Senin, 12 September 2011

Kamu, aku dan Kita

Akhirnya, ada kamu dalam hari-hariku. ada aku dalam hari-harimu. Dan kita memutuskan untuk tidak jatuh dalam cinta. Karena bukan jatuh yang kita inginkan, aku berkata aku ingin mengadakan cintaku untukmu. Kamu berkata aku ingin menerbangkan sayap cintamu padaku. Sayap yang terbang ke duniaku dan duniamu. Melenggang di angkasa raya, mengepakkan angin rindu. Terus mengepakkan sayapnya, dan mendarat pada dermaga biru kita. lantas kita bicara tentang kita, bukan lagi tentang aku dan kamu. Aku yang me-Mu dan kau yang me-ku.

Sayangku, bolehkah aku terangkan sedikit tentang arti kamu di diriku?
kamu adalah perasaan yang hangat di pipi merahku. Kamu adalah bintang yang berkedip jenaka di malam sepiku. Kamu adalah jalan pikiran yang melurus dan membelokkanku. Mendebarkan dan menegakkan adrenalinku. Kamu adalah jejak yang kupijak di tanah lempung basah. Kamu adalah penantian panjangku. Lelaki yang kutunggu pada suatu kursi di dermaga biru. Pada senja-senja yang jingga, dan cakrawala menyentuh bisiknya pada tepi dunia. Penantian yang dingin, sehingga aku perlu sweater magenta dan rok rajut hijau pupusku. Aku pun mengusir dingin, dengan menyeruput kopi krimmer hangat dan sepotong coklat. Kemudian menyilangkan kakiku erat-erat. Kadang embun menemaniku walau matahari hampir pergi. Dan aku masih berusaha mengusir pergi waktu yang mengusik, dengan membaca Benny and Mice. Tertawa sebentar.. lantas kemudian menangis karena aku ingat kamu. Mengapa kamu lama sekali menjemputku??

Tahukah kamu, Stok Benny and Mice-ku sudah berkali-kali kubaca, dan aku menoleh pada bunda Bulan yang menggelengkan awannya kepadaku. Menyuruhku segera pulang. Kadang aku pulang agar ibuku tak memarahiku, kemudian esok hari aku kembali lagi. Esok hari aku kembali duduk di kursi putih di dermaga biru itu..., hari-hari dimana aku tak lupa memulaskan blush-on warna tembaga di tulang pipi dan lipstik cherry bite ke bibir tipisku, siap-siap dengan senyum termanisku. agar aku selalu siap cantik saat kamu tiba-tiba datang menjemputku.


Dan suatu hari itu, ... kamu datang. Sebuah kapal tak besar dan tak kecil merapat di dermaga ini. Kapal pertama yang merapat, yang membutuhkan jangkar untuk mengokohkan. Kamu turun dari kapal itu, menghadirkan senyum khasmu, dan bunga crissant di pelukanmu. Lantas, melebarkan pandangan ke penjuru arah. Matamu melebar menyempit. Mungkin, aku terhalang oleh cahaya senja. Tapi aku melihat jelas alismu. Aaah... kamu mencari aku!!!!!! Tahukah kamu, saat itu, aku ingin berlari memelukmu. Aku ingin menenggelamkan kepalaku dalam dadamu. Andai, ego-ku berkata, baiklah akan kulakukan. Tapi tak kulakukan. Aku hanya duduk terpaku di kursi itu. Dengan coklat cadbury yang hampir melesak ke mulutku... aku terdiam. Hanya memandangmu lekat-lekat. Apakah kamu berjalan mendekat?? Dan ya.... kamu mendekatiku. 10 meter dari tepi dermaga. 9 meter. 8 meter. 7 meter..... 30 cm... dari ujung hidungku. Aku tak percaya..ada kamu, dengan rambut ikalmu, berdiri di hadapanku. Aiiih..Cupid pasti tidak sedang ngantuk dan melesatkan panah asmaranya ke aku. Tapi iya... ada kilau di matamu. Kamu memang mencari aku.. memang kamu. Seketika rencana penyambutanmu, yang sudah kupersiapkan sejak lama, seperti dihapus oleh angin. Burung-burung gereja menertawaiku dari pucuk tiang listrik. Mungkin, dia heran, koq aku bisa-bisanya diam setelah penantian panjangku.


Satu hal yang aku suka, kamu datang.... masih dengan topi base ball mu, t-shirt dan jeans sekenamu. Yayyyy... aku suka gayamu. Kamu tepat seperti di bayanganku. Tapi tanpa kacamata ataupun topeng muka. Aah, tak apa, toh, kamu bukan tuxedo bertopeng nya Sailormoon atau rudolfonya Little Missy. Kamu, 30 cm di hadapan hidungku. Rambut ikal, dan kulit yang sedikit terbakar. Dan bayangan yang mengikutimu, mengangguk kepadaku. Lantas, kita tercekat. Menahan sesak, rindu yang dalam. Dan kamu membuka percakapan. Sebutir air mata tanpa izin meleleh di pipi gembilku. Dan kamu, berkata “ Hai.. apa kabar?”. Aku masih diam. Aku pikir aku masih bermimpi tentang kamu dari kasur tempat tidurku. Mencubit sedikit tanganku. tapi ternyata kamu ada. Aku pun tersenyum.... manis.. hangat... dan santun, seperti layaknya putri yang menanti pangeran. “ hmm.. oh.. ya.. hmm.. ba..ik” . Memiringkan kepalaku, lalu kemudian kemballi duduk di bangku dermaga itu. Tanpa dipersilahkan duduk, kamu pun duduk 30 cm dari posisiku. Meletakkan wajahmu di depan wajahku. Memandangku lekat-lekat. Aku pun menjatuhkan wajah pada kaki. Tahukah kamu... aku malu , tauuuu??
aku hampir saja menutup wajahku dengan telapak tanganku. tapi kamu buru-buru dengan beraninya menyentukku ujung jarimu pada daguku. sekali lagi aku tersenyum. Malu.
kemudian menatap kedalaman matamu. mencari-cari. siapa kamu...???


Tapi..oh.. sayangku, mengapa ku lihat ada bekas luka di wajahmu. Kusentuh lukamu..dan kamu meringis.. menahan pedih. Seketika aku tahu...betapa panjang perjalanan dan betapa sulit untukmu menggapaiku. Mungkinkah kamu harus mengarungi samudera dan mendaki gunung untuk bertemu denganku?? Ataukah kamu bertarung dengan naga raksasa dengan api yang menyembur??? Atau mungkin kamu harus singgah pada suatu dermaga lain, berpikir untuk menetap disana untuk selamanya, tapi kemudian, ternyata dermaga itu terkoyak oleh suatu badai?? Mungkin saja.. dan kamu memutuskan untuk pergi dari dermaga itu, membiarkan sakit itu diobati oleh waktu, dan masih mencoba mencariku.

akhirnya.. hari itu.. aku mengenalmu. Membiarkan kamu masuk dalam duniaku. Menamaimu dengan satu kata yang membuatku malu-malu.. Baiklah, bagaimana bila aku memanggilmu “Kekasih”. Kamu dan aku mengangguk setuju. Jari-jari kita pun berkhianat pada superego dan pesan ibuku.., hari itu, aku membiarkanmu mengenggam jemariku. Seakan kamu tak akan membiarkanku pergi dari dirimu. Lantas, kita duduk bersama di kursi putih dermaga biru itu tadi. Alih-alih bicara tentang perjalananmu dan penantianku. Kita bicara tentang satu tempat dimana kita bertemu dalam mimpi. Satu tempat dimana aku tak melihat bekas lukamu, dan aku mengenakan gaun berenda merah muda silver dan hiasan baby breath di kepala. Satu tempat, dimana sinar matahari selalu hangat, dan bunda bulan selalu penuh. Dan kita berdua duduk pada ayunan, dan menyantap roti bakar selai nanas dan menyeruput kopi hitam. Oh.. aku menamakannya dengan kata yang dicari orang seluruh dunia. Namanya Bahagia.

Pada awalnya, aku masih tidak bisa mencerna mengapa aku memegang rinduku erat-erat kemudian melepaskannya jauh-jauh untuk mendarat di kulit wajahmu. Aku masih tidak bisa mengemukakan rasa dalam bahasa logika, karena kamu seperti diluar rasio terdalam. Intuisiku terbelah, antara menafikkan dogma dan mengagungkan rupa kebebasan. Tapi kamu, dengan ketujuh rupa kasih sayangmu, meluruhkanku. Tapi kamu, dengan sapaan lembut di telingaku, menggelitikku. Aku sedang enggan berdebat dengan waktu, tentang siapa kamu. Tak peduli, dengan cerita masa lalu, aku dan kamu, menautkan jemari, dan berlari menuju bukit. Bukit dimana tak ada satu orangpun yang mengintip dan menertawakan bahasa aneh kita. Tak ada Masa Lalu...., yang menjerat masa depan. Hanya ada rencana dibalik rencana... rencana teraneh dan terburuk sekalipun, berada di bawah meja. Meja usang yang disulap menjadi kemegahan. Dan kita berunding tentang berapa banyak bintang yang akan kita tabur di langit rumah kita.

Aku dan kamu masih berjalan...
Diatas tanah air negeri kita.

Sayangku.. bolehkah aku tidur dengan ada kamu disampingku???
Tentu saja.. kamu harus menggenggam tangan ayahku dahulu...
^_^


Nina
waiting for the Big day..

dan kepercayaanku bahwa Cinta seperti Udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar