntun ke kiri, ayuk.. didorong ke kanan juga ikut. Kita-kita ini, manusia dewasa ribut dengan hal-hal yang seakan sebuah pembenaran.  


saya sendiri sebagai pribadi yang cukup lama berkecimpung dalam dunia pendidikan ala anak-anak Jakarta itu, pun hanya mengurut-urut dada. Keputusan MK untuk menghapus RSBI mungkin ada benarnya, mungkin juga seperti mengada-ada.  

Kalau menurut saya, RSBI itu hanyalah tools dalam teori scaffoldingnya Lev Vygotsky. Setiap anak, tentu berhak untuk meninggikan Zone of Proximal Developmentnya (ZPD). ZPD adalah term yang digunakan Vygotsky yang merupakan range tertinggi, tersulit dari seorang anak untuknya menguasai suatu materi dengan bimbingan orang dewasa atau teman yang lebih bisa lah ya. Proses untuk memaksimalkan ZPD ini, bisa dengan metode apa saja.

 Kita lihat ada banyak konsep dalam pendidikan, sekolah alam misalnya,  Pesantren salah satunya. Semuanya memiliki niat yang baik untuk memaksimalkan potensi sang anak.  RSBi juga tidak serta merta dicanangkan, perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Mulai dari sarana prasarana, kualifikasi pengajar, materi pengajaran, dan sebagainya, dengan standar yang sudah ditetapkan.  Apabila dalam praktiknya, memang dijumpai, individu-individu yang menjadikan RSBI sebagai tools memperdaya orangtua,   menyisakan perasaan diskriminasi dan sebagainya, maka hal inilah yang mesti dikontrol ketat. 

Nah, saya sepakat dengan pendapat salah seorang rekan, RSBi itu lumbung, apakah bila lumbung itu dihinggapi tikus, harus dibakar semuanya? 

Apakah tidak lebih baik, bagi kita untuk membasmi tikus dan menjadikan lumbung padi ini benar-benar berfungsi menyimpan beras terbaik? 

Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu dan kuat membangun karakter. Tidak ada garansi dalam pendidikan. Mengukurnya pun, tidak secara eksperimental.  

Mahal atau murah, itu relatif. Saya tidak yakin bahwa semua RSBI itu mahal.
Output baik dan buruk itu juga relatif. Seperti yang saya utarakan diatas. Anak-anak yang mesti menaiki rakit ke sekolah, bisa jadi malah menjadi seorang yang berkarakter bermanfaat bagi masyarakat.

Saya setuju pendapat M. Furqon, pengamat pendidikan dari UNS. Kita sebaiknya fokus kepada perbaikan kualitas pendidikan. Sayang sekali, anak-anak yang ingin belajar, mesti terkotak-kotak oleh persepsi eksklusifitas yang tidak terdifinisikan dengan jelas.
Setuju, dengan pendidikan berkeadilan, bukan yang bernilai komersil selalu.


Kita-kita ini yang senyum-senyum, miris, dan elus-elus dada melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, pasti bisa membantu berperan serta dalam pendidikan anak Indonesia.  Generasi terbaik dari setiap zaman, akan selalu hadir dan menjadi pemimpin negara ini. Hanya dan hanya jika, kita turut andil, tidak hanya mengutuki, mengomentari, dan mensinisi.

Nina.
RSBI.