Senin, 02 Mei 2011
Atheis
Berawal dari sebuah diskusi mengenai perseteruan antara science dan agama melalui status di facebook, saya kembali membuka beberapa buku filsafat yang selama ini berdebu di rak buku. Atheis, siapa yang tidak tahu dengan kosa kata ini. Orang-orang biasanya sering bergidik mendengar kata ini. Atheis adalah paham yang menyangkal keberadaan Tuhan. Tetapi mengapa saya tertarik untuk membuat catatan mengenai Atheis dan mengapa saya ingin membaginya dengan anda. Ada catatan-catatan yang menurut saya penting untuk kita kembali merefleksikan akar dari keimanan kita dengan mengetahui sekelumit tentang paham ini. Mari kita mulai catatan ini dengan mengenal beberapa tokoh yang besar dengan paham ini.
Tokoh pertama adalah, Sigmund Freud. Bagi saya yang berlatar belakang Psikologi. Freud adalah Tokoh terbesar yang pernah ada dalam sejarah Psikologi. Ia pendiri aliran psikoanalisis dan pemikirannya mengenai struktur kepribadian manusia yaitu Id, ego dan superego, dan dorongan seksual menjadi dorongan utama manusia,masih tetap digunakan sampai sekarang. Dalam pemikirannya mengenai religiositas, ia sempat mengatakan ” Musuh saya sesungguhnya bukanlah Nazi, melainkan agama”. Tetapi sebelum menjelaskan tentang hal itu, sedikit akan saya jelaskan konsep-konsep dari pemikirannya. Freud mengemukakan lima tahapan dimana dalam tiap tahapannya, Ego (alam sadar) akan berusaha menjaga keseimbangan antara keinginan dari Id (alam bawah sadar) dan batasan-batasan oleh superego (norma-norma), ketiga elemen ini saling berkonflik. Misalnya, seorang laki-laki yang menginginkan melakukan hubungan sex ( keinginan Id), harus ingat bahwa Superego mengatakan tidak boleh melakukan hubungan sex sebelum menikah, oleh karena itu, Ego kemudian mencoba untuk menahan hubungan sex sampai nanti menikah.
Ada satu konsep Freud yang menarik yaitu tentang Oedipus Complex (dorongan incest kepada ibu dan kebencian kepada ayah yang disertai takut dikastrasi penisnya oleh ayahnya). Freud mengemukakan bahwa religiositas tak lain merupakan fenomena psikologis dimana manusia secara tak sadar memproyeksikan sosok ayah duniawi (ayah sebenarnya) ke dalam sosok ayah adiduniawi (Tuhan). Dalam bukunya Totem and Taboo, freud menjelaskan bagaimana perilaku religius primitif (totemisme, menyembah hewan yang disakraklkan)memiliki persamaan dengan oedipus complex. Totem adalah representasi ayah menurutnya, yaitu hasrat untuk melenyapkan ayah dan memiliki ibu. dikisahkan olehnya, ribuan tahun yang lalu, terdapat satu komunitas yang didominasi lelaki yang ingin memiliki semua wanita
Pada suatu ketika, anak-anak yang sudah tidak tahan lagi itu bersekutu dan bersekongkol membunuh ayahnya dan memakan daging ayah. Setelah tindakan itu dilakukan, mereka menyesal luar biasa karena sesungguhnya mereka mencintai ayahnya. Mereka dibebani rasa berasalah, dan untuk itu mereka membuat larangan membunuh hewan totem sebagai substitusi ayah dan melakukan hubungan seksual dengan sesama anggota totem. Singkat kata, karena fase oedipus complex berada pada fase phallic yaitu fase dimana norma mulai dimasukkan pada anak dan ia mulai tahu apa yang boleh dan tidak, Freud berpendapat bahwa relijiusitas adalah gejala neurosis dimana manusia belum berhasil menangani dorongan-dorongan tak sadarnya atau bisa dikatakan relijiusitas adalah tanda bahwa manusia masih infantil, jauh dari kedewasaan.
Tokoh kedua, adalah Friedriech Nietzche. Untuk mereka yang pernah mengetahui satu kalimat yang mengtakan ”Tuhan telah Mati”, pasti mengenal dia. Ialah yang dengan lantang meneriakkan kematian Tuhan (Requiem Aeternam Deo!, semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi). Nietzche begitu menggetarkan dunia dan ia berargumen dengan aforisme-aforismenya yang masyhur.
Konsep dari pemikiran Nietzche adalah memandang manusia sebagai makhluk yang menempati posisi khusus dalam tatanan kosmos. Kekhususannya tidak terletak pada rasio melainkan pada KEHENDAK, atau bisa dikatakan KEHENDAK BERKUASA. Ia memandang hidup sebagai insting atas pertumbuhan, kekekalan, dan PERTAMBAHAN KUASA. HIDUP ADALAH KEHENDAK BERKUASA!. Absennya kehendak ini membuat manusia menjadi lemah, takut, kalah, tergantung.
Nietzche mengemukakan bahwa pada satu ketika masyarakat terpilah menjadi dua kelas, yaitu kelas budak, dan kelas aristokrat. Kelas budak, bukanlah orang tertindas melainkan orang-orang yang tak berbakat dan lemah, miskin energi, miskin semangat, tidak menarik secara fisik dan seksual. Serba kekurangan membuat mereka marah terhadap kemuraman hidup mereka. mereka cemburu pada kelas aristokrat yang memiliki apa-apa yang tidak mereka miliki (kesehatan, energi, vitalitas, dan lain-lain). Perang terhadap kelas aristokrat tidak membawa hasil apa-apa, sampai pada satu ketika kelas budak menggunakan senjata terakhir mereka :PEMBALIKAN NILAI-NILAI!
Mereka membalik nilai-nilai aristokrat yang tadinya mereka anggap tinggi menjadi nilai-nilai rendah yang akan dibalas Tuhan di akhirat. Aristorkat adalah jahat dan Tuhan adalah eksekutor agung. Tuhan adalah pelipur lara kelas budak yang menjamin dendam mereka akan terlampiaskan dengan menghukum yang jahat di akhirat. Tuhan adalah jaminan kelas budak untuk berdamai dengan kegagalan, kelemahan, dan ketakberdayaan, dan pastinya semua ini akan terkompensasi dengan hadiah SURGA dan kaum aristokrat dianugerahi NERAKA.
Nietche berpendapat bahwa untuk mencapai manusia yang ADIMANUSIA, maka pembunuhan Tuhan tak terelakkan lagi. Ia menggulirkan bahwa Amor Fati (kecintaan akan hidup dan ketidaksudian untuk melarikan diri ke dunia akhirat) adalah keabadian sejati. Bahwasanya dunia menjadi bernilai ketika Tuhan sudah lenyap. Tuhan adalah Absurd.
Kedua tokoh ini adalah tokoh yang mengguncangkan Dunia dan memasuki area-area rasio para pencari kebenaran untuk mempertanyakan Keberadaan Tuhan. Betapa tidak, Tuhan yang diagung-agungkan dikatakan sebagai imajinasi, ilusi, dan sebagainya. Dan yang pasti sampai sekarang panah hujatan dialamatkan kepada para pemikir Atheis ini. Para theolog (agamawan) yang waspada dengan bahayanya pemikiran ini, mulai melindungi ajaran mereka dari serangan pengikut Atheis. Lalu sikap seperti apa yang seharusnya dikedepankan dalam menghadapi atheis?
Paul Ricouer, seorang filsuf Perancis mengemukakan bahwa untuk menanggapi Atheis, kita perlu melakukan refleksi terhadap relijiusitas kita sendiri ketika pertentangan terjadi. Menurut Donny, kata kunci dari kritik terhadap pemikir tersebut adalah Alienasi. Kritik tersebut sebaiknya dijadikan momentum distansi (Jarak) dari reliositas praktis yang membuai kita selama ini. Duh, sebentar kalimat ini perlu dipahami. Sebagai contoh, penggambaran Tuhan sebagai akuntan penghitung perbuatan baik dan buruk telah menghambat potensi afektif maupun kognitif manusia itu tidak tepat. Bila ada ungkapan yang mengatakan manusia berbuat baik semata-mata karena takut masuk Neraka, dan ingin masuk surga bukan dilandasi rasa Cinta kepada Tuhan-nya dan disertai pemahaman mengapa ia mencintai-Nya (seperti dalam syair Rabi’ah Al Adawiah), ini juga perlu dikritisi. .
Dalam arti begini, Menurut Muhammad Iqbal, seorang filsuf muslim yang termasyhur, manusia JANGAN mengosongkan dirinya ke Tuhan, dan Jangan pula melenyapkan dirinya ke Tuhan seperti yang dikemukakan oleh kaum Panteis (paham yang menyatakan alam semesta adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam semesta). Manusia Ideal, harus menyerap sifat-sifat Tuhan untuk dijadikan kekuatan kreatif, vital untuk mengubah dunia menjadi dunia yang lebih baik untuk dihuni.
Wacana Atheisme jangan buru-buru dinafikan, melainkan digunakan sebagai instrumen refleksi dan pengayaan keimanan kita. Begitu juga bila memiliki rekan-rekan yang saat ini sedang dalam keresahan dan kebimbangan (karena sungguh kebimbangan karena keimanan itu jauh lebih meresahkan daripada gagal dalam urusan percintaan) sebaiknya jangan disisihkan dari pergaulan. Beri ia jarak untuk memahami dan”oversee” dari konsep keimanan yang selama ini ia pahami, dan ajak ia, libatkan ia untuk kembali memperbarui dan menyegarkan energi keimanannya. Kita sebagai manusia adalah Homo Religius yang memiliki kepekaan transendental dan Karena iman bukanlah sesuatu yang statis. I
Nina Kreasih
Disarikan dari Donny Gahral Adian (2006).Percik Pemikiran Kontemporer. Jalasutra:Yogyakarta
Dan Bagus Takwin (2006)Filsafat Timur. Jalasutra : Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar