Senin, 26 November 2012

There are still a HOPE

Well, baiklah, progress human development episode ini

Beberapa waktu yang lalu, dalam sekejap teman-teman menikah dan kemudian satu persatu meninggalkan waktu kebersamaan yang menyenangkan. Sibuk dengan dunia baru, yang tampak indah dari mata saya memandang. It such a wonderful experience to be a wife. To love and loved.. bukankah cinta memberi makna pada dunia??  Iri?? Tentu saja, bohong kalau saya mengatakan saya tidak iri. Rasanya dunia seakan berkompromi menyingkirkan saya untuk tidak merasakan hal itu.

Dan aku pun menyibukkan diri untuk fokus pada harapan-harapan yang ditujukan pada sendiri.  Memilih menyingkir daripada bermuka gelap saat mendengar riuh orang yang berkomentar tentang tujuan hidupku. Sungguh menyakitkan memang, kala kita mendengar orang yang berkomentar seakan-akan kita minta menjadi seperti yang mereka cemoohkan.  So far, aku sungguh sangat menikmati kesendirian menjadi lajang saat itu.  Kala sepi datang, percakapan dengan keyboard dan buku, lebih terasa memberi arti daripada sibuk dengan ocehan keluhan tentang betapa malangnya aku, karena tak ada seorang pun yang bersedia meminangku.  Aku memilih mengkaitkan mimpiku yang sedang on the track, seperti target dalam berlari di treadmill. Sedikit lagi... beberapa tombak lagi.

Kemudian ia datang, lelaki itu. Bukan lelaki sempurna memang bukan juga seperti yang dibayangkan teman-teman tentang bagaimana seharusnya lelaki yang cocok denganku, tapi ia mencintaiku. Bagiku sudah cukup. Aku pun berharap agar ia segera membawaku ke hidup yang nyata.  Bukan seperti fantasi yang kucanangkan dalam mimpi-mimpi kamar 3 x 3 itu. Ia memang membawaku ke hidup yang nyata. Dalam sekejap, aku jatuh cinta. Kepada lelaki beranak tiga itu. Lengkap dengan masa lalu yang traumatis. Berkompromi dengan kehidupan cinta nya dahulu, pun bertempur dengan perasaan-perasaan bahwa sebagai istri aku memang memilikinya, tapi ia milik penuh dari anak-anaknya. 

Memulai kehidupan baru sebagai istri. Apakah stage intimacy vs isolation sudah teratasi? Mungkin iya, mungkin tidak. Satu sisi, oksitasin adalah hormon yang selalu hadir ketika bersamanya. Kata cinta selalu hadir setiap hari, di setiap tangan kami bersedekap, di setiap mata kami memandang, atau bahkan di setiap penantian panjangku menunggu ia kembali pulang.  Sisi yang lain, aku kehilangan banyak sekali  aktivitas memaknai. Katakanlah, komunitas, atau apapun aktivitas yang membuatku tersenyum merekah seperti dahulu. Aku selalu mengeluhkan hal ini kepada suami. Tinggal bersama orang-orang yang negativistik, jauh dari suami dan tenggelam dalam kegiatan yang jauh diluar daripada yang saya passion kan, sungguh sangat melelahkan.  Ingin berbagi, ingin berlari, ingin bernaung, tapi tak kutemukan harapan merdu di setiap hari. Pagi, siang, sore, malam, sungguh sangat membosankan.

Persoalan kembali hadir, ketika saya mudah sekali menyerap kata-kata negatif dari orang lain. Sungguh sulit menghadirkan senyum disetiap pagi, ketika aku memulainya dengan kemarahan. Pun ketika aku sungguh sangat depresi, ketika harus menerima kenyataan belum saatnya bagiku melanjutkan mimpiku. Ada banyak hal yang harus dikompromikan. Dan aku larut dalam pekerjaan yang bukan “aku”.  Aku malu,  Mimpiku terhempas...

Seperti layaknya orang depresi... aku pun berfikir, orang lain pasti tertawa melihat keadaanku sekarang. Keluargaku mungkin saja bangga memilikiku yang menurut mereka tak berguna, tak ada hal yang bisa dibanggakan dan berharap aku tetap disini, disaat yang lain menyuruhku pergi. Teman-temanku menjauh.. tak ada lagi “aku “dalam ranah publik. Hidupku hanya dari dapur, sumur, kasur. Damn, I’m so depressed enough... bukan Nina yang kukenal.

Depresi pun kembali menumpuk, ketika kehamilan tak kunjung hadir. Baru saja Teman baikku yang menikah bersamaanku, sudah sedang hamil anak yang kedua, saat ini. Aku?? Sekalipun belum pernah hamil. Diagnosa dokter semakin membuatku terpuruk. Akan sulit bagi perempuan dengan sindrom yang kumiliki, untuk segera punya anak. Aku harus berusaha keras untuk itu. Dan apa yang kulakukan?? Alih-alih menerima keadaan, aku tetap marah dengan kenyataan. Aku marah kepada suamiku yang tidak membawaku ke kebahagiaan versiku, aku marah kepada keluargaku yang memenjarakanku disini, aku marah kepada teman-teman yang cepat sekali berlari meninggalkanku, aku marah kepada siapa saja yang berkomentar yang kupersepsikan mengintimidasiku, aku marah kepada diriku sendiri. Mengapa aku sampai disini... di tempat yang berfasilitas lengkap ini, aku kosong. Kosong produktivitas, kosong   memaknai, kosong pengharapan, kosong “isi”, kosong ....
Syukur.

Bagaimana aku akan bersyukur, bila aku selalu mengeluhkan hal-hal yang semestinya dengan sabar mesti diusahakan dan dinantikan. Bukankah aku selalu bicara bahwa siapa yang menabur benih, pasti akan menuai buah kebaikannya.
Sungguh aku kufur dengan nikmat. Betapa banyak para gadis yang merindukan pernikahan, tapi mesti bersabar, walau keriput telah hadir. Betapa banyak para fakir yang merindukan kecukupan makanan, pakaian dan papan. Betapa banyak manusia yang menginginkan memiliki talenta, tapi tak memiliki kesempatan untuk sekedar mengetahuinya. Betapa banyak para ibu-ibu yang serta merta memberikan anaknya ke panti asuhan, karena satu alasan yang membuatnya terpaksa melakukannya. Betapa banyak mereka yang berharap menempuh pendidikan jauh sampai ke pulau jawa, tapi sedikitpun tak pernah sampai kaki mereka kesana.
Bukankah aku sempurna dengan semua indra yang kumiliki. Bukankah aku megah dengan identitas yang kumiliki. Bukankah aku beruntung memiliki lelaki beranak tiga yang selalu menghadirkan komunikasi 2 sks di setiap harinya. Bukankah aku sungguh sangat terberkahi memiliki keluarga yang memiliki nilai berharga bagaimana seharusnya manusia.

Sungguh aku kufur dengan nikmat.

Lantas teringat pada satu quotes oleh Tere-liye

“Ada banyak cara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam belati sedih. Salah-satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi dunia dengan cara tak lazim. Saat melihat gumpalan awan di angkasa. Saat menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. Saat menyimak tampias air yang membuat bekas di langit-langit kamar. Dengan pemahaman secara berbeda maka kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. Memberikan kebahagiaan yang utuh – yang jarang disadari – atas makna detik demi detik kehidupan.”

--Tere Liye, novel 'Sunset Bersama Rosie'

Dan aku pun termangu malam ini...
Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang luput oleh izin Allah.
Betapa lemah imanku untuk tidak meyakini KetetapanNya.
Allahurabb.. ampuni aku.
Semoga suamiku ridho memiliki istri sepertiku...
Lantas aku pun kembali terdiam..
Apa yang telah kulakukan dalam hidupku??
Semoga aku selalu diingatkan tentang kebersyukuran.

Amin Allahumma amin’



Nina.
Rainy day.
To the Next Psychologist. For always.
Don’t know when.. but it still being my dream.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar