Jumat, 02 September 2011

Not a Simple Life



Tengah malam. Cuaca sungguh sangat terik walau malam akan beranjak pergi. Ku terjaga dari mimpi yang buruk. Beranjak dari tempat tidur dan kemudian menyalakan tivi. Menikmati Glee di Star World tapi tak memasuki Edisi Madonna-nya para Gleers. Membuka laptop dan berbicara sendiri. Apa yang ingin kutulis hari ini? Lalu kuteringat pada situasi mimpi beberapa menit tadi. Aku seperti merasakan kepedihan dalam perutku. Mimpi yang sungguh amat buruk.

Mimpi yang bercerita tentang sisi gelap manusia. tentang sisi hitam yang memutih dan sisi putih yang menghitam. Tentang shadow yang mengikuti manusia melangkah, tentang bentuk-bentuk dari topeng yang dikenakan manusia, tentang id, ego dan super ego, tentang rasa sakit ditinggalkan dan rasa senang yang dilepaskan. Mimpi ini sungguh simbolik dan membuatku sadar bahwa aku harus menyampaikan pada waktu. Seperti pesan dari alam bawah sadar yang mengangkatnya ke permukaan gunung es kesadaran. Aku tahu, ada sesuatu dalam tanda. tanda yang hidup dan berbicara pada kita.

Hidup adalah menghidupkan rangkaian episode yang dihadirkan oleh waktu. Kita lahir, kemudian dibesarkan, kemudian sekolah, kemudian bekerja, memadu kasih, dan kemudian menikah, memiliki anak, membesarkan anak-anak, memiliki benda-benda, memiliki penghargaan, kemudian pensiun, dan yang terakhir adalah mati. Life’s clock yang semestinya ada dalam hidup manusia. tapi tidak semua manusia, bisa melalui life’s clock yang semestinya kata superego ada dalam hidup manusia. Kita lihat, yang pasti kita dianugerahi satu roh untuk hidup di dunia ini.

Ada yang hidup, tapi tidak dibesarkan oleh orang tua. Ada yang tidak disekolahkan, tapi tetap hidup. Ada yang bernasib, tidak memiliki indra sempurna, tapi tetap bekerja. Tapi ada juga yang memiliki indra sempurna, tetapi tidak bekerja. Ada yang tidak menikah, dengan berbagai alasan, ada yang memutuskan tidak menikah dengan berbagai alasan. Namun ada juga yang menikah, dengan beribu alasan. Ada yang menikah, tapi kemudian mengkhianati pernikahannya. Ada yang dihianati dan memutuskan tetap meneruskan pernikahan. ada yang memiliki banyak hal, tapi tidak bahagia. . Ada juga yang memiliki sedikit benda, tapi selalu tersenyum setiap paginya. Setiap manusia memiliki jalannya sendiri-sendiri. Gelap dan terang.. terang kemudian gelap, begitulah jalan-jalan kehidupan. Tak ada papan nama yang terpampang, tak ada juga tempat untuk berteduh dan bertanya. Berjalan , terjerembab, tertatih, merangkak, berlari, semua mengarah pada satu arah. Setiap kita berjalan dengan kaki sendiri, dan mencapai finish sendiri.

Lalu pertanyaanku masih tentang mimpiku mengarah pada satu pertanyaan. Tentang hubungan horizontal dan vertikal. Apakah kebahagiaan yang kita cari? Lalu pantaskah kita mengatasnamakan kebahagiaan pribadi diatas hal-hal yang telah kita dapatkan tapi tidak kita harapkan? Pantaskah kita tidak bersyukur pada segala sesuatu yang kita butuhkan tapi tidak kita inginkan?


Aku pun kemudian merenungi satu surat pendek dalam Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya manusia sungguh dalam keadaan merugi. Demi waktu yang terpacu, bahkan kebohongan-pun tak bisa melakukan sesuatu pada waktu. Kita terus hidup dalam pengandaian yang direkam untuk membohongi cermin, kita pun hidup dalam perangkap topeng yang dikenakan ketika berhadapan dengan orang-orang. Orang-orang yang “Perlu” untuk mengetahui bahwa kita “baik-baik” di dalam topeng itu.

Kadang sandiwara seakan semakin membuat tergelak, ketika topeng tak ditempatkan pada suasana yang tepat. Suatu ketika, si fulan mengenakan topeng badut dalam upacara kematian. Atau suatu ketika si fulanah mengenakan topeng berduka pada hari raya. Sandiwara juga membuat hatiku teriris, ketika mengetahui akhir dari suatu kisah tidak selalu bahagia. Bahwa cinderella selalu menanti pangerannya menjemputnya ke istananya, bahkan ketika sepatu kacanya menghiasi kaki keriputnya, dan gaun indahnya tak lagi membuatnya bersinar seperti putri. Bahwa seorang ibu, tak selalu menemukan anaknya yang hilang dalam medan perang. Ataukah seorang gadis yang dikhianati kekasihnya, dan kemudian (tanpa logika) , ia memutuskan mengakhiri hidupnya. Seperti kata sang pengarah gaya, dunia kadang memang tidak adil.

Ada cinta yang tidak selalu berawal dengan pernikahan. tapi ada pernikahan yang tidak selalu diakhiri oleh cinta. Ada egoisme yang meluluh lantakkan segala yang dia telah punya. Ada komunikasi yang sulit, tapi memaknai cinta. Ada komunikasi yang mudah, tetapi menafikkan ketulusan cinta. Setiap kita bertanya, mengapa harus aku yang mengalaminya? Mengapa harus aku, bukan dia? Mengapa harus kami bukan kalian? Mengapa harus .... terjadi, Tuhanku?

Bertanya dan terus bertanya, pada beberapa orang malah mempertaruhkan keyakinan. Pada beberapa orang lain, mengeratkan keyakinan.

Dan penyesalan selalu terletak di akhir. Tak pernah di awal cerita. Suatu set ending yang mudah diduga. Tapi jarang sekali, orang menyadarinya. Mereka biarkan saja, id menjalar ke aliran darah dan membisiki daun telinga, atau bahkan super ego yang menudungi kepala dan membuat perisai sedemikian tebal. Si Ego hanya terdiam, tertunduk... kemudian memutar perasaan dan otak untuk mengalihkan kebohongan pada cermin. Menyusun kata palsu pada pena, pada kamera, pada audiensi yang bertepuk menggema.

Lalu apa yang ingin kuceritakan malam ini, kawan?
Tentang kejujuran.
Tentang keselarasan.
Pikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Tentang kebahagiaan yang dicari-cari dalam saku celana.
Tentang kebersyukuran
Tentang rasa cinta pada Sang Maha Kuasa yang Maha Pemberi Cinta.
Tentang harapan dan Kemungkinan
Tentang pergi atau tetap tinggal
Tentang rasa sakit, tersakiti, dan menyakiti.
Tentang angka. Tentang logika.
Tentang Pencarian Makna
Tentang perjalanan dan arti dari kata “memberi dan menerima”

Kawan, bila bagaimana kita menjalani hidup adalah sebuah variabel. Variabel memang tidak selalu dikotomi antara 1 dan 0. Dan takdir adalah konstanta. Maka persamaan matematis kehidupan , akan selalu sama dengan nol. Itulah awal dari hidup kita, dan akhir dari hidup kita.

Waktu tak akan pergi sekalipun kita mengeluh. Ia tak kan menangis walau kita mengiba. Kecewa, terluka, terhempas, tak berdaya... tak satupun yang bisa waktu lakukan untuk membantu kita. tapi kita punya variabel kuat yang mendifferensial dan mengintegralkan kehidupan kita. setiap manusia punya pilihan, untuk sendiri atau bersama. Untuk selingkuh atau setia. Untuk terus atau berhenti saja. Untuk berbicara atau diam. Untuk menghargai atau menhardik sedemikian rupa. Untuk menjaga atau melepaskan yang telah dibina.

Lalu apa yang harus kita lakukan????
Tuhan pasti sedang tertawa ketika aku menuliskan posting blog ini, kawan. Aku sedang tidak sedemikian resahnya untuk tidak berkata bahwa aku tidak baik-baik saja. Seketika aku ingat... waktu hampir menjejakkan pada subuh. Dan aku rindu mengadu pada-Nya. Kali ini, Ar-Rahman semakin lembut di telinga. Tuhanku... , ternyata tidak sederhana.

3 september 2011
Insomnia
Hari raya
dan kebermalasan yang terpasung dalam kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar