Well, baiklah, progress human development episode ini
Beberapa waktu yang lalu, dalam sekejap teman-teman menikah dan kemudian satu persatu meninggalkan waktu kebersamaan yang menyenangkan. Sibuk dengan dunia baru, yang tampak indah dari mata saya memandang. It such a wonderful experience to be a wife. To love and loved.. bukankah cinta memberi makna pada dunia?? Iri?? Tentu saja, bohong kalau saya mengatakan saya tidak iri. Rasanya dunia seakan berkompromi menyingkirkan saya untuk tidak merasakan hal itu.
Dan aku pun menyibukkan diri untuk fokus pada harapan-harapan yang ditujukan pada sendiri. Memilih menyingkir daripada bermuka gelap saat mendengar riuh orang yang berkomentar tentang tujuan hidupku. Sungguh menyakitkan memang, kala kita mendengar orang yang berkomentar seakan-akan kita minta menjadi seperti yang mereka cemoohkan. So far, aku sungguh sangat menikmati kesendirian menjadi lajang saat itu. Kala sepi datang, percakapan dengan keyboard dan buku, lebih terasa memberi arti daripada sibuk dengan ocehan keluhan tentang betapa malangnya aku, karena tak ada seorang pun yang bersedia meminangku. Aku memilih mengkaitkan mimpiku yang sedang on the track, seperti target dalam berlari di treadmill. Sedikit lagi... beberapa tombak lagi.
Kemudian ia datang, lelaki itu. Bukan lelaki sempurna memang bukan juga seperti yang dibayangkan teman-teman tentang bagaimana seharusnya lelaki yang cocok denganku, tapi ia mencintaiku. Bagiku sudah cukup. Aku pun berharap agar ia segera membawaku ke hidup yang nyata. Bukan seperti fantasi yang kucanangkan dalam mimpi-mimpi kamar 3 x 3 itu. Ia memang membawaku ke hidup yang nyata. Dalam sekejap, aku jatuh cinta. Kepada lelaki beranak tiga itu. Lengkap dengan masa lalu yang traumatis. Berkompromi dengan kehidupan cinta nya dahulu, pun bertempur dengan perasaan-perasaan bahwa sebagai istri aku memang memilikinya, tapi ia milik penuh dari anak-anaknya.
Memulai kehidupan baru sebagai istri. Apakah stage intimacy vs isolation sudah teratasi? Mungkin iya, mungkin tidak. Satu sisi, oksitasin adalah hormon yang selalu hadir ketika bersamanya. Kata cinta selalu hadir setiap hari, di setiap tangan kami bersedekap, di setiap mata kami memandang, atau bahkan di setiap penantian panjangku menunggu ia kembali pulang. Sisi yang lain, aku kehilangan banyak sekali aktivitas memaknai. Katakanlah, komunitas, atau apapun aktivitas yang membuatku tersenyum merekah seperti dahulu. Aku selalu mengeluhkan hal ini kepada suami. Tinggal bersama orang-orang yang negativistik, jauh dari suami dan tenggelam dalam kegiatan yang jauh diluar daripada yang saya passion kan, sungguh sangat melelahkan. Ingin berbagi, ingin berlari, ingin bernaung, tapi tak kutemukan harapan merdu di setiap hari. Pagi, siang, sore, malam, sungguh sangat membosankan.
Persoalan kembali hadir, ketika saya mudah sekali menyerap kata-kata negatif dari orang lain. Sungguh sulit menghadirkan senyum disetiap pagi, ketika aku memulainya dengan kemarahan. Pun ketika aku sungguh sangat depresi, ketika harus menerima kenyataan belum saatnya bagiku melanjutkan mimpiku. Ada banyak hal yang harus dikompromikan. Dan aku larut dalam pekerjaan yang bukan “aku”. Aku malu, Mimpiku terhempas...
Seperti layaknya orang depresi... aku pun berfikir, orang lain pasti tertawa melihat keadaanku sekarang. Keluargaku mungkin saja bangga memilikiku yang menurut mereka tak berguna, tak ada hal yang bisa dibanggakan dan berharap aku tetap disini, disaat yang lain menyuruhku pergi. Teman-temanku menjauh.. tak ada lagi “aku “dalam ranah publik. Hidupku hanya dari dapur, sumur, kasur. Damn, I’m so depressed enough... bukan Nina yang kukenal.
Depresi pun kembali menumpuk, ketika kehamilan tak kunjung hadir. Baru saja Teman baikku yang menikah bersamaanku, sudah sedang hamil anak yang kedua, saat ini. Aku?? Sekalipun belum pernah hamil. Diagnosa dokter semakin membuatku terpuruk. Akan sulit bagi perempuan dengan sindrom yang kumiliki, untuk segera punya anak. Aku harus berusaha keras untuk itu. Dan apa yang kulakukan?? Alih-alih menerima keadaan, aku tetap marah dengan kenyataan. Aku marah kepada suamiku yang tidak membawaku ke kebahagiaan versiku, aku marah kepada keluargaku yang memenjarakanku disini, aku marah kepada teman-teman yang cepat sekali berlari meninggalkanku, aku marah kepada siapa saja yang berkomentar yang kupersepsikan mengintimidasiku, aku marah kepada diriku sendiri. Mengapa aku sampai disini... di tempat yang berfasilitas lengkap ini, aku kosong. Kosong produktivitas, kosong memaknai, kosong pengharapan, kosong “isi”, kosong ....
Syukur.
Bagaimana aku akan bersyukur, bila aku selalu mengeluhkan hal-hal yang semestinya dengan sabar mesti diusahakan dan dinantikan. Bukankah aku selalu bicara bahwa siapa yang menabur benih, pasti akan menuai buah kebaikannya.
Sungguh aku kufur dengan nikmat. Betapa banyak para gadis yang merindukan pernikahan, tapi mesti bersabar, walau keriput telah hadir. Betapa banyak para fakir yang merindukan kecukupan makanan, pakaian dan papan. Betapa banyak manusia yang menginginkan memiliki talenta, tapi tak memiliki kesempatan untuk sekedar mengetahuinya. Betapa banyak para ibu-ibu yang serta merta memberikan anaknya ke panti asuhan, karena satu alasan yang membuatnya terpaksa melakukannya. Betapa banyak mereka yang berharap menempuh pendidikan jauh sampai ke pulau jawa, tapi sedikitpun tak pernah sampai kaki mereka kesana.
Bukankah aku sempurna dengan semua indra yang kumiliki. Bukankah aku megah dengan identitas yang kumiliki. Bukankah aku beruntung memiliki lelaki beranak tiga yang selalu menghadirkan komunikasi 2 sks di setiap harinya. Bukankah aku sungguh sangat terberkahi memiliki keluarga yang memiliki nilai berharga bagaimana seharusnya manusia.
Sungguh aku kufur dengan nikmat.
Lantas teringat pada satu quotes oleh Tere-liye
“Ada banyak cara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam belati sedih. Salah-satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi dunia dengan cara tak lazim. Saat melihat gumpalan awan di angkasa. Saat menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. Saat menyimak tampias air yang membuat bekas di langit-langit kamar. Dengan pemahaman secara berbeda maka kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. Memberikan kebahagiaan yang utuh – yang jarang disadari – atas makna detik demi detik kehidupan.”
--Tere Liye, novel 'Sunset Bersama Rosie'
Dan aku pun termangu malam ini...
Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang luput oleh izin Allah.
Betapa lemah imanku untuk tidak meyakini KetetapanNya.
Allahurabb.. ampuni aku.
Semoga suamiku ridho memiliki istri sepertiku...
Lantas aku pun kembali terdiam..
Apa yang telah kulakukan dalam hidupku??
Semoga aku selalu diingatkan tentang kebersyukuran.
Amin Allahumma amin’
Nina.
Rainy day.
To the Next Psychologist. For always.
Don’t know when.. but it still being my dream.
Senin, 26 November 2012
Sabtu, 17 November 2012
Baby Blues
Stres. Hanya mendengar kata-katanya saja sudah membuat saya meringis. Meskipun saya sering kali mengelak bahwa saya sering mengalami stres. Mencoba hamil tanpa hasil selama satu tahun ini bisa jadi merupakan salah satu faktor ketidakstabilan emosi yang besar yang saya alami (tentu saja selain career things, etc). Mengalami menstruasi yang menyakitkan, USG transvaginal, meminum beberapa jenis obat, nasehat dokter yang mengajurkan saya suntik hormonal atau bahkan melakukan pembedahan, mengarahkan tujuan hidup saya : memiliki bayi yang sehat.
Ketika kemudian tes kehamilan memberikan hasil negatif-selalu, berikutnya, dan berikutnya lagi, tingkat stress saya pun meningkat. Saya tidak berbohong untuk mengatakan percaya diri saya merosot tajam. Walaupun baru satu tahun, saya merasa saya tidak bisa mengontrol sittuasi hidup dan apa yang mungkin terjadi. Setiap kali saya pegi ke dokter untuk pemeriksaan, saya seperti diingatkan bahwa saya adalah orang yang berbeda, dan kemungkinan sangat sulit memiliki anak.
Dalam perjalanan terapi “sakit “ saya, saya terus memburu informasi mengenai ketidaksuburan dan diagnosis dokter mengenai sindrome yang saya alami. Saya menemukan sebuah buku “Making a Baby” , ditulis oleh Debra Fulghum Bruce, Ph.d, yang mengatakan bahwa ketidaksuburan sering kali menyerang individu yang sukses, mereka yang terbiasa mendapatkan segalanya. Masalah cenderung terjadi saat mereka berusaha lebih giat untuk memiliki anak. Saat ambisi dan kerja keras biasanya membuahkan hasil pada dunia nya , yang sebaliknya justru terjadi dalam urusan kesuburan. Semakin kuat usaha untuk memiliki anak, semakin rumit masalah ketidak suburan yang dihadapi. Saya pun mengetahui bahwa penderitaan dan kekecewaaan yang dihasilkan dari perkara ketidaksuburan ini. Patah hati dengan urusan ketidaksuburan dan perasaan terisolasi menjadi stres kronik yang bertahan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun.
Stress ini pun menyebabkan depresi, lengkap dengan gejala-gejala yang menyertainya. Sebagai seorang lulusan psikologi, toh, saya tak mengelak kecemasan ini menyebabkan saya mengalami gangguan tidur, gejolak mood yang tak beraturan, dan perasaan tak punya harapan yang mendalam. Kemudian, mempengaruhi kepada dampak kesehatan saya selanjutnya, saya pun kembali mengalami serangan alergi dengan batuk yang akut, sakit kepala, maag, dan mudah sekali terserang flu.
Menurut Debra (2010), pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa wanita yang menjalani perawatan kesuburan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada wanita yang berhadapan dengan penyakit yang mengancam hidupnya, seperti kanker. Bahkan Debra mengatakan, stress yang terkait ketidaksuburan ini sama dengan yang terjadi akibat kematian anggota keluarga dekat. Hal ini mungkin terjadi karena stres akibat ketidak suburan bersifat kronis, dan sedikit untuk dapat dikontrol
Saya pun mengingat bagaimana berdebar-debar saat menunggu hasil tes kehamilan. Saat hasilnya, ternyata negatif, kondisi tersebut berubah menjadi kecewa, sedih, marah dan gundah. Dan ini, terus terjadi setiap kali tes kehamilan,.
Saya tahu persis bahwa saya mengalami depresi. Saya merasa tidak berguna, mengulang-ulang pertanyaan apa salahku sehingga jadi begini, dan setiap kegagalan serasa membanting saya untuk menghadapi kenyataan. Perasaan bahwa saya berlomba dengan waktu secara ginekologis, membuat saya sedikit terobsesi dengan kehamilan, melihat dunia di sekeliling saya sebagai tempat yang selalu mengingatkan tentang belum adanya bayi dalam perut.
Kemudian ketika saya menelaah kembali apa yang dituliskan Debra dalam bukunya, saya dapat menarik solusi mengenai permasalahan Baby blues ini. Saya yang telah mengukur kadar stress saya, merasakan bahwa saya perlu membuat mind-relax sehingga kondisi psikologi merasa hangat dan tenang. Saya memutuskan untuk kembali menulis catatan harian, atau apapun yang membantu saya menemukenali perasaan-perasaan terdalam dan meningkatkan kesadaran tentang diri saya sebenarnya. Karena sering kali, dalam berbagai kasus penyakit, wanita merasa tidak sadar akan adanya perasaan benci, marah dan kehilangan.
Saya memastikan saya harus menaati rule yang saya buat sendiri. Tidur yang cukup, mengurangi asupan gula, makan dengan kadar perlu bukan sekedar “ingin”, membersihkan dan merapihkan kamar, menyusun skala prioritas, belajar untuk menghiraukan “negatif statement” ataupun “negative situation” yang didapatkan dari orang-orang yang menurut saya sering kali menciptakan situasi tersebut. Yang pasti adalah saya bersikeras untuk menyediakan waktu berolahraga setiap hari, yang kemudian ternyata membuka pikiran menjadi lebih menyenangkan .
Saya memahami bahwa saya memiliki resistansi unik terhadap stress. Dan tentu saja saya, resistansi ini harus diperkuat agar saya dapat mengontrol situasi di masa depan dan bukannya merasa tidak berdaya. Seperti layaknya saya mengalami episode-episode yang lalu, saya meneguhkan sikap bahwa saya harus menjadi seorang Survivor!. Saya pun tahu saya harus mencari area dimana memiliki kesempatan untuk tumbuh.
Karena saya sempat tersibukkan dengan urusan usaha, mengajar dan menjalani hidup baru sebagai istri dan ibu “baru” bagi ketiga anak suami saya, permasalahan ini pun cukup teralihkan. Saat sekarang, selagi saya benar-benar tidak terlalu sibuk dengan urusan baking , cooking dan marketing, saya pun mulai mencari aktifitas lain yang sekiranya lebih “passionable” dan “visioner missioner”.
Nah..
Hidup memang tidak selalu tentang apa yang kita inginkan.
Tapi, apapun yang terjadi, tetaplah berharap. Tak perlu banyak-banyak. Sekilas saja.
Sebuah "Mungkin".
Saya tahu, sulit rasanya untuk bertahan optimis ketika tampaknya semua pintu kesempatan untuk hamil tertutup. Namun, harapan akan membuat bertahan disaat tes kehamilan terus menerus menunjukkan hasil negatif.
Jutaan wanita yang mengalami nasib sama seperti saya. Bisa hamil meski dokter berkata tidak ada harapan.
dan saya yakin saya pun bisa.
Mengutip kata Debra, saya pun "ngeh", apabila
Harapan inilah yang membuat saya maju disaat ingin menyerah, kuat dan percaya dengan masa depan, mengingat apa yang dimiliki, bukan apa yang tak dimiliki, bahkan tertawa di masa-masa sulit sekalipun.
Life is still beautiful anyway..
saya masih baik-baik saja..
Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul
wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî
ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi
nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur
rahîm.
Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN
Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur rahîmSumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN
amin Allahumma amin
Diketik siang hari selepas adzan dzuhur
My husband still at work , and just alone in this room.
masih dibalik jendela.
Rabbi lâ tadzurnî fardâ wa Anta khayrul
wâritsîn. Waj’allî milladunka waliyyâ yaritsunî fî hayâtî wa yastaghfirulî
ba’da mawtî, waj’alhu khalfan sawiyyâ, wa lâ taj’al lisy syaithâni fîhi
nashîbâ. Allâhumma inni astaghfiruka wa atûbu ilayka, innaka Antal ghafûrur
rahîm.
Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN
Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/spirituality/2264086-tips-dan-doa-untuk-mendapatkan/#ixzz2CYENRJRN
Jumat, 16 November 2012
Edensor
“ lereng- lereng bukit yang tak teratur tampat seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentuknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak terbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan luas. Di dasar lembah sungai berliku-liku diantara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik , buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan diatas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar..”
*in a journey to find myself
until
….I am stunned. Overwhelmed with dejavu from seeing this charming village. I feel like I am already familiar with rooster-carved village gate, with stone benches, with arrays of daffodil and astuaria flowers. I am as though passing through a time tunnel and thrown away to imaginary land that has been long settled inside my heart.
I asked the driver to stop and bursted out of the bus. Thousands of memory fragments on this beautiful place for tens of years suddenly synthesized before my eyes, so lovely.
To a passerby woman I asked,”Madam, can you please tell me the name of this place?”
She looked at me calmly then answered.
“Sure lof, it’s Edensor….”
Hirata, Andrea (2007) Edensor.
gambar
http://wahyuinqatar.wordpress.com/2012/07/27/sure-lof-its-edensor/
berharap suatu hari, menjejakkan kaki kesana.
*in a journey to find myself
until
….I am stunned. Overwhelmed with dejavu from seeing this charming village. I feel like I am already familiar with rooster-carved village gate, with stone benches, with arrays of daffodil and astuaria flowers. I am as though passing through a time tunnel and thrown away to imaginary land that has been long settled inside my heart.
I asked the driver to stop and bursted out of the bus. Thousands of memory fragments on this beautiful place for tens of years suddenly synthesized before my eyes, so lovely.
To a passerby woman I asked,”Madam, can you please tell me the name of this place?”
She looked at me calmly then answered.
“Sure lof, it’s Edensor….”
Hirata, Andrea (2007) Edensor.
gambar
http://wahyuinqatar.wordpress.com/2012/07/27/sure-lof-its-edensor/
berharap suatu hari, menjejakkan kaki kesana.
Kamis, 15 November 2012
Before I am
Makanan
Aku adalah lembutnya daging putih ikan ilak panggang disajikan diatas pinggang jingga dengan balutan daun pisang kecoklatan terbakar sabut kelapa. Diletakkan di atas meja kayu panjang di tengah gubuk di pinggir pantai selat karimata. Memandangnya, membuat lidahmu hampir saja menetes. nasi putih hangat , tumis kangkung gurih dan tak lupa satu piring kecil sambal terasi terbuat dari terasi terbaik dari pulau kelapa terhidang diatas piring-piring khas kampungnya para pelaut. Ikan tersegar baru dijemput nelayan tadi pagi dengan kail tongkol diantara batu-batu granit raksasa. Nelayan yang hari itu perahunya bersahabat dengan angin dan berkata padanya “akan kujual ikan ini seharga lima puluh ribu rupiah, agar anakku bisa makan nasi esok hari”. Ilak pejantan yang berkelana dari arus laut cina sampai ke butiran pasir pulau kelapa. Ia memakan plankton terbaik diantara gugusan terumbu karang warna warni yang bergoyang dengan irama. disajikan panas, dipadu bumbu kunyit dan cabe rawit halus yang melumer dengan kemiri , minyak dan rencah lainnya. Warnanya segar dan ranum . seperti perawan yang ingin disesapi kemesraannya. Serpihan bumbu merah jingga mengintip belahan daging lembut yang menyeruak menantang hasrat menunggu lelaki untuk menjamahnya . menyentuhnya membuatmu lupa dan terbang diantara awan gendut putih.
Aku adalah lembutnya daging putih ikan ilak panggang disajikan diatas pinggang jingga dengan balutan daun pisang kecoklatan terbakar sabut kelapa. Diletakkan di atas meja kayu panjang di tengah gubuk di pinggir pantai selat karimata. Memandangnya, membuat lidahmu hampir saja menetes. nasi putih hangat , tumis kangkung gurih dan tak lupa satu piring kecil sambal terasi terbuat dari terasi terbaik dari pulau kelapa terhidang diatas piring-piring khas kampungnya para pelaut. Ikan tersegar baru dijemput nelayan tadi pagi dengan kail tongkol diantara batu-batu granit raksasa. Nelayan yang hari itu perahunya bersahabat dengan angin dan berkata padanya “akan kujual ikan ini seharga lima puluh ribu rupiah, agar anakku bisa makan nasi esok hari”. Ilak pejantan yang berkelana dari arus laut cina sampai ke butiran pasir pulau kelapa. Ia memakan plankton terbaik diantara gugusan terumbu karang warna warni yang bergoyang dengan irama. disajikan panas, dipadu bumbu kunyit dan cabe rawit halus yang melumer dengan kemiri , minyak dan rencah lainnya. Warnanya segar dan ranum . seperti perawan yang ingin disesapi kemesraannya. Serpihan bumbu merah jingga mengintip belahan daging lembut yang menyeruak menantang hasrat menunggu lelaki untuk menjamahnya . menyentuhnya membuatmu lupa dan terbang diantara awan gendut putih.
Pesan
Aku adalah sepotong janji. Janji untuk kesetiaan setiap pegangan. Janji diantara bibir basah yang menarik senyum mesra. Aku adalah secarik harapan. Harapan yang terpegang teguh dari setiap mimpi-mimpi kecil. Harapan tentang kemegahan cinta yang menyelimuti benak setiap pecinta. Aku adalah pengabdian. Pengabdian kepada mereka yang terpejam oleh realita. Pengabdian akan indahnya aksara dan berkilaunya singgasana kemuliaan jiwa. Aku adalah deburan kegelisahan. Kegelisahan yang meramuku untuk segera melompat dan berlari. Kegelisahan yang membuatku terdiam, mematut diri, menyendiri. Aku adalah rasa. Yang member warna pada lidah yang mengecap. warna yang memberi rasa pada titik kerucut di rongga mata. Aku adalah kemilau bulan yang bulat dan tertawa .aku adalah kayu yang lembab, udara yang mengisi rongga dada, bumi yang terpijak erat, api yang menjilat menghidupkan, air yang mengalir diantara pegunungan dimana lelaki tua duduk bersama kekasihnya.
Kejadian istimewa
Aku adalah matahari hangat yang tersenyum di pagi rupa. Hari sejuk damai yang menggiring pada satu cerita. Cahaya Matahari yang jatuh pada rambut tipis di atas jemari lentik para gadis muda. Sapaan hijau daun kamboja. Teguran manis dari mawar merah muda. Dan reguk udara yang semerbak dari pohon mangga. Mangga manis yang dipetik oleh seorang kekasih untuk gadisnya.gadis yang menunggu dalam sebuah gubuk mungil dalam istana. Kekasih datang tak hanya membawa mangga, kuda putih bersayap emas tiba bersamanya. Sang kekasih datang untuk menjemput sang dara menuju mahkota. Mahkota berkilau yang tersembunyi di dalam sebuah hutan rimba. Dan petualangan baru saja dimulai. Ada cinta dalam cerita. Ada cerita dalam cinta buah mangga. Dan hari itu, matahari duduk dengan megah di ubun-ubun kakek tua. Ia bercerita pada cucunya, mangga muda manis itu telah membuat sang nenek jatuh cinta. Sang cucu terkikik-kikik tertawa.
Seorang yang menarik
Aku adalah bening hati dara jelita. Aku adalah tutur kata memukau yang berkelok-kelok menjelajah dunia. Aku adalah cinta yang ranum dalam kertas hitam jelaga. Aku adalah bayi mungil elok yang dipuja. Aku adalah warna ungu yang menyentuh gaun Cinderella. Aku adalah mayang terurai menghiasi pipi putih salju jenaka. Aku adalah mata coklat tua . Aku adalah cerita dalam cinta bayu pada dinda. Aku adalah kereta senja yang menjemput anak muda merindu membara. Aku adalah not-not cantik yang menghiasi tangga nada lagu cinta. Aku adalah hiasan dari mutiara karang laut segititga. Aku adalah denting piano yang memecah keheningan malam purnama. Aku adalah hembusan nafas . Aku adalah kecupan manis coklat susu cangkir raja. Aku adalah kuda poni berjalan-jalan di tepi danau seroja. Meringkik, merumput pada daun manila, bercinta dengan cermin air bunga narcissa dan tertawa bahagia bersama burung gereja.
Tempat
Aku adalah pantai yang harum oleh bau ikan dan udang yang manis. Pantai yang batang kelapanya tinggi ingin bersalaman dengan langit dunia.pantai yang bertebaran dengan Pasir putih yang menghangatkan telapak kaki telanjang. Anak-anak suku sawang bermain bola dengan ombak jadi gawangnya. Seorang kakek membawa segerombolan cucunya mengarungi ombak kecil di pinggiran segitiga. Sekelompok bugis muda datang dengan sarung disematkan di kepala. Bekerja pada lubang pohon sagu, tuk membawanya ke pulau jawa. Pohon cemara yang tergoda oleh lembutnya angin dari utara. Perahu hijau, biru dan kuning yang wara-wiri diatas buih-buih ombak sang dewi. Jemari pandan hijau menyentuh bayu malu-malu. Rumput manila liar duduk diantara kayu-kayu terdampar. Senja itu, jingga menyentuhkan warnanya di ufuk cakrawala. Sang raja punai bersenandung lirih. Pekikannya merendah meninggi., seketika pilu. Sunyi, syahdu, menemani sendiri.. dan ombak datang menghampiri.
Benda
Aku adalah foto-foto kenangan yang berdebu dalam album sang kakek tua. Aku adalah bayangan yang selalu mengikuti nina kemanapun perginya dia. Aku adalah pakaian yang melekat erat pada kulit, menyelimuti panasnya dunia. Aku adalah kaki yang melangkah dengan bibir yang mengatup. Aku adalah bangku di sudut taman kota. Setia mendampingi setiap pencerita mengeluhkan dirinya. Akan sarapan yang tidak berkompromi dengan lidahnya. Aku adalah pancuran air dari tanah merah. Embunku sejuk dan menyegarkan daun telinga. Aku adalah boneka beruang coklat berbaju merah muda yang pandai menari dan tertawa. Memeluknya, meraskaan bahwa dunia ini memang indah dengan semestinya.
Sesuatu yang terjadi setiap hari
Aku adalah persona. Aku adalah kebermaknaan di setiap scene otak berwarna biru dan merah muda. Aku adalah endorphin yang menyusup kaki jemari. Aku adalah senyuman dari wajah keriput nenek penjual kacang di pinggir bioskop cikini raya. Aku adalah butir-butir pasir coklat, putih, merah, dalam saku celana. Aku adalah benang merah dari uang seribu rupiah milik dwima. Aku adalah huruf-huruf panjang yang menyusun kertas aroma vanilla. Aku adalah buah berry diatas pie toko si dina. Aku adalah kayu manis dalam cappuccino hangat meja pak tua. Aku adalah gelembung sabun bocah salemba.aku adalah irama chacha dansa pengantin muda. Aku adalah janji setia yang mengalir dari kenangan akan satu ketika. Dimana cupcake kuning hijau muda terhidang dietalase toko belanda tua
Pemandangan yang selalu dilihat setiap perjalanan
Benda
Aku adalah pintu kayu tua. Aku adalah rumah hijau dengan kamar-kamar 3 x 3. Aku adalah dapur mungil dengan kompor yang berderit. Aku adalah toaster roti yang meloncat pagi-pagi. Aku adalah fragmen speaker berceloteh tentang rihanna. Aku adalah satu sendok teh kopi, tiga sendok teh krimmer dua sendok teh gula dan sejari uap panas dari air termos dalam cangkir orange Aku adalah molekul udara yang hinggap pada jemuran . aku adalah matahari yang melongok dari balik jendelaa. aku adalah tanah merah basah . Aku adalah aroma belimbing manis hijau-hijau . aku adalah suasana theme for Elvira. Rumput –rumput yang bercerita semalam ada malaikat datang menyapa. Aku adalah tepian sungai yang bening. Jejeran atap rumah –rumah merah marun di tepi jalan. Kupu-kupu memerdukan sayapnya berceloteh tentang bunga mawar liar di depan beranda. Semut beriirng memutih memanjang berpelukan.
Tempat yang ingin anda datangi kembali
Aku adalah perpustakaan dengan ribuan buku tua. Aku adalah music klasik yang terdengar dari headphone di sudut ruang berkaca. Aku adalah kertas-kertas bermakna. Aku adalah pensil-pensil warna. Aku adalah sketsa. Aku adalah diskusi tentang hidup dan makna dunia. Aku adalah bilik kuning muda. Aku adalah drama. Aku adalah pentas keajaiban cinta. Aku adalah toilet wangi dahlia. Aku adalah tulip ungu muda menyentuh paras ayu dara muda.
Sisi negative diri
Aku adalah batu hitam mengkilap yang mengendap dalam danau minyak yang gelap. Aku adalah melodi yang terhempas oleh kibasan pedang. Aku adalah sisi-sisi berlian merah hitam.aku adalah garis putih melingkar di jari. Aku adalah kebekuan yang hinggap pada air. Aku adalah pelangi warna tiga yang pergi sembunyi-sembunyi. Aku adalah sepi yang sesak. Aku adalah sedih yang menyelinap dalam ruang 3x3.aku adalah lagu sendu syahdu dari radio tua disudut sana.
Sisi positif diri
Aku adalah pecinta. Setidaknya, aku pecinta untuk mereka yang bercinta. Atau setidaknya, aku pecinta bagi mereka yang ingin bercinta. Aku adalah darah segar yang meronakan tulang pipi gadis muda. aku adalah agenda. Aku adalah tanah, air api dan udara. Aku adalh rasa yang menggetarkan untuk menyentuh puncak dunia. Aku adalah salju cair. Aku adalah kepahamanan. Aku adalah kerumitan yang sederhana. Aku adalah akar yang dalam. Aku adalah batangyang menjulang. aku adalah daun hijau yang segar. Aku adalah ranting yang ramping. Aku adalah buah rasa.
Yang diinginkan dalam hidup.
Aku adalah tujuan yang nyata. Absurditas yang melogika. Filosofi coklat manis yang hadir di sofa. Aku adalah titik tantangan jiwa. Aku adalah proses yang menyala-nyala. Aku adalah rasa manis, pedas, asin dari kuah percobaan cinta. Aku adalah jiwa dalam arti jiwa. Aku adalah kepala yang bermahkota. Aku adalah kenikmatan dalam derita. Aku adalah maestro yang membiarkan imajinasi meraja lela. Aku adalah maha karya dari jenius yang tak diduga. Aku adalah gadis kecil yang menertawakan kucing mengejar ekornya. . Aku adalah handuk hangat musim hujan. Aku adalah aroma vanilla. aku adalah pink blossom di senyum bibir tipis. Aku adalah highlight ungu yang disentuhkan kelopak mata. Aku adalah dermaga yang tertambatkan kano kuning. Aku adalah pesta dengan gelas terantuk dan irama khas sade. Aku adalah rasa sehabis mendengarkan Hey Jude.
Aku adalah pintu kayu tua. Aku adalah rumah hijau dengan kamar-kamar 3 x 3. Aku adalah dapur mungil dengan kompor yang berderit. Aku adalah toaster roti yang meloncat pagi-pagi. Aku adalah fragmen speaker berceloteh tentang rihanna. Aku adalah satu sendok teh kopi, tiga sendok teh krimmer dua sendok teh gula dan sejari uap panas dari air termos dalam cangkir orange Aku adalah molekul udara yang hinggap pada jemuran . aku adalah matahari yang melongok dari balik jendelaa. aku adalah tanah merah basah . Aku adalah aroma belimbing manis hijau-hijau . aku adalah suasana theme for Elvira. Rumput –rumput yang bercerita semalam ada malaikat datang menyapa. Aku adalah tepian sungai yang bening. Jejeran atap rumah –rumah merah marun di tepi jalan. Kupu-kupu memerdukan sayapnya berceloteh tentang bunga mawar liar di depan beranda. Semut beriirng memutih memanjang berpelukan.
Tempat yang ingin anda datangi kembali
Aku adalah perpustakaan dengan ribuan buku tua. Aku adalah music klasik yang terdengar dari headphone di sudut ruang berkaca. Aku adalah kertas-kertas bermakna. Aku adalah pensil-pensil warna. Aku adalah sketsa. Aku adalah diskusi tentang hidup dan makna dunia. Aku adalah bilik kuning muda. Aku adalah drama. Aku adalah pentas keajaiban cinta. Aku adalah toilet wangi dahlia. Aku adalah tulip ungu muda menyentuh paras ayu dara muda.
Sisi negative diri
Aku adalah batu hitam mengkilap yang mengendap dalam danau minyak yang gelap. Aku adalah melodi yang terhempas oleh kibasan pedang. Aku adalah sisi-sisi berlian merah hitam.aku adalah garis putih melingkar di jari. Aku adalah kebekuan yang hinggap pada air. Aku adalah pelangi warna tiga yang pergi sembunyi-sembunyi. Aku adalah sepi yang sesak. Aku adalah sedih yang menyelinap dalam ruang 3x3.aku adalah lagu sendu syahdu dari radio tua disudut sana.
Sisi positif diri
Aku adalah pecinta. Setidaknya, aku pecinta untuk mereka yang bercinta. Atau setidaknya, aku pecinta bagi mereka yang ingin bercinta. Aku adalah darah segar yang meronakan tulang pipi gadis muda. aku adalah agenda. Aku adalah tanah, air api dan udara. Aku adalh rasa yang menggetarkan untuk menyentuh puncak dunia. Aku adalah salju cair. Aku adalah kepahamanan. Aku adalah kerumitan yang sederhana. Aku adalah akar yang dalam. Aku adalah batangyang menjulang. aku adalah daun hijau yang segar. Aku adalah ranting yang ramping. Aku adalah buah rasa.
Yang diinginkan dalam hidup.
Aku adalah tujuan yang nyata. Absurditas yang melogika. Filosofi coklat manis yang hadir di sofa. Aku adalah titik tantangan jiwa. Aku adalah proses yang menyala-nyala. Aku adalah rasa manis, pedas, asin dari kuah percobaan cinta. Aku adalah jiwa dalam arti jiwa. Aku adalah kepala yang bermahkota. Aku adalah kenikmatan dalam derita. Aku adalah maestro yang membiarkan imajinasi meraja lela. Aku adalah maha karya dari jenius yang tak diduga. Aku adalah gadis kecil yang menertawakan kucing mengejar ekornya. . Aku adalah handuk hangat musim hujan. Aku adalah aroma vanilla. aku adalah pink blossom di senyum bibir tipis. Aku adalah highlight ungu yang disentuhkan kelopak mata. Aku adalah dermaga yang tertambatkan kano kuning. Aku adalah pesta dengan gelas terantuk dan irama khas sade. Aku adalah rasa sehabis mendengarkan Hey Jude.
aku adalah erat jemari.
Aku adalah... Bukan tentang entah..
^_^
Senyum terbuka
Suka ria di Istana Putri Pizza
Penantian di dermaga
Senja
Potret
cemara
aroma
lentik jari
piano melodi harmoni
aaaah... lagu merdu
Selasa, 13 November 2012
(Bukan) Penghuni Terakhir bagian 2
“iyaaa….tauuu..aku juga sudah mikirin hal ini koq”
“ nah lho..kamu udah mikirin kan dari zaman generasi pertama pergi satu persatu. Dari Oci yang suka tidur di tempatmu plus telponan dengan beruangnya, Ruby yang punya kisah cinta sedih yang kemudian bahagia, Mba Nad-mu yang menginspirasi dengan kecerdasannya… membawamu dalam diskusi tanpa limit yang memantul-mantul di ruang kepala.. Donna yang punya hati sekeras baja. Semangat yang tak terkira.., Sari yang selalu tertawa…, Nina yang senang banget ngelendot…, dan main game. . Arey dan pacarnya.. dengan organisasi-organisasi masa depannya…, sampai kapan… kamu disini..”
“ nah lho.. makanya akyu keluar besok..gityuu lhooo” aku manyun dengan mata agak memicing.
“ iya.. kamu harus keluar dari sini. Harus.. gak boleh nggak..” dan wajahnya mulai mengerut. Senyumnya menjadi mengerucut.
“ iya iya.. aku udah beresin semua koq. Besok kamu akan sendiri. Gak ada aku disini” kataku membuang pandangan pada meja yang penuh dengan serakan kertas. Menyembunyikan perasaan anehku.
“ ..besok kamu gak disini… gak akan ada lagi suara dari radio itu. Gak ada lagi kamu yang sok-sok-an berolahraga yoga-yoga-an.. atau mencoba segala gaya kosmetik-mu itu. “ matanya kemudian meredup.. seakan menghilang… bibirnya kemudian membentuk sudut kecil.
Aku pun mahfum..
“ iya..aku pun tidak membaca lagi disini.. tak ada barang yang kutinggalkan. Aku akan enyah dari sini.. seperti yang kamu mau” kataku memancing suasana
“ he eh.. uhhhm… ehhmm.. huk huk “ tiba-tiba ia batuk
“ kenapa?”
“apanya?”
“ kenapa batuk”
“ lah.kan kamu gak pernah bersihin debu. Ya wajar batuk”
“ ho ho.. pernah koq dibersihin.kan aku mood-mood-an. Mang kamu gak sedih, aku gak disini lagi? “ aku bertanya dengan sedikit mencuri-curi pandang dengannya.
“ huammmmm…….hmm… sedih sih. Tapi kan kamu memang harus begitu. Mang, kamu mau tetep disini sampai si Rio lulus SD? “
“ busyeeet.. ogah.. gile beneeer… lah, aku kan mau kawin, mau punya anak..punya rumah yang bener…. Pengen naek haji. Manusia gitu loh… “ aku menimpali, geleng-geleng kepala dan kemudian merebahkan kepalaku di bantal.
“ ya sudah..lanjutkan saja perjuanganmu. Jangan setengah-setengah. Bukankah kamu selalu bilang ingin melihat dunia”
“ ho oh.. “
“ udah..aku mah gampang. Ntar kalau ada penghuni baru lagi…, pasti gak ada yang sekeren kamu…, “
“ halah.. “
“ iya lah..mana ada yang aku mengenalnya dengan begitu baik..kecuali kamu. Aku hanya sedih… tak bisa melihatmu lagi…, dengan kegilaan kecilmu.. dan tingkah mu yang aneh”
“ aneeh.. unik kaleeee…, cuman ada Nina gelok kayak gini yang kamu kenal. “
“ iya…”
Hening
“ uh.. aku..”
“ heh”
“ aku tak tahu apa yang harus kukatakan. “
“aku juga”
“hmm”
“terima kasih sudah menemaniku selama ini… aku tak tahu harus apa”
“tak perlu”
Hening
“baiklah..aku harus tidur.., besok aku harus bangun pagi. Masih ada barang yang belum selesai diberes-kan”
“ oh..oke.. “ dia diam
“ iya..”
“ nina…”
“ ya..” kataku mengangkat lagi alisku.
“boleh minta sesuatu darimu?”
“ hmm..boleh… apa ?”
“aku boleh minta kamu mengaji sekali lagi disini. Aku rindu mendengarkanmu mengaji… “ katanya sambil menundukkan kepalanya kebawah. Tiba-tiba, aku melihat ada bulir-bulir yang jatuh dari matanya. Ia kemudian membuang wajahnya jauh-jauh dari dinding. Tampak hanya siluet rambut demi moore yang terlihat .
Aku terdiam. Sedetik..dua detik… tiga detik.. dan merasakan keheningan yang memantul-mantul dalam kepalaku. Seperti waktu berhenti sebentar. Nafasku diam melambat. Angin menghembuskan dinginnya pada pori-pori basahku. Tiba-tiba secarik kertas berwarna merah muda melayang jatuh di depanku. Aku tersentak dari diam.
“ eh iya.. hmmm…. Baiklah.. insya Allah”. Kataku dengan suara lirih dan mata yang mengerjap.
Aku kemudian menunduk , mengambil kertas merah muda itu. Membaca tulisan yang tertera diatas nya.
Tertera huruf-huruf dengan warna warni krayon dan cat kayu dengan kata “Terima Kasih”.
Dadaku sesak. bulir-bulir air mengalir turun dari bukit pipiku. Jatuh pada kertas.hening.
(Bukan) Penghuni Terakhir 1
Malam redup. Radio tua milik Vivin masih menyanyikan lagu-lagu tua 80-an yang masih manis dan begitu akrab menyapa telingaku. Hari-hari terakhir menjadi Penghuni terakhir rumah ini. sayup suara kipas angin yang bergeleng-geleng memandangi wajahku yang tempias oleh keringat. acara mengemas-ngemas barang pun hampir selesai. esok hari,dus-dus dan kotak-kotak plastik ini akan dibawa ke ekspedisi pengiriman. Barang-barang yang menemaniku selama berbelas-belas tahun hidup di Jakarta kini sekarang terkemas rapih dalam ceritanya sendiri-sendiri.
Aku masih disini, di kamar ini. kamar yang selalu terang benderang ketika malam. dan suara radio tua itu masih terus bernyanyi-nyanyi. aroma kamar ini masih sama seperti delapan tahun yang lalu. ada aroma vanilla yang manis yang luruh dengan pengapnya debu yang menempel pada rak-rak buku. Kamar yang tak pernah konsisten dalam soal kerapihan, dengan kertas-kertas berserakan, gelas-gelas dan piring-piring yang menumpuk di atas lemari, baju dan celana yang terpelanting ke lantai dan kursi. Cat Krim hangat yang lumer belepotan karya ku melukis di dinding lima tahun yang lalu, masih memantulkan suaraku. Entah ketika aku mengaji, entah ketika aku bernyanyi, entah ketika aku berbisik kesepian, atau ketika aku membaca dengan suara keras ketika mencoba memahami satu bacaan atau bahkan ketika aku terisak menangis pada satu hal yang tidak sepatutnya kutangisi. Kamar ini hangat seperti hatiku saat ini.. tapi dengan tambahan rasa yang berkecamuk di perutku. Aneh dan tidak biasa. Karena aku tahu.. esok hari dalam beberapa waktu lagi .. aku tak lagi jadi penghuni kamar ini.
Aku meletakkan kakiku pada ubin putihnya. Menapaki satu-satu ubin itu. Hangat di tengah, namun dingin di tepian. Kemudian langkahku berhenti pada kasur spring bed nya. aku sudah membuka sprei dan memasukkannya ke dalam tas. Kasur spring bed itu sudah berwarna biru kusam dan per-per-nya sudah agak mencuat-cuat keatas. Aku kadang tidak peduli akan kerasnya kasur itu bila sudah sangat mengantuk. Bagiku, itulah tempat tidur ternyaman sedunia. Lengkap dengan boneka beruang besar untukku dipeluk.
Aku menghempaskan tubuhku pada kasur ini. Dan kemudian menatap langit-langit putih nya yang dihiasi dengan jarring-jaring raban. Pandanganku berhenti pada tembok krem hangat ini. Pada bagian dimana satu gambar yang pernah ku buat dengan pensil. Malam gambar itu adalah gambar gadis kecil yang pernah ku torehkan pada dindingnya.. Matanya agak besar dengan blink-blink di bola matanya, rambut yang gaya demi moore. Garis tipis untuk bibir, dagu agak tidak semetris namun agak runcing kubuat dengan garis yang tipis, dan leher kecil menyangga wajah kecilnya. Gadis kecil itu menyapaku lembut dan memberikan senyum manis kepadaku. Segaris bulan sabit dan mata yang mengedip, membuatku terhentak kaget. Aku mencari ke sumber suara. Tapi tidak ada orang disekitarku. Aku sedang tidak bermimpi, gambar gadis kecil itu benar-benar menyapaku.
“ Hai, Nina… “ seru gadis kecil itu..
Aku mencari-cari sumber suara, dan mendapati gambar gadis kecil itu mengedipkan matanya kepadaku.
“ eh..hah… ” membuka pupil mataku lebar-lebar untuk meyakinkan pandanganku.
“ kamu sedang sibuk ya?? Hmmm… Boleh aku bertanya sedikit” ujarnya melebarkan senyumnya.
Karena aku merasa sedang bermimpi maka ku jawab saja gambar itu. Toh tidak ada yang berpikir bahwa aku gila karena berbicara dengan dinding, sudah larut malam dan teman-temanku sudah tidur. kataku dalam hati.
“ hmm…. Oh,oh.. ya boleh. Ada apa??” tanyaku dengan tubuh yang menyorong ke depan.
“ Nina, apakah kau bahagia?” pertanyaannya pun meluncur dari kedua garis bibir nya yang menarik sudut-sudut.
“hmm.. well….” Aku kemudian manggut-manggut mengalihkan mataku pada kaca yang disangkutkan di dinding. Mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan situasiku.
Aku masih disini, di kamar ini. kamar yang selalu terang benderang ketika malam. dan suara radio tua itu masih terus bernyanyi-nyanyi. aroma kamar ini masih sama seperti delapan tahun yang lalu. ada aroma vanilla yang manis yang luruh dengan pengapnya debu yang menempel pada rak-rak buku. Kamar yang tak pernah konsisten dalam soal kerapihan, dengan kertas-kertas berserakan, gelas-gelas dan piring-piring yang menumpuk di atas lemari, baju dan celana yang terpelanting ke lantai dan kursi. Cat Krim hangat yang lumer belepotan karya ku melukis di dinding lima tahun yang lalu, masih memantulkan suaraku. Entah ketika aku mengaji, entah ketika aku bernyanyi, entah ketika aku berbisik kesepian, atau ketika aku membaca dengan suara keras ketika mencoba memahami satu bacaan atau bahkan ketika aku terisak menangis pada satu hal yang tidak sepatutnya kutangisi. Kamar ini hangat seperti hatiku saat ini.. tapi dengan tambahan rasa yang berkecamuk di perutku. Aneh dan tidak biasa. Karena aku tahu.. esok hari dalam beberapa waktu lagi .. aku tak lagi jadi penghuni kamar ini.
Aku meletakkan kakiku pada ubin putihnya. Menapaki satu-satu ubin itu. Hangat di tengah, namun dingin di tepian. Kemudian langkahku berhenti pada kasur spring bed nya. aku sudah membuka sprei dan memasukkannya ke dalam tas. Kasur spring bed itu sudah berwarna biru kusam dan per-per-nya sudah agak mencuat-cuat keatas. Aku kadang tidak peduli akan kerasnya kasur itu bila sudah sangat mengantuk. Bagiku, itulah tempat tidur ternyaman sedunia. Lengkap dengan boneka beruang besar untukku dipeluk.
Aku menghempaskan tubuhku pada kasur ini. Dan kemudian menatap langit-langit putih nya yang dihiasi dengan jarring-jaring raban. Pandanganku berhenti pada tembok krem hangat ini. Pada bagian dimana satu gambar yang pernah ku buat dengan pensil. Malam gambar itu adalah gambar gadis kecil yang pernah ku torehkan pada dindingnya.. Matanya agak besar dengan blink-blink di bola matanya, rambut yang gaya demi moore. Garis tipis untuk bibir, dagu agak tidak semetris namun agak runcing kubuat dengan garis yang tipis, dan leher kecil menyangga wajah kecilnya. Gadis kecil itu menyapaku lembut dan memberikan senyum manis kepadaku. Segaris bulan sabit dan mata yang mengedip, membuatku terhentak kaget. Aku mencari ke sumber suara. Tapi tidak ada orang disekitarku. Aku sedang tidak bermimpi, gambar gadis kecil itu benar-benar menyapaku.
“ Hai, Nina… “ seru gadis kecil itu..
Aku mencari-cari sumber suara, dan mendapati gambar gadis kecil itu mengedipkan matanya kepadaku.
“ eh..hah… ” membuka pupil mataku lebar-lebar untuk meyakinkan pandanganku.
“ kamu sedang sibuk ya?? Hmmm… Boleh aku bertanya sedikit” ujarnya melebarkan senyumnya.
Karena aku merasa sedang bermimpi maka ku jawab saja gambar itu. Toh tidak ada yang berpikir bahwa aku gila karena berbicara dengan dinding, sudah larut malam dan teman-temanku sudah tidur. kataku dalam hati.
“ hmm…. Oh,oh.. ya boleh. Ada apa??” tanyaku dengan tubuh yang menyorong ke depan.
“ Nina, apakah kau bahagia?” pertanyaannya pun meluncur dari kedua garis bibir nya yang menarik sudut-sudut.
“hmm.. well….” Aku kemudian manggut-manggut mengalihkan mataku pada kaca yang disangkutkan di dinding. Mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan situasiku.
“ hai… aku bertanya” ia menegaskan masih dengan suaraya yang lembut. Dengan secarik bibir yang masih berbentuk perahu.
“ uh..oh..hmm… aku rasa aku cukup bahagia” bola mataku memutar ke langit-langit.
“hmm..” dia bergeming sesaat dan mengerutkan alisnya. Aku berpikir pasti dia sedang menunggu jawabanku yang lebih panjang daripada satu kalimat.
“ iya.. aku . ba-ha-gia. Aku bahagia. Bahagia.. apa kau senang mendengarnya” ujarku dengan tone agak keras, untuk menekankan perkataanku.
“ hmm..oh, yah senang sih.. karena bersamamu disini pun menyenangkan bagiku” ia pun membentuk merah pada kedua pipinya, dan dagunya mengerucut.
“ohya???? Apakah aku penghuni yang baik” aku pun tertarik dengan percakapan ini dan mulai memiringkan kepalaku. Tanda bahwa aku serius menyimak.
“ yah, aku tidak mengerti parameter penghuni yang baik . selain penghuni pertama yang cantik seperti Agnes Monica, dan kemudian kamu yang menghuniku. Tak ada lagi yang bisa kuingat.. hanya kamu yang ada disini. “ katanya kemudian membuat keningnya dihiasi garis-garis tipis berwarna abu-abu pensil.
“eh iya… aku terlalu lama disini. Apa kau bosan dihuni orang sepertiku?” tanyaku penuh selidik.
“ Bagaimana aku akan bosan. Aku bersamamu selama delapan tahun. Memandang wajahmu dari usiamu masih selepas 20 tahun setiap hari. Menertawakan pongah-mu yang berganti-ganti gaya.. .kamu ya tetap kamu. … aku telah menyimpan buku-bukumu selama ini. Dari bacaan khas ikhwan akhwat cerita nikahan-nikahan sampai ke buku-buku apa itu.. penyair yang kamu bilang orang gila. Nisce.. nah.iya niscee..apalagi itu.. buku-buku psikologi-mu itu yang berat-berat gak kira-kira. Sampai rak buku pun mengadu padaku. Sigmund Freud suka mengomel karena rak buku itu berdebu tak pernah kau lap-lap lagi”.
“hihihihi.. masa iya sich?” aku pun tergelak tertawa membayangkan Sigmund Freud cemberut. Ah, psikoanalis memang selalu menggerutu, pikirku.
“ lah..iya.. kamu gak percaya. Coba kamu Tanya sama Victor Frankl yang bukunya berdiri di depan Sigmund Freud. Dia bilang si Freud itu selayaknya masuk Kamp Nazi juga sama seperti dia. Baru dengan debu sedikit saja, sudah komplain. Nah, yang lain. Novel-novelmu pun juga sama mengeluhnya padaku. Gajah Mada katanya ingin memutar tubuhnya menjadi tampak depan di cover novelnya. Si Ernest Hemingway juga bilang bahwa ia bosan duduk di perahu, menunggu ikan besar datang menghampiri kailnya. Huffff… tiap hari mereka complain padaku. Sekali-kalinya mereka tidak complain, kalau kamu sehabis beres-beres, dan mengacak kembali urutan mereka “
“ hohohoho… mang iya.. sampaikan salamku pada mereka ya..” kataku tersenyum nakal.
“ aku tidak bertemu lagi dengan mereka. Mereka sudah menyampaikan ucapan selamat tinggalnya kemarin. .” dia diam dan menunduk sebentar..kemudian buru-buru melanjutkan kalimatnya.
“ eeeh… Aku masih sering geleng-geleng lihat kamu suka rempong kalau mau berangkat kemana-mana. Mulai dari pakai softlens, apa itu.. merah-merah di pipi… hahahaha…, gak papa.. tapi kamu cantik koq, Nina… setidaknya kamu berusaha melawan sang waktu “
“ yah.perempuan memang begitu, bukan. Mana ada yang gak mau tampak cantik. Toh, sekali-kali kan aku pakai edisi gembel. Kalo berangkat seada-adanya. Lihat donk, jilbabku mencong sana sini. Gak perlu pakai lisptik merah-merah.. toh, gak ada yang lihat aku” ujarku sambil meringis.
‘ nah itu.., kamu itu sensitifan. Sebentar-sebentar mudah menyimpulkan. Toh dandan gak dandan kamu ya tetap Nina. Penghuniku. Haha..yang lihat kan cuman aku. Eeeh..ngomong-ngomong.. aku juga ikut sedih lho ketika kamu sedang masa-masa berduka”
Aku mencoba menaikkan alis sebelah. Tapi gak bisa..kemudian aku diam saja.
“ eh iyaa… aku lihat kamu. Pas kamu putus dari si anu. Siapa namanya.. “ dia coba mengingat-ingat..
“sssssuuuuhhh..gak usah diingat-ingat…” aku mencoba menghalau ingatannya.
“ hehehe..lho. kan aku cuman nyoba mengingat saja. Ohya, kamu ada di bawah meja kan saat itu. Ada Ani yang langsung buru-buru datang…melihatmu menangis sesunggukan”
“ iya..tapi kan abis itu aku ketawa-tawa” kataku membela diri.
“ iya iya.. setelah kamu terkulai lemas selama dua hari kan??? Gak mau makan…. Gak mau keluar kamar… iya kan..???”
“ hmm.. mang iya? Sudah lupa tuh.” Kataku sambil membelai Pom-bom.
“ weleeh..lupaa.. hahahahah… yang lain ada juga deh kayaknya.. yang kamu mesti bela-belain diet itu loh. Waduuuh.. aku seneng banget liat wajah kamu sumringah memerah kalo setiap habis telpon-telponan. Bahagiaaaaaaaa sekali sepertinya. Wiih. Itu cowok memang gak pantes kamu bela-belain sampai begitu banget. Toh, dia juga meninggalkanmu, kan?? “
“ uhm.. iya” aku menunduk ingat kejadian itu.
“ iya.. kan kamu aktipis perempuan. Lah, saban hari ketemu perempuan kdrt. Jangan lagi mau sama laki-laki seperti itu, ya”. sok menasehatiku.
“ iya.. iya.. gak lagi.. gak janji deh. Namanya juga hidup. Maneketehe mau ketemu ma lelaki kayak gimana lagi”
“ lah. Kamu kan punya temen yang ngingetin. Kalau aku kan akan kamu tinggalkan sebentar lagi.”
“ uhmm.. tapi aku kan pindah ke tempat yang aku gak punya temen sebanyak disini” aku langsung nyolot dan membanting bantal ke kasur.
“ yah, gak papa. Kan katanya lulusan pesikologi. Mau ketemu manusia. Baru disuruh pulang kampung, toh ketemu manusia juga.. dah langsung mewek . inilah itulah..kan, kamu yang bilang dimanapun berada asal dapat bermanfaat bagi masyarakat kamu akan tumbuh. Nah urusan sama hal-hal kayak gini juga donk. Kamu itu manja.. manjaaaaa.. manjaaaaaa” ketusnya dengan rambut mulai berdiri keatas. Ngejigrak. Alisnya pun berbentuk sudut 45 derajat. Tak ada lagi rona merah di pipinya.
“ gak ah.. toh, aku kemana-mana sendiri disini. Aku juga jarang ngerepotin orang. “ ujarku masih membela diri sambil memainkan letak kasurku.
“ iya yang itu.., gak selalu teman-temanmu yang menyayangimu selalu ada buat kamu setiap saat. Coba lihat.. sudah berapa generasi kamu mash disini… mereka juga punya hidup sendiri-sendiri. Gak ada lagi Lina kan, yang kamu sering banget nongkrongin kamarnya dan punya pola hidup jauh lebih sehat daripada kamu, Gak ada lagi si Muf, yang celetukannya sangat semangat sekali membuatmu kemudian ingin men-smack down dia… Gak ada lagi Vivin kan… yang dulu kamu bilang suka serba salah, coz dia peka sekali,, tapi toh masih bisa ngakak bareng..Gak ada lagi Puspita awalyna,.. yang goyang indianya menyegarkan suasana… Gak ada lagi Ida.. yang selalu take care.. pendengar yang baik, dengan kelembutan dan kekerasan hati yang terpadu dan selalu mengingatkanmu untuk tidak kalap minum kopi melulu. Gak ada lagi Lis yang sanguinis nya lengkap sekali.. Gak ada lagi Isti dengan diskusi novel-novelnya.. Gak ada lagi Ina yang petualang.. gak ada lagi Deslina sang sutradara.. gak ada lagi Dini yang nemenin nonton bola… Gak ada lagi yang lain-lain”
“iyaaa….tauuu..aku juga sudah mikirin hal ini koq”
“ nah lho..kamu udah mikirin kan dari zaman generasi pertama pergi satu persatu. Dari Oci yang suka tidur di tempatmu plus telponan dengan beruangnya, Ruby yang punya kisah cinta sedih yang kemudian bahagia, Mba Nad-mu yang menginspirasi dengan kecerdasannya… membawamu dalam diskusi tanpa limit yang memantul-mantul di ruang kepala.. Donna yang punya hati sekeras baja. Semangat yang tak terkira.., Sari yang selalu tertawa…, Nina yang senang banget ngelendot…, dan main game. . Arey dan pacarnya.. dengan organisasi-organisasi masa depannya…, sampai kapan… kamu disini..”
Minggu, 03 Juni 2012
Ortu
Well, tulisan ini terinspirasi dari kolom Paradi nya Samuel Mulia yang selalu membuat saya tersenyum di setiap minggu.
Ok, Ortu itu akronim dari orangtua.
Karena, saya juga belum menjadi orangtua (kecuali suami saya) , maka tulisan ini dibuat dari kacamata anak. Setuju, dengan celotehannya Samuel mulia, saya hanya sekedar menertawakan hidup yang memang tidak adil, tanpa maksud apa-apa koq. Jadi, baca saja, celotehan saya, dan dapat dimaklumi, kalau hari ini saya hanya dalam kapasitas “bernyanyi”.
Bagian pertama (Tkp: Padang rumput Desa Ban motor, tahun 1995 pukul 09.45) Seorang ibu bersepeda mengejar anaknya yang berlari terbirit-terbirit. Sambil tangannya memegang kendali setang sepeda, tangan satunya memegang sapu lidi. Si anak perempuan, yang masih berusia sekitar sembilan tahun, berlari sekuat tenaga. Ibunya datang menghampiri, melepaskan sepedanya, dan langsung memukuli anaknya dengan sapu lidi. Yang membuat saya bergidik ngeri tatkala si ibu, memanggil anaknya dengan kata “Jaha**m!!!!!!!!”.
Sontak saya yang lagi duduk istirahat kelas, tak jauh dari lokasi kejadian, langsung merasakan perut yang bergejolak. Saya masih ingat kejadian itu, saya masih kelas 1 SMP, dan cerita ini masih terekam jelas pada ingatan saya. Miris.... !! Bagi saya, berkata kasar kepada anak sendiri, dengan alasan apapun.. entahlah... speechless. Apalagi memukuli.
Bagian kedua (TKP: mall elit di jakarta, tahun 2011, makan malam)
“ gue jarang ketemu nyokap”. Bocah bongsor berusia 16 tahun ini, mengemukakan hal ini kepada saya. Ia pun panjang lebar menjelaskan pada saya bahwa sejak masih bayi, ia dirawat oleh puluhan pembantu. Sejak TK, ia hanya mendengarkan suara ibunya yang tertawa saat menelpon teman bisnisnya, saat malam sudah larut. Saat SD, ia selalu menatap wajah riang teman-temannya yang dijemput oleh orangtuanya setiap pulang sekolah. Kemudian, ia bercerita, suatu saat, ia mengirim sms kepada ibunya untuk minta uang. Ibunya malah sontak membalas dengan ucapan “minta papa aja”. Ia pun tidak tahu menahu ibunya sedang dimana, sedang mengerjakan apa, juga kepada papanya yang sibuk dengan dalih memberikan kebebasan finansial keluarganya.
Pembicaraan dalam keluarga, selalu berkisar tentang uang dan kebutuhan dibumbui kebohongan. Begitu banyak prasangka yang hadir, komunikasi yang mampet, walau sudah memiliki gadget canggih, dan frustrasi yang tidak berkesudahan. Ketika, toh, akhirnya , papa mamanya berpisah, ia masih harus membiasakan kupingnya dimasuki hingar bingar saling caci-maki antar hubungan orangtuanya.
Bagian ketiga (TKP: diskusi kopi dengan teman-teman sekostan di suatu tengah malam) Sejujurnya sih, say punya banyak sekali cerita yang saya dengar dan mungkin pembaca dengar juga. Dari orangtua yang punya anak emas, lebih sayang yang kedua dari yang pertama, yang meninggalkan anaknya luntak lantung di jalanan, yang menginjak perut anak perempuannya yang hamil diluar nikah, yang menyumpahi anak adalah ritual sehari-harinya, yang mengajarkan anaknya masuk ke rumah orang lain dan kemudian mencuri, yang mengajarkan anaknya berdandan cantik agar bisa dibeli. Uuufhhh..
Seperti yang sudah saya katakan diatas, tulisan ini terinspirasi dari paradinya Samuel mulia. Nah, samuel mulia terinspirasi dari tweet yang pernah ia posting yang isinya begini: “ Orangtua itu sering bertanya tidak pada waktu yang tepat dan tidak diam pada waktu yang tepat”. Yach, pasti ada yang setuju dan yang tidak setuju. Tapi bukan persetujuan, atau like this yang jadi penting. Tapi makna, bahwa apa iya seperti itu ya?
Menyadur katanya Samuel Mulia Sebegitu banyakkah anak yang tampaknya menganggap orangtua itu begitu menyebalkan? Kalau dalam aturan kesantunan, anak inar. Anak itu selalu di pihak yang keliru. Orangtua selalu benar. Padahal, anak bisa keliru atau tidak, awalnya yaaa... karena pendidikan dari orangtuanya, bukan?
Dengan aturan kesantunan itu, hrmatilah anak-anakmu. Ohya?? Yang sering didengar bukankah, Sayangilah anak-anakmu. Nah, mungkin yach karena kalimat sayang itu, kekejaman sering kali terjadi, dan senantiasa dijadikan alasan satu-satunya sebuah bentuk dari menyayangi.
Tulisan ini tidak didasari dengan sebuah tujuan untuk membedakan orangtua sehat dan tidak sehat. Tidak juga dengan tujuan memojokkan orangtua, tetapi hanya sebagai sebuah bentuk kasih sayang anak terhadap orangtua “agar membiasakan diri untuk diam dan mendengar tanpa bereaksi sebelum diresapi” Untuk itu, sebagai anak (yach, kalau nanti saya jadi orangtua, amiiin, saya bisa mempraktikkan semua celotehan saya tadi), saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pembaca.
My room 22.35 Waiting for my chocalate pastry. Dan keluh kesah saya tentang bagaimana seharusnya hidup. Dan saya kembali tersenyum... Alhamdulilllah.
sumber gambar.http://www.teach4real.com/wp-content/uploads/2010/05/parents.jpg
Ok, Ortu itu akronim dari orangtua.
Karena, saya juga belum menjadi orangtua (kecuali suami saya) , maka tulisan ini dibuat dari kacamata anak. Setuju, dengan celotehannya Samuel mulia, saya hanya sekedar menertawakan hidup yang memang tidak adil, tanpa maksud apa-apa koq. Jadi, baca saja, celotehan saya, dan dapat dimaklumi, kalau hari ini saya hanya dalam kapasitas “bernyanyi”.
Bagian pertama (Tkp: Padang rumput Desa Ban motor, tahun 1995 pukul 09.45) Seorang ibu bersepeda mengejar anaknya yang berlari terbirit-terbirit. Sambil tangannya memegang kendali setang sepeda, tangan satunya memegang sapu lidi. Si anak perempuan, yang masih berusia sekitar sembilan tahun, berlari sekuat tenaga. Ibunya datang menghampiri, melepaskan sepedanya, dan langsung memukuli anaknya dengan sapu lidi. Yang membuat saya bergidik ngeri tatkala si ibu, memanggil anaknya dengan kata “Jaha**m!!!!!!!!”.
Sontak saya yang lagi duduk istirahat kelas, tak jauh dari lokasi kejadian, langsung merasakan perut yang bergejolak. Saya masih ingat kejadian itu, saya masih kelas 1 SMP, dan cerita ini masih terekam jelas pada ingatan saya. Miris.... !! Bagi saya, berkata kasar kepada anak sendiri, dengan alasan apapun.. entahlah... speechless. Apalagi memukuli.
Bagian kedua (TKP: mall elit di jakarta, tahun 2011, makan malam)
“ gue jarang ketemu nyokap”. Bocah bongsor berusia 16 tahun ini, mengemukakan hal ini kepada saya. Ia pun panjang lebar menjelaskan pada saya bahwa sejak masih bayi, ia dirawat oleh puluhan pembantu. Sejak TK, ia hanya mendengarkan suara ibunya yang tertawa saat menelpon teman bisnisnya, saat malam sudah larut. Saat SD, ia selalu menatap wajah riang teman-temannya yang dijemput oleh orangtuanya setiap pulang sekolah. Kemudian, ia bercerita, suatu saat, ia mengirim sms kepada ibunya untuk minta uang. Ibunya malah sontak membalas dengan ucapan “minta papa aja”. Ia pun tidak tahu menahu ibunya sedang dimana, sedang mengerjakan apa, juga kepada papanya yang sibuk dengan dalih memberikan kebebasan finansial keluarganya.
Pembicaraan dalam keluarga, selalu berkisar tentang uang dan kebutuhan dibumbui kebohongan. Begitu banyak prasangka yang hadir, komunikasi yang mampet, walau sudah memiliki gadget canggih, dan frustrasi yang tidak berkesudahan. Ketika, toh, akhirnya , papa mamanya berpisah, ia masih harus membiasakan kupingnya dimasuki hingar bingar saling caci-maki antar hubungan orangtuanya.
Bagian ketiga (TKP: diskusi kopi dengan teman-teman sekostan di suatu tengah malam) Sejujurnya sih, say punya banyak sekali cerita yang saya dengar dan mungkin pembaca dengar juga. Dari orangtua yang punya anak emas, lebih sayang yang kedua dari yang pertama, yang meninggalkan anaknya luntak lantung di jalanan, yang menginjak perut anak perempuannya yang hamil diluar nikah, yang menyumpahi anak adalah ritual sehari-harinya, yang mengajarkan anaknya masuk ke rumah orang lain dan kemudian mencuri, yang mengajarkan anaknya berdandan cantik agar bisa dibeli. Uuufhhh..
Seperti yang sudah saya katakan diatas, tulisan ini terinspirasi dari paradinya Samuel mulia. Nah, samuel mulia terinspirasi dari tweet yang pernah ia posting yang isinya begini: “ Orangtua itu sering bertanya tidak pada waktu yang tepat dan tidak diam pada waktu yang tepat”. Yach, pasti ada yang setuju dan yang tidak setuju. Tapi bukan persetujuan, atau like this yang jadi penting. Tapi makna, bahwa apa iya seperti itu ya?
Menyadur katanya Samuel Mulia Sebegitu banyakkah anak yang tampaknya menganggap orangtua itu begitu menyebalkan? Kalau dalam aturan kesantunan, anak inar. Anak itu selalu di pihak yang keliru. Orangtua selalu benar. Padahal, anak bisa keliru atau tidak, awalnya yaaa... karena pendidikan dari orangtuanya, bukan?
Dengan aturan kesantunan itu, hrmatilah anak-anakmu. Ohya?? Yang sering didengar bukankah, Sayangilah anak-anakmu. Nah, mungkin yach karena kalimat sayang itu, kekejaman sering kali terjadi, dan senantiasa dijadikan alasan satu-satunya sebuah bentuk dari menyayangi.
Tulisan ini tidak didasari dengan sebuah tujuan untuk membedakan orangtua sehat dan tidak sehat. Tidak juga dengan tujuan memojokkan orangtua, tetapi hanya sebagai sebuah bentuk kasih sayang anak terhadap orangtua “agar membiasakan diri untuk diam dan mendengar tanpa bereaksi sebelum diresapi” Untuk itu, sebagai anak (yach, kalau nanti saya jadi orangtua, amiiin, saya bisa mempraktikkan semua celotehan saya tadi), saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pembaca.
My room 22.35 Waiting for my chocalate pastry. Dan keluh kesah saya tentang bagaimana seharusnya hidup. Dan saya kembali tersenyum... Alhamdulilllah.
sumber gambar.http://www.teach4real.com/wp-content/uploads/2010/05/parents.jpg
Sabtu, 03 Maret 2012
The Good Step Mother
Apa rasanya memiliki pasangan yang memiliki masa lalu yang terus membayangi kehidupan ? saya berseloroh, seperti memakai sepatu kulit yang sekian lama telah menjejaki lumpur hitam pekat, dan ketika menginjak lantai, meskipun dengan segala daya upaya meruntuhkan sisa lumpur tadi. Toh, tetap saja, bau lumpur rawa yang pekat terus membayangi dan membawa aromanya ke seisi ruangan. Seperti hati yang pernah tertoreh, lukanya seakan sudah sembuh, tapi ternyata bekasnya masih tampak.
Bagaimana dengan memiliki pasangan yang memiliki sejarah hubungan yang gagal dimasa lalu? Kemudian, dari hubungan di masa lalu itu, membuahkan beberapa orang anak yang tidak bersalah yang kemudian tercerai berai oleh permasalahan orangtuanya. Perceraian memang sedikit banyak berimbas kepada psikologis si anak. Dengan bayangan yang dibuatnya sendiri, si anak mesti dipaksa ditarik keluar ke dunia orang dewasa untuk memahami apa makna dari kata perceraian orangtuanya. Makna perceraian ini bisa bermacam-macam tergantung bagaimana sang anak merasakannya. Ada sang anak yang merasakan kepedihan saat tidak bisa melihat ayahnya atau ibunya ada dirumah lagi, kasih sayang yang dulu didapatkan dari kedua orangtua sudah tiada lagi, ada sang anak yang merasakan terpisahnya dia dengan saudaranya karena pembagian hak asuh, atau ada anak yang kemudian merasakan bahwa dengan bercerai, entah ayah atau ibunya akan menikah lagi dengan seseorang yang ia tak kenal siapa orangnya.
Saya teringat pada tokoh kartunnya Disney, Cinderella yang memiliki ibu tiri yang super duper galak judes dan suka banget nyuruh-nyuruh Cinderella mengerjakan pekerjaan rumah. Atau jaman dulu, ada film alm. Ateng yang pernah diputar di TVRI yang berjudul “Kejamnya Ibu kota tak sekejam ibu tiri” yang membuat saya lantar berpikir. Kenapa ya ibu tiri selalu digambarkan sebagai ibu yang galak kepada anak tirinya? Saya mencoba membayangkan, memahami dan merenungkan. Seperti apakah dikotomi citra ibu tiri dan ibu kandung.
Ibu kandung adalah sosok yang tiada duanya. Dialah yang mengandung dan melahirkan kita. Sejak awal, ia menyadari ada kehidupan baru yang dititipkanNya untuk dirawat. Allah mempersiapkan si ibu selama 9 bulan sehingga si ibu siap menerima titipanNya dan merasakan kebahagian yang luar biasa sehingga dapat mengasihi titipanNya itu. Ketika Allah menitipkan kehidupan baru, Dia pun mencukupinya dengan kelimpahan rejeki sehingga rejeki itu dapat digunakan untuk merawat dan membesarkan titipanNya itu. Apakah semua ibu kandung merasakan hal ini? Saya tak yakin.. kita bisa simak dari pemberitaan wara wiri di televisi, ibu-ibu yang menelantarkan bayi yang baru dilahirnya dengan membuang di tempat sampah atau tega menjual anaknya untuk sekian rupiah bahkan ada ibu yang kemudian dengan hilang akalnya, menhilangkan nyawa anaknya untuk berbagai dalih perekonomian dan permasalahan lainnya. Ya Rabb.. !! seakan semua itu jauh dari pandangan mata kita, padahal sebenarnya di sekitar kita pun bukan tak mungkin bisa dijumpai kasus-kasus seperti itu.
Nah, bagaimana dengan ibu tiri. Ada yang pernah menonton serial Si Doel Anak Sekolahan? Pasti tahu dengan tokoh bernama Zaenab yang diperankan apik oleh Maudy Koesnaidi. Dalam serial ini pun, diceritakan bagaimana Zaenab memiliki ibu tiri yang juga jutek dan demen banget ngejodohin Zaenab sama si Ahong. Awalnya, Zaenab tidak tahu kalau mpok Tonah ini adalah ibu tirinya. Sampai suatu episode, si mpok Tonah cerita kalau walaupun dia ini ibu tirinya,tapi dia tetap ingin yang terbaik buat Zaenab (maaf kalau lupa yang beneran ceritanya) . Ibu Tirinya Zaenab yang ini, memang divisualisasikan seperti ibu tiri yang galak. Meskipun begitu, dialah yang merawat Zaenab sedari kecil, merawat anak yang tidak dikandungnya. Menjadi ibu tiri, mungkin bukan hal yang diinginkan olehnya, bukan hal yang bisa dielakkan olehnya. Lepas daripada segala kekurangan dan kelebihannya, dia menyayangi Zaenab seperti anaknya sendiri.
Ketika seorang wanita mejadi ibu, tentu berbagai tugas dan tanggung jawab wajib ia jalankan. Berbagai hal harus ia kerjakan sehingga waktu, pikiran dan tenaganya tersita untuk hal-hal baru yang tiba-tiba saja harus ia lakukan. Berbagai hal pun harus dipahami dengan seksama. Hal-hal yang saya sebutkan diatas, salah satunya adalah berdamai dengan masa lalu suami. Atau hal-hal lainnya, seperti penolakan dari sang anak tiri, konflik masa lalu yang merembet dari sang mantan istri (It's a shame that some ex's feel that just becasue they have a child with there ex's that they still need to be involved with there ex's new life relationship), kondisi finansial yang jauh dari stabil, dan sebagainya.
Dengan segala problematika yang telah dikomitmenkan ketika pernikahan, mereka perlahan mencoba membentuk imaji “ibu tiri” nya sendiri. Imaji ini memerlukan bahan bakar yang dinamakan “Ketulusan”. Disini, teori seakan tidak lagi berguna, karena ilmu ikhlas dan sabar lah yang menjadi ingredient utama hubungan antara ibu tiri dan anak. Dalam prakteknya pun, saya rasa entah mengapa sulit menemukan buku tips untuk para ibu tiri yang baik. Bolak-balik berada di toko buku, saya sering menemukan hanya buku menjadi ibu yang baik, menjadi ibu yang super, menjadi ibu yang number one untuk anaknya. Tapi tidak pernah dicantumkan..ibu (tiri).??
Dan saya pun kemudian menyimpulkan bahwa ibu dengan kata keterangan yang mengikutinya, merupakan sebuah penghormatan. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghormatinya. Seperti Goodmother, will be. Saya percaya ibu tiri dengan relativitas persepsinya pada hubungan dengan anak tirinya, juga memiliki hak untuk dihormati. Tak selalu ibu tiri adalah seorang yang jahat dan bengis. Tak selalu juga ibu kandung adalah peri yang baik hati, yang selalu mengasihi dengan ketulusan hati. Dan sekali lagi, kata nya ahli Neuro psikologi, manusia tidak membutuhkan sekedar hormon prolaktin dan oksitosin untuk mengukuhkan insting keibuannya. Dengan hormon yang tidak diproduksinya, ibu tiri pun memiliki kesempatan yang sama tuk menjadi Goodstepmother, will be. Entah bagaimana dan bilamana...
...
Late night, my husband getting ill, fresh milk, sleepy and prayer for my stepchildren.
Amin.
Ask: Will I?
Minggu, 15 Januari 2012
Ibu
Kata Ibu bermakna sangat dalam. Kita tahu bahwa dalam ajaran agama apapun, kita diwajibkan untuk bersikap hormat kepada ibu, berbakti padanya, dan menjungjungnya sebagai seorang yang tiada duanya untuk disayangi. Ada banyak kata turunan dari kata ibu ini. Ada ibu kandung, ibu kost, ibu negara, ibu kantin, ibu angkat, ibu guru (bu guru), ibu kepala sekolah, ibu menteri, ibu bupati, ibu-nya Prita, ibu-nya Dono, ibu-ibu dan sejuta arti kata ibu. Bahkan kata ibu pun menurun pada kata Ibu tiri.
Skema kognitif yang tertanam dalam benak kita, adalah seorang ibu seperti dalam buku ini ibu Budi. Baik hati, melindungi, arif, bijaksana, pintar masak, lembut, pintar semua pekerjaan rumah, jago mengelola keuangan keluarga, dia segala-galanya deh. Dengan skema kognitif seorang ibu yang seperti ini, sebagai perempuan, tentu saja kita mengarahkan citra ideal seorang ibu menjadi seperti yang disebutkan diatas.
Bagi seorang laki-laki pun demikian, ia akan mencari sosok yang bisa jadi ibu bagi anak-anaknya yang sesuai dengan citra ideal yang diharapkannya. Bagi seorang anak, yang belajar dari lingkungan di sekitarnya, akan mencoba selalu membanding-bandingkan sosok ibu ideal yang diinginkannya dengan ibu yang dimilikinya.
Tentu saja, tidak akan pernah ada ibu yang sempurna.
Menyimak dari meningkatnya kasus ibu yang membuang anaknya setelah dilahirkan, membuat kita terperangah.. lho, Harimau aja tidak akan memakan anaknya, ini koq, manusia tega-teganya membuang darah dagingnya sendiri. Lepas dari gangguan jiwakah, masalah perekonomian kah, malu karena hamil diluar nikah kah, seorang perempuan dianugerahi hormon prolaktin dan oksitosin yang membentuk insting keibuan. Hormon ini produksinya akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya janin dalam kandungan, dan ketika sang ibu menyusui. Tidak seperti binatang, yang hormonnya akan habis seiring dengan bertambah besarnya anak, manusia tidak perlu suntikan hormon untuk membentuk insting keibuan.
Lantas, mengapa manusia yang paling sempurna indra dan akal-nya bisa tega-teganya melakukan hal itu. Saya lantas teringat pada buku yang ditulis oleh Syasya Azisya yang berjudul Rich Mom Poor Mom (2010). Dalam bukunya tersebut, Syasya mengulas tentang seperti apakah Rich Mom dan seperti apakah Poor Mom itu. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW,
“ Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Menjadi seorang ibu adalah menabung investasi, dimana anak adalah “passive income” untuk orang tua diakhirat. Maka dari hadist inilah, seharusnya memicu para ibu untuk berlomba-lomba menuntun putra-putrinya dengan ikhlas mencapai akhlak yang mulia, sehingga kelak akan mengalirlah doa yang tak pernah putus dari anak soleh/ solehah, saat kita berada di alam kubur.
“Al Ummu madrasatul 'ula”, sebaik-baik madrasah adalah ibu. Melihat peran penting seorang ibu di dalam keluarga, maka sangat dibutuhkan sosok teladan yang memiliki kekayaan sejati. Seperti yang dikutip buku ini, yang kemudian diuraikan oleh penulis, menurut Dr. John F. Demartini [h.62] setiap manusia memiliki tujuh anugerah rahasia untuk mewujudkan kebahagiaan. Salah satu poinnya yang dirasa sangat penting untuk dioptimalkan oleh para ibu, yaitu anugerah mental. Melihat perjuangan seorang ibu yang pastinya begitu berat, akan sangat membutuhkan mental yang tahan banting dengan berbagai kondisi yang bisa terjadi di lingkungan diri maupun keluarga. Salah satu hal yang membutuhkan mental kuat, adalah sifat pantang menyerah seorang ibu untuk terus belajar kreatif dalam membimbing putranya menggali potensi.
Perspektif setiap orang tentang Ibu Kaya Ibu Miskin tentu saja berbeda, begitu juga dengan anak-anaknya. Seperti yang dituturkan oleh Fadli dalam buku ini, remaja berusia 16 tahun, "Bagi saya ibu kaya adalah yang memiliki kesabaran, tidak galak dan nggak pernah memaki anaknya sendiri serta mampu menjadi teman atau sahabat bagi anak-anaknya. Sedangkan ibu miskin adalah seorang ibu yang tidak sabar, galak, dan kasar pada anaknya sendiri."
Nah, Kasus ibu yang kasar kepada anaknya sangat mudah dijumpai. Tidak jarang terlihat ibu yang suka memutus keingin-tahuan anaknya, dengan cara memarahi saat si anak berkali-kali menanyakan sesuatu. Atau kasus tentang ibu yang kerap menyumpah-serapahi anaknya setiap kali marah, padahal semua pasti tahu bagaimana bertuahnya ucapan seorang ibu. Betapa menyeramkannya sebuah kata yang terucapkan oleh ibu ketika ia menyumpah. Walaupun tanpa sadar, dengan alasan ingin mengajari anaknya, atau untuk melampiaskan emosi pada anaknya, tentu saja, seorang ibu sangat perlu berhati-hati pada apa yang diucapkannya.
Suatu hari, saya sempat terperangah oleh seorang keponakan yang usianya masih balita, tapi fasih sekali mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. Ia mungkin tidak tahu apa arti dari kata-kata yang tidak pantas diucapkan tersebut, tapi hal yang mengusik benak saya adalah, karena ibu nya sendiri pun sering sekali mengucapkan kata-kata yang tidak pantas tersebut. Anak-anak belajar meniru, dan mengolah dengan gayanya sendiri. Di hari lain, saya sempat terperanjat lagi oleh kejadian dimana sang ibu tega membawa serta anaknya sendiri untuk memasuki rumah orang lain, dan mengambil barang yang bukan miliknya. Tidak itu, saja, ketika dipergoki, ia justru berteriak-teriak, memaki, dan menyerang secara verbal langsung kepada orang yang memiliki barang yang diambilnya. Percaya tidak percaya, tapi entahlah, bagaimana naluri keibuan bekerja ketika ia mencubiti anaknya, atau tega menfitnah anaknya sendiri dengan mengatakan anaknya sakit demi untuk mendapat uang.
Lantas, apa arti kata ibu. Bila kita tidak menyematkan diri kita pada penghargaan setinggi-tingginya pada arti kata ibu.
Nah, sebagai perempuan, saya pun sering bertanya-tanya.
“ Apakah saya akan menjadi ibu yang baik, nantinya? “
Pertanyaan ini sekian tahun mengusik diri saya. Toh, walaupun saat ini, saya dan suami belum dikaruniai anak, saya sudah mendapatkan tiga anak dari pernikahan suami sebelumnya. Resmi sudah, ketika menikahinya, saya pun juga menikahi anak-anaknya. Ketika masih kecil, skema kognitif yang tertanam dalam benak saya pun sama dengan karakter ibu tiri yang diceritakan dalam sinetron dan film-film. Sungguh, tidak pernah sekalipun dalam benak saya bahwa saya (alhamdulillah) berjodoh menjadi ibu tiri.
Saya pun kemudian bertanya, “apakah saya akan menjadi ibu tiri yang baik, nantinya?” dan pertanyaan ini, pun tak akan pernah terjawab menjadi sekedar bilangan biner. Karena jawaban iya dan tidak, hanya terbukti dengan perbuatan. Setidaknya, saya selalu berdoa, semoga saya diberi kesempatan untuk berproses menjadi ibu. Apapun kata turunan dibelakangnya, menjadi ibu adalah pengalaman yang menakjubkan. Dan seiring waktu, realita yang berpijak, saya percaya, manusia tidak perlu sekedar kode DNA untuk mengikatkan diri dalam bahasa kasih sayang keluarga.
Ibu. Apapun kata turunan dari ibu. Ibu adalah penghormatan. Ibu. Apapun hormon yang dikeluarkan endokrin untuk menyelimuti perasaan kasih dan menyayangi, ibu adalah ibu. Darinya kita lahir, tumbuh, dan berkembang. Darinya kita hidup, mengindra kepada bentuk segala rupa dunia. Pelukannya adalah endorphin yang memberi makan jiwa. Usapannya adalah ketenangan yang membawa kerinduan sampai dewasa. Dia adalah inspirasi. Sumber dari bagaimana mata memandang, bagaimana hidung mencium, bagaimana telinga mendengar, bagaimana kulit menyentuh, dan seluruh indra yang dianugerahi Tuhan. Ia membebaskan, menghangatkan, membuka lebar-lebar molekul oksigen, dan membiarkan cahaya masuk lewat celah retina.
Belajar menjadi seorang ibu, tidak hanya sebuah kelas belajar kehidupan yang nyata, tapi juga pengakuan bahwa kesempatan untuk berproses menjadi lebih baik itu selalu ada. Seiring dengan proses menjadi ibu, kita akan belajar mengenali diri kita. Ibu seperti trigger penyemangat, juga katalisator emosi dalam keluarga. segala perasaan berkecamuk, berpusat pada aura-aura seorang ibu. Tentu saja, seperti yang telah dikemukakan oleh Syasya Azisya, menjadi ibu adalah investasi tiada duanya. Alih-alih menuntut anak untuk tidak durhaka pada orangtua, terkadang pertanyaan saya sebaliknya,
“Apakah ada orangtua yang mengakui bahwa ia durhaka pada anaknya?”
Biarkan kita bermetarmorfose..
Semoga hari ini, bahasa kasih kita sedikit lebih lembut dan waktu akan mengiringi setiap kata yang terucap, setiap perbuatan, setiap niat yang terpetik dalam hati.
Mari menjadi Ibu yang Baik..
Semoga dan Selalu Tuhan mendengar pinta kita..
Bismillah
Amin
Nina,
Pagi hari menuju siangnya,
Tak perlu kukatakan bahwa aku tak mengenalmu.. tapi entah mengapa sulit memahamimu.
sumber gambar
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjubd46AU2VvS9YCzxksXj2UWWkX5A1b1TGYNO949BnPI_cJ0mP2m9PQOF4oQE9hQyE1Q0ticMsNLzp5cCv_uQkg2OIk3WbooUW1yloTbD_C9C0E9dahJHhiEpug8dXaRaSgaV-tNhM2o0/s1600/mother-and-child1.jpg
Langganan:
Postingan (Atom)