Selasa, 03 Mei 2011

Perjalanan Menuju Bandara (2003)



Suatu sore di Bulan July, 2003. Aku berada di dalam Damri dari Kp. Rambutan menuju Bandara Soekarno-Hatta. Huffff, hari yang melelahkan sekali. Angkot 112 yang kutumpangi dari Depok menuju Kp.rambutan tak sanggup melawan kemacetan Jalan Raya Bogor. Sang sopir sudah bersungut-sungut saat aku berulang kali mengingatkannya, bahwa aku butuh buru-buru mencapai terminal. Mungkin, menurut dia, kalau mau enak dan cepat sampai ya .. naik taksi saja. Tapi aku tetap tidak perduli dengan sungutannya, dan berhasil merayunya untuk mencari jalan alternatif. Jalan yang berkelok-kelok dan pastinya tidak ada satu orang penumpangpun yang mau naik angkotnya selama dalam perjalanannya itu. tapi siapa yang perduli, yang kubutuhkan segera naik damri dan meluncur menuju bandara sesegera mungkin.

Aku tergopoh-gopoh memasuki terminal dan langsung menyerobot masuk pintu damri yang terbuka dan menghempaskan tubuhku di bangku biru beberapa baris dari kursi supir. Bawaanku tidak banyak, hanya satu buah ransel yang kupangku. Wajahku sangat-sangat lelah, sore yang panas, debu yang berterbangan, dan baju yang masih kupakai dari kemarin jelas membuat pemandangan wajahku tidak begitu manis dipandang. Gamis hijau, jilbab hijau suram, sepatu kets, dan pasti tanpa bedak, apalagi lipstik.

Baiklah, aku ceritakan dahulu mengapa aku menjadi sebegitu cerewetnya dengan supir angkot 112 tadi, mengapa aku tergopoh-gopoh masuk damri, mengapa aku hanya membawa satu ransel, dan mengapa aku memakai baju yang sama dari kemarin. Hal yang tak mungkin ku lakukan sepertinya kecuali ada hal ihwal penyebabnya.

Sebelum bercerita mengapa hal itu kulakukan, aku akan menceritakan Hari sebelum hari itu (14 Juli 2003). Karena mengetahui aku akan pulang, Ibuku berpesan agar aku membeli sayur mayur seperti brokoli, kacang kapri, baby corn, dan sayur mayur yang lain yang susah didapatkan di Belitung. Agar kami bisa menikmati cap-cay lezat buatan ibuku. Dengan uang seadanya, aku berangkat ke Goro (saat itu masih ada Goro di depok yang letaknya tak jauh dari terminal depok) bersama dengan Ani (sahabatku ). Kami berbelanja tak banyak, tapi juga tak memungkinkanku untuk memanggulnya sepanjang jalan. Setelah berbelanja sekitar pukul 14.00, kami pun pulang dulu ke kostanku. Aku kemudian berkemas-kemas, dan kemudian kami berdua tidur karena kecapekan. Kami baru terbangun jam 16.00, dan langsung gubrak-gubrug mengemasi koper dan segera mencari taxi. Semua orang pasti setuju, kalau kostanku itu letaknya sangat jauh dari jalan raya. Harus jalan kaki menuju jalan raya, kemudian menjemput taxi. Mencari taxi saja susah dan lama, karena bareng dengan jam pulang kantor. Aku baru dapat taxi jam 16.30, dan langsung menitahkan sang supir untuk tancap gas menuju bandara.


Cerita kemudian berlanjut, supir taxi yang kutumpangi ini ternyata kawan, tak tahu arah jalan menuju bandara. Huaaaah, seketika paniklah aku. Ia supir baru dan mobil yang ia bawa ini, mobil temannya. Duh, walaupun sudah tinggal beberapa tahun di Jakarta, aku juga tak paham jalan-jalan Jakarta. Dia berusaha menenangkan, kemudian mulai mencoba mencari-cari plang arah dan memutuskan melewati tol cawang. Celaka dua belas, ternyata jalan bebas hambatan itu dipenuhi oleh mobil-mobil yang riuh dengan klaksonnya. Aku benar-benar sangat cemas, bolak-balik melihat jam dan mengira-ngira apakah aku masih bisa mengejar pesawat jam 19.00, yang berarti tinggal 1 jam lagi.

Ia mencoba untuk menenangkanku, dan berusaha untuk melajukan taxinya. Tetapi jalan yang dipilihnya, ternyata memang tidak mengizinkan kami untuk mempercepat langkah. aku baru melangkahkan diri ke terminal IIA, dan membayar 150 ribu untuk jasa supir yang mengantarkanku pada pukul 19.05. aku tarik kereta, meletakkan tas-tasku dan berlari menuju pintu bandara. Bandara mulai sepi, aku langsung masuk ke terminal keberangkatan dan menuju meja customer service Merpati Air. Dengan wajah memelas, aku bertanya kepada customer service, apakah pesawat menuju tanjung Pandan telah take-off. Ia tampak terkejut ketika melihat ada satu perempuan yang ngos-ngosan dan kemudian ia berkata ” sebentar ya mba, saya check dulu” , ia kemudian meraih handy talkie dan berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu dan berkata ” oh..sudah ya.. , hmm, ngomong sama penumpangnya saja ya ”,

lalu ia menyerahkan padaku dan berkata ” nih, pilotnya mba...”, kuraih handy talkie itu dan berkata ” udah take off ya pak?”, lelaki diseberang menjawab dengan ramah” duh, maaf ya mba’, kita sedang jalan mau take off nich, gak mungkin balik lagi mba, gimana ya mba”, aku lunglai, dan kemudian lirih berkata ” iya deh, gak papa ,pak, makasih ya pak”. Dan kuberikan lagi handy talkie itu pada mba’ customer service. Dengan tatapan bingung, aku berkata ” duh gimana ya, hangus gak sih?”, ” gak koq mba, masih bisa, tapi untuk penerbangan besok malam, mba datang lagi. Tiket masih sama, barang-barang mba’ ditaruh disini aja.., jadi mba tinggal datang aja, gimana mba” ujar mba CS itu menenangkan. Aku mengangguk dan kemudian menyerahkan barang-barangku kepadanya kecuali ranselku.

Dan kemudian aku menjadi bingung, kalau aku menginap di bandara ini, sendiri. Aku tidak berani. Tapi mau pulang, aku cuman punya uang sisa 20 ribu rupiah. Duuuh Gusti, apa yang harus kulakukan. Setelah berpikir-pikir, aku rasa uangnya cukup sampai rumah si Ani. Naik damri 10 ribu, ongkos angkot menuju rumah ani 5 ribu, dan aku harus telepon ke rumah via wartel. Terus ongkos dari rumah ani ke bandara gimana ya? Aku fikir-fikir lagi.., ya sudah pinjam aja sama Ani, dia kan temanku yang baik dan mengerti teman dari rantau seperti aku ini. Kemudian, aku lanjutkan rencanaku itu. telepon ke rumah dan bikin ibuku ngomel-ngomel dulu atas keteledoranku. Dan sesampainya di rumah Ani, dia yang mengira aku sudah sampai belitung, kemudian terkaget-kaget ketika aku tiba-tiba nyelonong masuk kamarnya pas dia lagi tidur. Dia fikir, dia sedang mimpi atau melihat setan pakai kerudung masuk kamarnya tanpa permisi.

Dan malam itu, akhirnya aku menginap di rumah Ani. Esoknya, karena pesawat dijadwalkan di waktu yang sama ( 19.00), aku kemudian menemani Ani ke kampus dulu.masih dengan baju yang sama dari kemarin. Di kampus, wajahku sudah cemberut saja karena mood lagi jelek gara-gara ketinggalan pesawat. Setiap teman menyapa, aku balas dengan ” apa seeh?”.

setelah mengutarakan maksud peminjaman uang pada Ani, aku berhasil meminjam 50 ribu rupiah. Jumlah yang cukup untuk mengantarkanku sampai rumah. Naik Damri 10 ribu, angkot 5 ribu, airport tax masih 15 ribu sepertinya, untungnya, aku dijemput dari bandara tanjung pandan ke rumah jadi lumayan irit 30 ribu. Karena tak mau terlambat lagi, aku langsung buru-buru pamit berangkat. Pukul 15.00, dari depok menuju kp. Rambutan.

Aku sampai ke damri Kp. Rambutan pukul 16.00, dan berpikir wah, mumpung ada waktu untuk istirahat sepertinya, aku mulai memejam-mejamkan mata tapi tak bisa tertidur juga. Dan damri mulai berjalan. Di daerah jalan baru, damri berhenti dan masuklah satu lelaki berusia mungkin 40-an, kurus, sawo matang, dengan kumis tipis, dan wajah yang ramah. Ia membawa dua tas dan diletakkan didekat supir. Sebenarnya bangku kosong masih banyak tapi Dia kemudian duduk di sebelahku, tersenyum dan menyapa ramah. ” Neng...” katanya , ” iya pak” balasku juga sambil mencoba bersikap sopan walaupun aku bukan orang yang senang berkenalan di jalan. Ia mungkin merasa aku menerima tawaran percakapan ” mau kemana, neng?”, dalam hatiku berkata ” yach, ini damri pak.. ya mau ke bandara donk pak, masak mau ke bogor”, tapi aku masih mau bersikap sopan ” ke bandara pak”,
Kemudian ia berkata ” wah, sama dong neng, saya juga mau ke bandara ”
Aku mengangguk tanda setuju. Kami terdiam lagi, dan aku mencoba mengalihkan mata pada jendela.
Kemudian tiba-tiba ditengah renunganku itu, ia memecah keheningan kami dengan berkata:
” hmm.. emang neng mau kemana??? Mau ke Arab ya neng, sama dong neng sama saya”
Dan seketika aku kaget... dong..dong..dong..

Dalam hati aku mendumel ” book, gue disangka TKI.., ada tampang ya.. duh.. huhuhuhuhu, gak rela..gak rela...” kemudian aku memasang raut wajah bingung dan berkata “ duh, bapak tau dari mana?”
“ neng pake jilbab, bawaannya gak banyak, biasanya TKI gitu, iya kan neng ya.. nanti bareng sama saya aja jalannya. Saya di Riyadh jadi sopir.., neng dimana” serobotnya tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk menjelaskan siapa aku..
Aku kemudian meringis tertawa kecil dan berkata “ aah, bapak., o gitu ya pak. Biasanya TKI gayanya kayak gini ya pak? Hehehehe, baru tau saya. Ya sudah saya ganti gaya aja deh lain kali hehehe..”
“ nah...lho, lantas neng kemana dong”

” pulang kampung pak.. kampung saya di Bangka Belitung. Hehehe.. saya Mahasiswa, pak... kerja juga ngajar-ngajar” ujarku meluruskan.
Dia kemudian termangu karena ternyata tebakannya salah. Ia kemudian melanjutkan percakapan kami ” oooh, mahasiswa ya neng... itu yang di ciputat itu ya neng.. apa itu.. Institut agama islam negeri itu ya.. terus neng juga ngajar ngaji ya neng.. iya ya..?” ujarnya masih dengan kepolosan dan berhasil membuatku geregetan.
Dalam hati aku masih mendumel ” lhaaaa... udah gue dibilang TKI, masih dibilang mahasiswi IAIN pulakkk... ngajar ngaji lagiiii, gak tau dia kalo gue ngajar ngaji kayak apa murid gue diajarin guru kayak gini. huaaaaaaa, beneran, deh.. nich orang gak salah liat apa ya.. atau memang gayaku pas ma apa yang sudah dia fikirkan tentang penampilan para guru ngaji dan mahasiswi IAIN itu ”..
Aku kemudian tersenyum dan tertawa kecil... ” wah bapak ini, tukang nebak-nebak orang ternyata ya pak..., heheheh..” senyumku kecut tidak enak.

Ia pun merasa tebakannya kali ini masih salah dan berkata ” lho, biasanya saya tau perempuan pake jilbab itu kalo gak dari pesantren atau ngajar ngaji gitu neng. Terus neng kuliah dimana sebenarnya ?”dengan ekspresi masih ingin tahu aja.
Aku agak salah tingkah tapi karena ditodong harus jawab ” hmm.. anu kampus yang di depok itu pak ”
Bapak itu menimpali ” wah pinter berarti neng ini ya..”
Dalam hati aku tertawa dan berpikir apa dia tahu kalau di depok itu ada tiga kampus. UI, Gunadarma dan BSI. Mana dia tahu aku masuk yang mana, hehehe.
” terus kalo gak ngajar ngaji ngajar apa dong neng” tanyanya masih ingin tahu aja.
” oh.. itu pak . fisika dan matematika.. IPA buat anak SMA. Gitu pak” jawabku spontan.
” wah.. bagus itu.. , wah kalau dekat saya pasti minta neng ajarin anak saya yang STM biar bisa masuk kuliah mesti pintar fisika dan matematika itu” cerita sang bapak.

Dan kemudian kami bercakap-cakap sepanjang perjalanan Rambutan menuju Bandara. Dan kemudian aku baru tahu, bahwa ia merupakan TKI illegal. Ia memiliki 4 anak dan 1 istri dan orangtua yang harus dibiayainya di Tasikmalaya. Ia bercerita tentang semangatnya yang kuat untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang perguruan tinggi agar tidak bernasib sama sepertinya yang harus mengadu nasib di negeri orang.

Hari itu, aku mendapatkan inspirasi dari satu orang lelaki separuh baya yang tahu bahwa dirinya tidak boleh menyerah dengan keadaan. Marah pada negeri ini yang tidak memberikan pekerjaan layak untuknya tidak dapat menjadi alasan. Ia harus rela menukar kebahagiaannya menyaksikan tumbuh kembang anaknya, agar anaknya bangga bahwa ayahnya telah mengantarkannya lepas dari kemiskinan dengan pendidikan. Ia harus rela menapaki malam-malam panas di Arab dan menahan rindu pada tangis dan tawa anak-anaknya. Real demi real yang dikirimnya memberi arti bagi keberlangsungan keluarganya. Walau ia tahu, ia harus berhadapan dengan tentara Raja yang terkenal keras pada TKI illegal. Dalam celotehan ringannya tentang keluarga, keinginan, suka dan citanya selama menjadi TKI, tiba-tiba.. aku rindu Ayahku.

Aku tahu ayahku ditengah panas terik matahari pulau Timah itu, ia berjalan dari gudang ke gudang, mengatur pengiriman ekspor timah hingga larut malam,menjaga kapal pengirim sampai ke bangka. Ia harus berkendara motor 15 km bolak-balik kota Gantung- Manggar . Mata tajamnya kadang memerah karena sering berhadapan dengan debu timah, rambut ikalnya mulai memutih, kulitnya yang selalu legam, tangan yang kokoh, seragam biru maskapai timah kebanggannya tempatnya mengabdi lebih dari 32 tahun, tapi bibirnya selalu manis berucap ” Nin.., selamat berjuang!!” dan ia selalu mengingatkanku sholat tepat waktu dan menghafal surat-surat dalam Al-Qur’an.

ia yang selalu tak pernah terlambat mengirimkan jerih payahnya untukku bertahan hidup di Jakarta. Aku kemudian tertunduk bila ingat, ibuku selalu menyiapkan bekal untuk makan siang ayahku, tapi aku dengan mudahnya makan di restoran fast food terkenal dan menghambur-hamburkan uang kirimannya dalam seminggu dan sekarat dalam tiga minggu selanjutnya.
Aku selalu senang berdiskusi dengannya, pengetahuannya luas walau kau tak pernah tahu bahwa ia hanya lulusan SMA yang gemar membaca dan mengorbankan mimpinya untuk kuliah demi adik-adiknya. Aku baru sadar, aku begitu mirip dengannya, mirip dalam tatapan mata bulat, alis dan tutur bahasa, mirip dalam analitis dan mimpi-mimpi tuk melihat dunia, mirip dalam diam dan minat-minat yang tidak biasa. Tapi aku tak pernah menjadi se-Kreatif ayahku.. tak pernah serapih dan seorganisir ayahku.. tak pernah se-Sabar dan se-arif ayahku..., seberapa kerasnya aku mencoba..

Bila Andrea selalu bangga dengan ayahnya H. Said Seman Harun sebagai Ayah nomor Satu di Dunia. Aku pun dengan sangat Bangga mengatakan pada semua orang, bahwa ayahku adalah Ayah Juara Satu Seluruh Dunia. tidak ada ayah yang sehebat ayahku. Dan tiba-tiba airmataku meleleh.. aku rindu ayahku lebih dari yang kau tau. Nafasku sesak.
Sang bapak disampingku tiba-tiba menghentikan ceritanya ” neng.. kenapa nangis?”
” oh gak pak..gak pa pa...,saya cuman kangen rumah ” jawabku mengusap airmataku.
” o h,, bentar lagi pulang kan?”. aku mengangguk dan membuang wajah ke jendela.

kami akhirnya harus berpisah di bandara. setelah berpamitan, aku bergegas melangkahkan kakiku menuju penerbangan ini. Sesampainya di rumah.. kupeluk ayahku dan kucium tangan dan pipinya dengan lembut.
Aaah.. betapa beruntungnya aku.. , I will always be your little girl, ayah.. I’ll always be.Tidakkah aku bersyukur memiliki ayah juara satu seperti dia.
Dan malam di Manggar menjadi nyanyian rasa sayangku yang tak bertepi pada ayahku.


Depok, 24 April 2010, 7 tahun dari pengalaman ini. diselesaikan pukul 02.50.
Untuk para gadis yang merindukan ayahnya.
Dedicated for My Great Father..., H. Sulaiman bin H. Ahmad Abu Bakar bin H. Ali (beginilah para melayu menuliskan gelarnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar