Sabtu, 17 November 2012

Baby Blues



Stres. Hanya mendengar kata-katanya saja sudah membuat saya meringis. Meskipun saya sering kali mengelak bahwa saya sering mengalami stres. Mencoba hamil tanpa hasil selama satu tahun ini bisa jadi merupakan salah satu faktor ketidakstabilan emosi yang besar yang saya alami (tentu saja selain career things, etc). Mengalami menstruasi yang menyakitkan, USG transvaginal,  meminum beberapa jenis obat, nasehat dokter yang mengajurkan saya suntik hormonal atau bahkan melakukan pembedahan, mengarahkan tujuan hidup saya : memiliki bayi yang sehat.

Ketika kemudian tes kehamilan memberikan hasil negatif-selalu, berikutnya, dan berikutnya lagi, tingkat stress saya pun meningkat. Saya tidak berbohong untuk mengatakan percaya diri saya merosot tajam. Walaupun baru satu tahun, saya merasa saya tidak bisa mengontrol sittuasi hidup dan apa yang mungkin terjadi.  Setiap kali saya pegi ke dokter untuk pemeriksaan, saya seperti diingatkan bahwa saya adalah orang yang berbeda, dan kemungkinan sangat sulit memiliki anak.

Dalam perjalanan terapi “sakit “ saya, saya terus memburu informasi mengenai ketidaksuburan dan diagnosis dokter mengenai sindrome yang saya alami. Saya menemukan sebuah buku “Making a Baby” , ditulis oleh Debra Fulghum Bruce, Ph.d, yang mengatakan bahwa ketidaksuburan  sering kali menyerang individu yang sukses, mereka yang terbiasa mendapatkan segalanya. Masalah cenderung terjadi saat mereka berusaha lebih giat untuk memiliki anak. Saat ambisi dan kerja keras biasanya membuahkan hasil pada dunia nya , yang sebaliknya justru terjadi dalam urusan kesuburan. Semakin kuat usaha untuk memiliki anak, semakin rumit masalah ketidak suburan yang dihadapi. Saya pun mengetahui bahwa penderitaan dan kekecewaaan yang dihasilkan dari perkara ketidaksuburan ini. Patah hati dengan urusan ketidaksuburan dan perasaan terisolasi menjadi stres kronik yang bertahan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun.

Stress ini pun menyebabkan depresi, lengkap dengan gejala-gejala yang menyertainya. Sebagai seorang lulusan psikologi, toh, saya tak mengelak kecemasan ini menyebabkan saya mengalami gangguan tidur, gejolak mood yang tak beraturan, dan perasaan tak punya harapan yang mendalam. Kemudian, mempengaruhi kepada dampak kesehatan saya selanjutnya, saya pun kembali mengalami serangan alergi dengan batuk yang akut, sakit kepala, maag, dan mudah sekali terserang flu.
Menurut Debra (2010), pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa wanita yang menjalani perawatan kesuburan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada wanita yang berhadapan dengan penyakit yang mengancam hidupnya, seperti kanker. Bahkan Debra mengatakan, stress yang terkait ketidaksuburan ini sama dengan yang terjadi akibat kematian anggota keluarga dekat. Hal ini mungkin terjadi karena stres akibat ketidak suburan bersifat kronis, dan sedikit untuk dapat dikontrol
Saya pun mengingat bagaimana berdebar-debar saat menunggu hasil tes kehamilan. Saat hasilnya, ternyata negatif, kondisi tersebut berubah menjadi kecewa, sedih, marah dan gundah.  Dan ini, terus terjadi setiap kali tes kehamilan,.
Saya tahu persis bahwa saya mengalami depresi. Saya merasa tidak berguna, mengulang-ulang pertanyaan apa salahku sehingga jadi begini, dan setiap kegagalan serasa membanting saya untuk menghadapi kenyataan. Perasaan bahwa saya berlomba dengan waktu secara ginekologis, membuat saya sedikit terobsesi dengan kehamilan, melihat dunia di sekeliling saya sebagai tempat yang selalu mengingatkan tentang belum adanya bayi dalam perut.

Kemudian ketika saya menelaah kembali apa yang dituliskan Debra dalam bukunya, saya dapat menarik solusi mengenai permasalahan Baby blues ini.  Saya yang telah mengukur kadar stress saya, merasakan bahwa saya perlu membuat mind-relax sehingga kondisi psikologi merasa hangat dan tenang. Saya memutuskan untuk kembali menulis catatan harian, atau apapun yang membantu saya menemukenali perasaan-perasaan terdalam dan meningkatkan kesadaran tentang diri saya sebenarnya. Karena sering kali, dalam berbagai kasus penyakit, wanita merasa tidak sadar akan adanya perasaan benci, marah dan kehilangan.

Saya memastikan saya harus menaati rule yang saya buat sendiri. Tidur yang cukup, mengurangi asupan gula, makan dengan kadar perlu bukan sekedar “ingin”,  membersihkan dan merapihkan kamar, menyusun skala prioritas,  belajar untuk menghiraukan “negatif statement” ataupun “negative situation” yang didapatkan dari orang-orang yang menurut saya sering kali menciptakan situasi tersebut. Yang pasti adalah saya bersikeras untuk menyediakan waktu berolahraga setiap hari, yang kemudian ternyata membuka pikiran menjadi lebih menyenangkan .

Saya memahami bahwa saya memiliki resistansi unik terhadap stress. Dan tentu saja saya, resistansi ini harus diperkuat agar saya dapat mengontrol situasi di masa depan dan bukannya merasa tidak berdaya. Seperti layaknya saya mengalami episode-episode yang lalu, saya meneguhkan sikap bahwa saya harus menjadi seorang Survivor!. Saya pun tahu saya harus mencari area dimana memiliki kesempatan untuk tumbuh.

Karena saya sempat tersibukkan dengan urusan usaha, mengajar dan menjalani hidup baru sebagai istri dan ibu “baru” bagi ketiga anak suami saya, permasalahan ini pun cukup teralihkan. Saat sekarang, selagi saya benar-benar tidak terlalu sibuk dengan urusan baking , cooking dan marketing, saya pun mulai mencari aktifitas lain yang sekiranya lebih “passionable” dan “visioner missioner”.  

Nah..
Hidup memang tidak selalu tentang apa yang kita inginkan.
Tapi, apapun yang terjadi, tetaplah berharap. Tak perlu banyak-banyak. Sekilas saja.
Sebuah "Mungkin".
Saya tahu, sulit rasanya untuk bertahan optimis ketika tampaknya semua pintu kesempatan untuk hamil tertutup. Namun, harapan akan membuat bertahan disaat tes kehamilan terus menerus menunjukkan hasil negatif.

Jutaan wanita yang mengalami nasib sama seperti saya. Bisa hamil meski dokter berkata tidak ada harapan.
dan saya yakin saya pun bisa.

Mengutip kata Debra, saya pun "ngeh", apabila
Harapan inilah yang membuat saya maju disaat ingin menyerah, kuat dan percaya dengan masa depan, mengingat apa yang dimiliki, bukan apa yang tak dimiliki, bahkan tertawa di masa-masa sulit sekalipun.

Life is still beautiful anyway..
saya masih baik-baik saja..

Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur rahîm.

Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN
Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur rahîm

amin Allahumma amin


Diketik siang hari selepas adzan dzuhur

My husband still at work , and just alone in this room.
masih dibalik jendela.

Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur rahîm.

Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN





2 komentar:

  1. yay...
    aku suka kalimat yg menyatakan wanita dengan stress ketidaksuburan lebih akut dr kanker, hahaha
    so, just move on, we will get it when it right...
    kalo belum,... yah, bersyukur aja, alhamdulillah, bagaimanapun hidup kita saat adalah anugrah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betooooool... :)
      yok.. pancarkan energi positif, lid.. prok prok prok.. :)

      Hapus