Selasa, 13 November 2012

(Bukan) Penghuni Terakhir 1

Malam redup. Radio tua milik Vivin masih menyanyikan lagu-lagu tua 80-an yang masih manis dan begitu akrab menyapa telingaku. Hari-hari terakhir menjadi Penghuni terakhir rumah ini. sayup suara kipas angin yang bergeleng-geleng memandangi wajahku yang tempias oleh keringat. acara mengemas-ngemas barang pun hampir selesai. esok hari,dus-dus dan kotak-kotak plastik ini akan dibawa ke ekspedisi pengiriman. Barang-barang yang menemaniku selama berbelas-belas tahun hidup di Jakarta kini sekarang terkemas rapih dalam ceritanya sendiri-sendiri.

Aku masih disini, di kamar ini. kamar yang selalu terang benderang ketika malam. dan suara radio tua itu masih terus bernyanyi-nyanyi. aroma kamar ini masih sama seperti delapan tahun yang lalu. ada  aroma vanilla yang manis yang luruh dengan pengapnya debu yang menempel pada rak-rak buku. Kamar yang tak pernah konsisten dalam soal kerapihan, dengan kertas-kertas berserakan, gelas-gelas dan piring-piring yang menumpuk di atas lemari, baju dan celana yang terpelanting ke lantai dan kursi. Cat Krim hangat yang lumer belepotan karya ku melukis di dinding lima tahun yang lalu, masih memantulkan suaraku. Entah ketika aku mengaji, entah ketika aku bernyanyi, entah ketika aku berbisik kesepian, atau ketika aku membaca dengan suara keras ketika mencoba memahami satu bacaan atau bahkan ketika aku terisak menangis pada satu hal yang tidak sepatutnya kutangisi.  Kamar ini hangat seperti hatiku saat ini.. tapi dengan tambahan rasa yang berkecamuk di perutku. Aneh dan tidak biasa. Karena aku tahu.. esok hari dalam beberapa waktu lagi .. aku tak lagi jadi penghuni kamar ini.

Aku meletakkan kakiku pada ubin putihnya. Menapaki satu-satu ubin itu. Hangat di tengah, namun dingin di tepian. Kemudian langkahku berhenti pada kasur spring bed nya. aku sudah membuka sprei dan memasukkannya ke dalam tas. Kasur spring bed itu sudah berwarna biru kusam dan per-per-nya sudah agak mencuat-cuat keatas. Aku kadang tidak peduli akan kerasnya kasur itu bila sudah sangat mengantuk. Bagiku, itulah tempat tidur ternyaman sedunia. Lengkap dengan boneka beruang besar untukku dipeluk.

Aku menghempaskan tubuhku pada kasur ini. Dan kemudian menatap  langit-langit putih nya yang dihiasi dengan jarring-jaring raban. Pandanganku berhenti pada tembok krem hangat ini. Pada bagian dimana satu gambar yang pernah ku buat dengan pensil. Malam gambar itu adalah gambar  gadis kecil yang pernah ku torehkan pada dindingnya..  Matanya agak besar dengan blink-blink di bola matanya, rambut yang gaya demi moore. Garis tipis untuk bibir, dagu agak tidak semetris namun agak runcing kubuat dengan garis yang tipis, dan leher kecil  menyangga wajah kecilnya. Gadis kecil itu  menyapaku lembut dan memberikan senyum manis kepadaku.  Segaris bulan sabit dan mata yang mengedip, membuatku terhentak kaget. Aku mencari ke sumber suara. Tapi tidak ada orang disekitarku. Aku sedang tidak bermimpi, gambar gadis kecil itu benar-benar menyapaku.


Hai, Nina… “ seru gadis kecil itu..
Aku mencari-cari sumber suara, dan mendapati gambar gadis kecil itu mengedipkan matanya kepadaku.

“ eh..hah… ” membuka  pupil mataku lebar-lebar untuk meyakinkan pandanganku.
“  kamu sedang sibuk ya?? Hmmm…  Boleh  aku bertanya sedikit” ujarnya melebarkan senyumnya.

Karena aku merasa sedang bermimpi maka ku jawab saja gambar itu. Toh tidak ada yang berpikir bahwa aku gila karena berbicara dengan dinding,  sudah larut malam dan teman-temanku sudah tidur. kataku dalam hati.

“ hmm…. Oh,oh.. ya boleh. Ada apa??” tanyaku dengan tubuh yang menyorong ke depan.
 
“ Nina, apakah kau bahagia?” pertanyaannya pun meluncur dari kedua garis bibir nya yang menarik sudut-sudut.
“hmm.. well….” Aku kemudian manggut-manggut  mengalihkan mataku pada kaca  yang disangkutkan di dinding. Mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan situasiku.

“ hai… aku bertanya” ia menegaskan masih dengan suaraya yang lembut. Dengan secarik bibir  yang masih berbentuk perahu.
“ uh..oh..hmm… aku rasa aku cukup bahagia” bola mataku memutar ke langit-langit.
“hmm..” dia bergeming sesaat dan mengerutkan alisnya. Aku berpikir pasti dia sedang menunggu jawabanku yang lebih panjang daripada satu kalimat.

“ iya.. aku . ba-ha-gia. Aku bahagia. Bahagia.. apa kau senang mendengarnya” ujarku dengan tone agak keras, untuk menekankan perkataanku.
“ hmm..oh, yah senang sih.. karena bersamamu disini pun menyenangkan bagiku” ia pun membentuk merah pada kedua pipinya, dan dagunya mengerucut.

“ohya???? Apakah aku penghuni yang baik” aku pun tertarik dengan percakapan ini dan mulai memiringkan kepalaku. Tanda bahwa aku serius menyimak.
“ yah, aku tidak mengerti parameter penghuni yang baik . selain penghuni pertama yang cantik seperti Agnes Monica, dan kemudian kamu yang menghuniku. Tak ada lagi yang bisa kuingat.. hanya kamu yang ada disini. “ katanya kemudian membuat keningnya dihiasi garis-garis tipis berwarna abu-abu pensil.

“eh iya… aku terlalu lama disini. Apa kau bosan dihuni orang sepertiku?” tanyaku penuh selidik.
“ Bagaimana aku akan bosan. Aku bersamamu selama delapan tahun. Memandang wajahmu dari usiamu masih selepas 20 tahun setiap hari. Menertawakan pongah-mu yang berganti-ganti gaya.. .kamu  ya tetap kamu. … aku telah menyimpan buku-bukumu selama ini. Dari bacaan khas ikhwan akhwat cerita nikahan-nikahan  sampai ke buku-buku apa itu.. penyair yang kamu bilang orang gila. Nisce.. nah.iya niscee..apalagi itu.. buku-buku psikologi-mu itu yang berat-berat gak kira-kira. Sampai rak buku pun mengadu padaku. Sigmund Freud suka mengomel karena rak buku itu berdebu tak pernah kau lap-lap lagi”.

“hihihihi.. masa iya sich?” aku pun tergelak tertawa membayangkan Sigmund Freud cemberut. Ah, psikoanalis memang selalu menggerutu, pikirku.

“ lah..iya.. kamu gak percaya. Coba kamu Tanya sama Victor Frankl  yang  bukunya berdiri di depan Sigmund Freud. Dia bilang si Freud itu selayaknya masuk Kamp Nazi juga sama seperti dia. Baru dengan debu sedikit saja, sudah komplain. Nah, yang lain. Novel-novelmu pun juga sama mengeluhnya padaku. Gajah Mada katanya ingin memutar tubuhnya menjadi tampak depan di cover novelnya.  Si Ernest Hemingway juga bilang bahwa ia bosan duduk di perahu, menunggu ikan besar datang menghampiri kailnya. Huffff… tiap hari mereka complain padaku. Sekali-kalinya mereka tidak complain, kalau kamu sehabis beres-beres, dan mengacak kembali urutan mereka “

“ hohohoho… mang iya.. sampaikan salamku pada mereka ya..” kataku tersenyum nakal.
 “  aku tidak bertemu lagi dengan mereka. Mereka sudah menyampaikan ucapan selamat tinggalnya kemarin. .” dia diam dan menunduk sebentar..kemudian buru-buru melanjutkan kalimatnya.
“ eeeh… Aku masih sering geleng-geleng lihat kamu suka rempong kalau mau berangkat kemana-mana. Mulai dari pakai softlens, apa itu.. merah-merah di pipi… hahahaha…, gak papa.. tapi kamu cantik koq, Nina… setidaknya kamu berusaha melawan sang waktu “

“ yah.perempuan memang begitu, bukan. Mana ada yang gak mau tampak cantik. Toh, sekali-kali kan aku pakai edisi gembel. Kalo berangkat seada-adanya. Lihat donk, jilbabku mencong sana sini. Gak perlu pakai lisptik merah-merah.. toh, gak ada yang lihat aku” ujarku sambil meringis.

nah itu.., kamu itu sensitifan. Sebentar-sebentar mudah menyimpulkan. Toh dandan gak dandan kamu ya tetap Nina. Penghuniku. Haha..yang lihat kan cuman aku. Eeeh..ngomong-ngomong.. aku juga ikut sedih lho ketika kamu sedang masa-masa berduka”

Aku mencoba menaikkan alis sebelah. Tapi gak bisa..kemudian aku diam saja.
 “ eh iyaa… aku lihat kamu. Pas kamu putus dari si anu. Siapa namanya.. “ dia coba mengingat-ingat..
“sssssuuuuhhh..gak usah diingat-ingat…” aku mencoba menghalau ingatannya.
“ hehehe..lho. kan aku cuman nyoba mengingat saja. Ohya, kamu ada di bawah meja kan saat itu. Ada Ani yang langsung buru-buru datang…melihatmu menangis sesunggukan”
“ iya..tapi kan abis itu aku ketawa-tawa” kataku membela diri.

“ iya iya.. setelah kamu terkulai lemas selama dua hari kan??? Gak mau makan…. Gak mau keluar kamar… iya kan..???”
“ hmm.. mang iya? Sudah lupa tuh.” Kataku sambil membelai Pom-bom.

“ weleeh..lupaa.. hahahahah… yang lain ada juga deh kayaknya.. yang kamu mesti bela-belain diet itu loh. Waduuuh.. aku seneng banget liat wajah kamu sumringah memerah kalo setiap habis telpon-telponan. Bahagiaaaaaaaa sekali sepertinya. Wiih. Itu cowok memang gak pantes kamu bela-belain sampai begitu banget. Toh, dia juga meninggalkanmu, kan?? “
“ uhm.. iya” aku menunduk ingat kejadian itu.

iya.. kan kamu aktipis perempuan. Lah, saban hari ketemu perempuan kdrt. Jangan lagi mau sama laki-laki seperti itu, ya”. sok menasehatiku.

“ iya.. iya.. gak lagi.. gak janji deh. Namanya juga hidup. Maneketehe mau ketemu ma lelaki kayak gimana lagi”
“ lah. Kamu kan punya temen yang ngingetin. Kalau aku kan akan kamu tinggalkan sebentar lagi.”
“ uhmm.. tapi aku kan pindah ke tempat yang aku gak punya temen sebanyak disini” aku langsung nyolot dan membanting bantal ke kasur.

yah, gak papa. Kan katanya lulusan pesikologi. Mau ketemu manusia. Baru disuruh pulang kampung, toh ketemu manusia juga.. dah langsung mewek . inilah itulah..kan, kamu yang bilang dimanapun berada asal dapat bermanfaat bagi masyarakat kamu akan tumbuh. Nah urusan sama hal-hal kayak gini juga donk. Kamu itu manja.. manjaaaaa.. manjaaaaaa” ketusnya dengan rambut mulai berdiri keatas. Ngejigrak. Alisnya pun berbentuk sudut 45 derajat. Tak ada lagi rona merah di pipinya.

“ gak ah.. toh, aku kemana-mana sendiri disini. Aku juga jarang ngerepotin orang. “ ujarku masih membela diri sambil memainkan letak kasurku.

“ iya yang itu.., gak selalu teman-temanmu yang menyayangimu selalu ada buat kamu setiap saat. Coba lihat.. sudah berapa generasi kamu mash disini… mereka juga punya hidup sendiri-sendiri. Gak ada lagi Lina  kan, yang kamu sering banget nongkrongin kamarnya dan punya pola hidup jauh lebih sehat daripada kamu, Gak ada lagi si Muf, yang celetukannya sangat semangat sekali membuatmu kemudian ingin men-smack down dia… Gak ada lagi Vivin kan… yang dulu kamu bilang suka serba salah, coz dia peka sekali,, tapi toh masih bisa ngakak bareng..Gak ada lagi Puspita awalyna,.. yang goyang indianya menyegarkan suasana… Gak ada lagi Ida.. yang selalu take care.. pendengar yang baik, dengan kelembutan dan kekerasan hati yang terpadu dan selalu mengingatkanmu untuk tidak kalap minum kopi melulu. Gak ada lagi Lis yang sanguinis nya lengkap sekali.. Gak ada lagi Isti dengan diskusi novel-novelnya.. Gak ada lagi Ina yang petualang.. gak ada lagi Deslina sang sutradara.. gak ada lagi Dini yang nemenin nonton bola…  Gak ada lagi yang lain-lain”

“iyaaa….tauuu..aku juga sudah mikirin hal ini koq”

“ nah lho..kamu udah mikirin kan dari zaman generasi pertama pergi satu persatu. Dari Oci yang suka tidur di tempatmu plus telponan dengan beruangnya, Ruby yang punya kisah cinta sedih yang kemudian bahagia, Mba Nad-mu  yang menginspirasi dengan kecerdasannya… membawamu dalam diskusi tanpa limit yang memantul-mantul di ruang kepala.. Donna yang punya hati sekeras baja. Semangat yang tak terkira.., Sari yang selalu tertawa…, Nina yang senang banget ngelendot…, dan main game. . Arey dan pacarnya.. dengan organisasi-organisasi masa depannya…, sampai kapan… kamu disini..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar