Membaca adalah kunci dari pengetahuan. Peranan membaca ini sangat penting bagi semua orang karena membaca dan memahami materi dari berbagai bahan bacaan merupakan sumber untuk mendapatkan informasi. Bahan bacaan dapat dipahami jika seseorang membaca kemudian memahami bacaan itu dengan pengertiannya sendiri.
Informasi yang diperoleh seseorang dalam bentuk materi suatu teks akan diolah dan disimpan menjadi sebuah ingatan. Ingatan jangka pendek ( STM) yang diubah menjadi sebuah ingatan jangka panjang memerlukan keterlibatan kerja sistim limbik. Seseorang menginginkan proses belajar ini menjadi sebuah ingatan jangka panjang (LTM).
Biasanya seseorang melakukan berbagai hal untuk menyimpan ingatan tersebut menjadi ingatan jangka panjang, salah satunya dengan mencatat materi pelajaran yang telah dipelajari.
Membuat catatan tampaknya merupakan fungsi yang diharapkan dari kebanyakan pelajar. Mencatat merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan daya ingat. Otak manusia dapat menyimpan segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dirasakan. Tujuan pencatatan adalah membantu mengingat informasi yang tersimpan dalam memori. Tanpa mencatat dan mengulangi informasi, seseorang hanya mampu mengingat sebagian kecil materi yang dibaca atau diajarkan. Namun, pelajaran dasar tentang membuat catatan sangat langka, karena guru di sekolah sudah menganggap siswa sudah cakap dalam keterampilan ini. Sehingga, tidak mengherankan banyak siswa yang memiliki keterampilan yang rendah dalam membuat catatan.
Umumnya seorang siswa, membuat catatan tradisional dalam bentuk tulisan linier panjang yang mencakup seluruh isi materi pelajaran, sehingga catatan terlihat sangat monoton dan membosankan. Umumnya catatan monoton akan menghilangkan topik-topik utama yang penting dari materi pelajaran.Otak tidak dapat langsung mengolah informasi menjadi bentuk rapi dan teratur melainkan harus mencari, memilih, merumuskan dan merangkainya dalam gambar-gambar, simbol-simbol, suara, citra, bunyi dan perasaan sehingga informasi yang keluar satu persatu dihubungkan oleh logika, diatur oleh bahasa dan menghasilkan arti yang dipahami.
Kajian mengenai ingatan jangka pendek memperlihatkan bahwa sekitar 80 persen ingatan mengenai suatu materi pelajaran akan hilang dalam 24 jam. Cara terbaik untuk melestarikan konsep pokok dan rincian yang berkaitan dalam ingatan adalah dengan mengkaji kembali catatan secara berkala. Pengulangan harus dilakukan sering dilakukan, agar catatan itu dapat diingat.
Untuk dapat membuat catatan yang dapat membantu siswa memahami suatu materi, diperlukan teknik-teknik catatan yang tidak biasa. Teknik dalam mencatat ini digunakan pada hampir segala aktivitas yang membutuhkan pikiran, daya ingat, perencanaan atau kreativitas (Soekaji, 2006 ).
Teknik mencatat dapat terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah Note taking suatu bentuk mencatat yang lebih dikenal dengan catat, tulis, susun (CTS).Teknik mencatat ini mampu mensinergiskan kerja otak kiri dengan otak kanan, sehingga konsentrasi belajar dapat meningkat sepuluh kali lipat. Catat , tulis , susun , menghubungkan apa yang didengar atau dibaca menjadi poin-poin utama dan menuliskan pemikiran dan kesan dari materi pelajaran yang telah dipelajari (Bobbi de Porter dan Hernacki, 1999: 152).
Teknik mencatat kedua,yaitu cara yang paling mudah untuk memasuk informasi kedalam otak dan untuk kembali mengambil informasi dari dalam otak. Mind Mapp atau Peta pemikiran merupakan teknik yang dapat membantu proses berfikir otak secara teratur karena menggunakan teknik grafis yang berasal dari pemikiran manusia yang bermanfaat untuk menyediakan kunci-kunci universal sehingga membuka potensi otak (Tonny dan Bary Buzan, 2004: 68).
Teknik mencatat memerlukan kepekaan terhadap struktur dari suatu bacaan . Mengenai pentingnya kepekaan terhadap struktur bacaan ini juga telah ditunjukkan oleh Taylor ( 1982 ). Dari penelitiannya terhadap pelajar-pelajar setingkat SMP ia menarik kesimpulan bahwa umumnya pelajar yang terampil dalam membaca mengorganisasikan recall mereka tentang suatu bacaan sama seperti cara yang digunakan oleh pengarang bacaan tersebut, sedang pelajar yang dianggap kurang terampil membaca tidak mengorganisassikan recall mereka dalam cara yang serupa.
Hasil penelitian Meyer, Brandt, dan Bluth ( 1980 ) juga menunjukkan hasil yang kurang lebih sama. Pelajar yang secara spontan mengorganisasikan tulisan mereka dengan pola organisasi yang serupa dengan teks, akan mengingat lebih banyak informasi ekspositoris dibanding pelajar yang tidak mengorganisasikan tulisan mereka dengan cara yang sama.
Mengingat pentingnya pemahaman bacaan bagi siswa , yang dalam perjalanan pendidikannya akan terus menghadapi teks-teks yang bersifat ekspositoris, maka dianggap perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman terhadap bentuk-bentuk bacaan tersebut.
Untuk mengorganisasikan tulisan dengan maksud untuk memahami suatu bacaan dibutuhkan ketrampilan yang dapat dilatihkan. Mengorganisasikan tulisan membutuhkan kepekaan terhadap struktur bacaan. Maka upaya yang tepat untuk meningkatkan pemahaman bacaan adalah dengan memberikan program latihan agar siswa dapat mengorganisasikan tulisan dari bacaan tersebut kedalam suatu struktur yang sistematis. Program latihan ini dilatihkan dengan maksud agar subyek dapat dengan mudah menyesuaikan struktur bacaan yang dibaca dengan pola yang telah ada dalam sistem ingatan jangka panjangnya, mengorganisasikannya dalam suatu bentuk tulisan yang sistematis, sehingga dapat dengan mudah memahami bacaan.
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
Apakah pemberian Program mencatat dapat meningkatkan pemahaman teks ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian pada sejumlah pelajar sekolah mengengah pertama kelas II di Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimental dengan disain “Randomized two group desain, post test only”.
Variabel independent penelitian ini adalah program latihan mencatat, dengan dua variasi yaitu program latihan mencatat dengan metode mind mapping sebagai kelompok eksperimen pertama dan yang diberi program latihan Note taking ( CTS) sebagai kelompok eksperimen kedua.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pemberian Program latihan mencatat efektif untuk meningkatkan pemahaman teks, dan untuk melihat variasi program latihan mencatat yang mana yang lebih berpengaruh untuk meningkatkan pemahaman teks.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat disumbangkan sebagai gagasan untuk melatihkan mencatat sebagai cara untuk mengoptimalkan efektifitas pembelajaran.
Sabtu, 25 September 2010
Analisis Konflik Pada Perusahaan PT Drydock World Graha diBatam
Pada tanggal 22 April 2010, ribuan karyawan sebuah perusahaan galangan kapal, PT Drydocks World Graha yang berlokasi di Tanjung Udang, Batam, turun untuk berdemonstrasi dan melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Media memberitakan paling tidak 9 orang terluka dan puluhan mobil dibakar. Konflik bermula dari umpatan seorang supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia “stupid” kepada tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja, akumulasi dari rasa kesal terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja asing merupakan faktor terjadinya konflik.
Selain itu, dalam wawancara dengan beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui bahwa perusahaan ini tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas perekrutan tenaga kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang diantaranya meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga kerja asing (perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun. Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU ketenagakerjaan ini juga menjadi salah satu pemicu konflik di perusahaan ini.
Menurut data dari Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi pada tahun 2009, jumah Tenaga Kerja Asing di Indonesia kurang lebih 90.000 orang banyak yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, India, dan negara-negara lainnya. Dengan semakin meningkatnya arus tenaga kerja asing ke Indonesia, maka situasi-situasi multinasional atau multikultural yang rawan terhadap konflik akan semakin banyak tercipta (Dian, 1998). Karena konflik yang terjadi dalam organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998) selain dapat memiliki konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi yang positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin, semangat kerja, kemampuan adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi.
Sedangkan konsekuensi yang negatif adalah menurunnya produktifitas, melemahnya semangat kerja, meningkatnya rasa tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan dalam organisasi. Pada kasus PT. Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut menjadi kerusuhan dan berhentinya produktifitas perusahaan. Kasus ini menjadi menarik karena selain menjadi pemberitaan besar di media massa, kasus ini juga membuka mata masyarakat akan fenomena tenaga kerja Indonesia di negerinya sendiri.
Pada makalah ini, kami akan menganalisa kasus ini berdasarkan perspektif teori konflik bila dikaitkan dengan kerusuhan di PT. Drydocks World Batam. Lebih lanjut kami akan menganalisa faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja indonesia di perusahaan ini dan bagaimana kecenderungan gaya penanganan konflik yang diterapkan oleh PT. Drydocks dalam mengatasi konflik ini. Sehingga diharapkan, kasus ini dapat membuka mata kita akan dinamika konflik dalam organisasi dan penangulangannya.
Konflik merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena dalam suatu organisasi masing-masing individu memiliki perbedaan. Robins & Judge (2008) mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:
• Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain
• Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misal: pertentangan pendapat, kepentingan atau pertentangan antar individu).
• Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan
• Perseteruan
Pertentangan sangat mungkin terjadi karena setiap orang dalam suatu organisasi memiliki pandangan yang berbeda atas tugas dan tanggung jawab masing-masing. Ketika mereka berinteraksi maka konflik menjadi potensial untuk muncul. Konflik dalam organisai dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Konflik positif dapat mendorong inovasi organisasi, kreativitas dan adaptasi. Sedangkan konflik yang sering muncul ke permukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik seperti inilah yang dapat menurunkan produktivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan dan stress dalam organisasi (Gitosudarmo & Sudita, 2000).
Konfik yang menjadi kerusuhan di PT. Drydocks World Graha yang berlokasi di Batam terjadi pada tanggal 22 april 2010. Pada kerusuhan ini, setidaknya 8.000 pekerja Indonesia melakukan demonstrasi dan pengrusakan fasilitas. Selain kantor dan gudang yang dibakar, puluhan mobil juga dibakar. Tak ada korban tewas, tapi setidaknya sembilan orang terluka dengan lima warga asing dan empat karyawan.
Kerusuhan ini dipicu karena seorang pengawas asal India di PT Drydocks World Graha yang memaki pekerja asal Indonesia dengan kata-kata ”stupid” (bodoh). Kemudian, karyawan lainnya mengeroyok pengawas ini, dan melakukan pengejaran kepada pekerja WNA lainnya. Konflik ini merupakan akumulasi dari persepsi pekerja WNI terhadap perbedaan perilaku perusahaan dengan pekerja WNA.
Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal, selama ini pekerja di galangan kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya dengan dana mereka sendiri, upah mereka juga murah dan dipotong oleh agen karena sebagian adalah pekerja outsourcing dan tidak ada jaminan kesehatan. FSPMI, yang membawahi sekitar lima ribu buruh di salah satu anak perusahaan Drydock di Batam meminta ada perbaikan sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada satu orangpun, WNI yang menjadi staf tinggi di perusahaan tersebut. Dalam wawancara tersebut, buruh PT Drydocks World Graha mengemukakan bahwa Diskriminasi terhadap buruh Indonesia jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu, antara lain, terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh Indonesia. Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu ditempati buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak akan didapatkan buruh Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah sarjana (S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan juga tidak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Hal ini juga diungkapkan Ketua Kelompok Kerja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI, Arif Minardi. Arif juga mengemukakan terdapat perbedaan yang mencolok di antara tiga komisi, tenaga asing, tenaga tetap, dan yang dikontrak," usai menelusuri fakta kerusuhan Drydocks World. Dalam level pekerjaan yang sama, TKA digaji dengan standar dolar Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia menggunakan rupiah yang nilainya di bawah TKA. Perbandingan gaji TKA dengan pekerja lokal dalam level yang sama sangat jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar Singapura (sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang sudah berpengalaman lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta.
Ketua PUK Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dalam Kompas (21/04/2010), Nanindah Anggun Hidayatullah juga mengatakan bahwa buruh Indonesia mayoritas ditempatkan di bagian pesuruh dan pertukangan sedangkan level mandor dan penyelia sebagian diisi buruh asing. Padahal, kalau mau jujur, orang Indonesia juga mampu mengisi semua (level) itu,” ujarnya. Selain itu, dalam konteks penanaman modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ternyata juga banyak tidak direalisasikan.
Menurut Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003, pemberi tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Terkait pasal itu, sejumlah buruh menyatakan, banyak perusahaan galangan kapal di Batam yang tidak merealisasikan hal itu. Umumnya, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun.
Sementara itu, pekerja kontrak dibayar per jam, yang nilainya relatif kecil karena terpotong-potong. Subkontraktor menurunkan lagi pekerjaan ke subkontraktor lain, yang bisa sampai sembilan kali sub, sehingga membuat nilai upah pekerja semakin kecil karena dipotong untuk subkontraktor.Tenaga kerja tetap mendapatkan fasilitas pengamanan pekerjaan yang bagus, sedangkan karyawan kontrak harus melengkapi keselamatan diri sendiri.
(sumber dirangkum dari beberapa media cetak, wawancara dengan karyawan PT. Drydocks dan website).
IV.Analisa Kasus
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai intergroup conflict, dimana ada konflik terjadi didalam organisasi antara Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing, dan juga tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks. Konflik yang terjadi merupakan konflik horizontal antara sesama tenaga kerja dan juga konflik vertikal, yaitu antara tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks.
Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum yaitu:
1. Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber konflik yang diekspos oleh media adalah pernyataan dari Seorang Supervisor berkebangsaan India pada perusahaan Drydocks yang berbau SARA yang menyatakan bahwa orang indonesia ‘‘stupid“. Namun sumber konflik yang sebenarnya terjadi bukan hanya menyangkut isu SARA, melainkan adanya permasalahan dalam komunikasi. Permasalahan dalam komunikasi juga dapat dilihat ketika mereka jarang bekerja sama dan berbaur satu sama lainnya seperti yang dikemukakan oleh AB ( wawancara dengan karyawan PT.Drydocks). Masing-masing dari mereka lebih senang berkumpul dan berkomunikasi dengan komunitas asal negara mereka sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi sumber konflik.
McShane (2005) juga mengemukakan bahwa kecenderungan merasa tidak nyaman atau canggung untuk berinteraksi dengan orang atau individu yang berasal dari budaya yang berbeda membuat mereka cenderung menggunakan stereotip untuk mengisi kurangnya informasi yang didapat. Supervisor berkebangsaan India ini menggunakan stereotip dalam menilai bawahannya yang merupakan tenaga kerja Indonesia. Kalimat ”Indonesian Stupid” ini digeneralisasi oleh karyawan lainnya seperti yang dikemukakan dalam salah satu wawancara kami dengan satu karyawan PT. Drydocks. Karyawan ini mengemukakan bahwa ia merasa harga dirinya sebagai bangsa Indonesia terinjak-injak yang juga disetujui oleh rekan-rekan sekerjanya. Dapat dilihat bahwa sumber konflik yang ada juga merupakan adanya perbedaan nilai dan keyakinan diantara mereka. Menurut Tenaga kerja asing, berkata dengan kalimat makian pada satu negara adalah hal yang biasa, tapi bagi orang Indonesia bisa menjadi hal yang diperbesar dan digeneralisasi.
2. Struktur
Konflik antara TKA dan TKI ini bersifat struktural karena mencakup variabel-variabel seperti kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan dalam organisasi, kejelasan yurisdikasi, keserasian antara anggota dengan tujuan, sistem imbalan dan gaya kepimpinanan.
Dapat dilihat wawancara dengan beberapa karyawan PT.Drydock bahwa sebagian besar dari mereka adalah karyawan kontrak yang berasal dari outsourcing. Mereka baru akan diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga tahun bekerja, tetapi tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang karyawan terus diperpanjang kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya. Pada level pekerjaan yang sama, sistem imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber konflik yang besar. Menurut Robbins (2008), ketika perolehan suatu kelompok dipandang merugikan kelompok lain, maka akan terjadi potensi pertikaian yang tinggi. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada perwakilan Orang Indonesia dalam staf tinggi PT.Drydocks yang berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya di Batam. Sehingga, gaya kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang cenderung kepada suatu kelompok juga memperbesar potensi konflik.
3. Variabel Pribadi
Pada wawancara dengan Dosen Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Indonesia, Drs. Iman Sukhirman, M. Si bahwa perbedaan nilai dan keyakinan dalam suatu perusahaan yang dibawa oleh masing-masing individu dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda dapat menjadi sumber konflik, oleh karena itu diperlukan adanya kesamaan pandangan agar masing-masing tidak membawa nilai dan keyakinannya masing-masing, tetapi merasa sebagai satu kesatuan. Terjadinya kerusuhan tersebut juga disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual, emosi dan spiritual quotient yang dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri. Ketiga hal ini termasuk ke dalam faktor penyebab terjadinya konflik yang berasal dari variabel-variabel pribadi. Menurut beliau, tenaga kerja indonesia hanya disuruh bekerja saja, tanpa dibekali ketiga kemampuan tersebut. Sehingga dalam menghadapi konflik, mereka tidak bisa berpikir, bertindak dan berperilaku jernih tetapi langsung meresponnya dengan sikap impulsif, agresi, dan merusak dengan membakar ‘‘lumbung‘‘ yang merupakan mata pencaharian mereka. Hal yang sebaiknya dilakukan bukan dengan cara kekerasan, namun harus menggunakan akal pikiran untuk mengatasi konflik. Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan mereka ditunjukkan dengan cara yang lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum. Untuk menyeret bos india ke jalur hukum harus menggunakan akal dan strategi seperti dengan menyiapkan voice recorder, kemudian memancing supervisor berkebangsaan india tersebut untuk mengeluarkan pernyataan yang menghina dan merekamnya sudah cukup bisa dijadikan cukup bukti. Dengan demikian, keadilan pun akan berpihak pada mereka dengan dikeluarkannya supervisor india tersebut dari perusahaan tanpa harus merusak pabrik yang sudah jelas merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kemudian beliau melanjutkan pernyataannya dengan memberikan analogi kasus demonstrasi karyawan di salah satu perusahaan di Jepang yang menuntut kenaikan gaji, karena dianggap gaji mereka sudah tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diminta perusahaan. Karyawan perusahaan tersebut melakukan demonstrasi berupa mogok kerja hanya pada hari dan jam-jam tertentu. Kerugian mogok kerja yang dilakukan setiap hari tertentu dan hanya selama 2-3 jam tersebut di hitung perusahaan mengalami kerugian milyaran rupiah. Pihak perusahaan kewalahan, karena karyawan tidak melakukan tindakan anarkis, sehingga pihak perusahaan tidak bisa melakukan apa-apa selain bernegosiasi tawar-menawar dalam menyelesaikan masalah untuk mencari kesepakatan bersama antara kedua belah pihak (antara perusahaan dan karyawan).
Jika kondisi dalam tahap I jelas mempengaruhi terjadinya konfik maka tahap kedua yang terjadi adalah konflik yang dipersepsi dan dipersonalisasi. Dapat dilihat pada beberapa pernyataan dari karyawan PT. Drydocks ini antara lain:
I : ’’ Siapa yang gak marah, mba.. coba deh, gaji saya sama ma Mr. X (seorang India) yang jelas-jelas pekerjaannya sama jadi marker. Pendidikan saya malah lebih tinggi dari dia, cuman mang dia bahasa Inggrisnya bagus aja. Selama saya kerja dari awal disitu, saya dikontrak terus gak jadi karyawan tetap. Gak tau sampai kapan saya kerja kayak gini kalo perlakuannya“
B: ‚’’ Rasanya mau saya injek-injek tuh para India ma orang singapur itu mba.. kesel saya ma orang itu. Nasionalisme saya rasanya uuuuu.. mau tercabik-cabik pas dengan orang Indon itu stupid..“
Sehingga dapat dilihat bahwa konflik ini telah dipersepsi oeh mereka secara emosional, dan merasakan kecemasan, tegang, frustasi dan rasa bermusuhan. Emosi memainkan peranan utama dalam membangun persepsi sehingga emosi negatif yang tercipta dapat menurunkan kepercayaan dan interpretasi negatif atas perilaku TKA.
Kemudian tahap ketiga adalah Maksud (Intentions), adalah tahap dimana mereka memutuskan untuk bertindak tertentu. Dapat dilihat disini setelah sekian lama bahwa TKI tidak bekerja sama, akomodatif dan kompromis pada TKA lagi. Pada awalnya, TKI melakukan tindakan avoding(menghindar) konflik dan mengakomodasi kepentingan TKA. Tapi kemudian,tindakan ini menjadi persaingan dengan cara menjatuhkan kepentingan salah satu diantaranya. Dalam hal persaingan untuk mendapatkan tujuannya yaitu perlakuan adil dalam berbagai aspek oleh PT.Drydocks.
Tahap keempat adalah Perilaku yang meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh masing-masing pihak. Upaya kasat mata untuk mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak adalah mulai dari kesalahpahaman kecil dalam hubungan antarpribadi karyawan, terang-terangan menentang, serangan verbal secara kasar seperti yang dilakukan oleh supervisor India tadi, ancaman untuk membunuh supervisor tadi dan ultimatum untuk mengusir para TKA yang berlangsung cepat sesaat setelah serangan verbal, kemudian sampai ke serangan fisik secara agresif. Serangan fisik secara agresif ini ditujukan pada TKA yang kemudian terluka, mobil-mobil yang dibakar, gudang dan infrastruktur lainnya yang dirusak.
Sehingga yang terjadi pada tahap kelima adalah akibat disfungsional yaitu suatu konsekuensi destruktif dari konflik. Sampai akhir April 2010, 70% PT.Drydocks Graha baru bisa beroperasi dikarenakan infrastruktur yang sempat rusak dan tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam beberapa hari dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Denis Welch selaku Chief executive officer dari Drydocks-World South Asia kemudian membuat statemen terhadap apa yang terjadi di Drydocks kepada Pers dan menjelaskan kepada DPR-RI.
Sampai saat ini, berita yang masih terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi sebagai pihak ketiga yang menengahi kasus ini. Menurut beberapa karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi yang mereka inginkan adalah satu penyelesaian yang dapat menciptakan solusi menang-menang. Negosiasi ini disebut negosiasi integratif yang ditujukan untuk menjaga fleksibelitas. Mereka ingin PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah dalam menjalankan UU tenaga kerja yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat Pekerja Metal Indonesia, diharapkan aspirasi mereka tersampaikan. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka ingin kondisi yang nyaman untuk bisa bekerja dengan baik, dihargai dan diperlakukan baik di negeri mereka sendiri.
Menakertrans juga mengupayakan agar para TKA harus mengerti budaya Indonesia dan menghargainya. Cara yang digunakan adalah dengan kembali menyebarkan informasi melalui spanduk-spanduk, pamflet-pamflet untuk mengajak TKA untuk berlaku menghargai Indonesia dan bersama-sama mencapai kedamaian. Menakertrans juga menghimbau untuk memperbaiki komunikasi dan saling memahami. PT.Drydocks juga diminta untuk meninjau ulang kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem gaji antara TKA dan TKI, sistem karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan fasilitas dan tunjangan lainnya yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat mengurangi kecemburuan diantara pihak ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa pendekatan untuk manajemen konflik dapat berupa Reducing differentition, improving communication and understanding, dan clariflying rules and procedures.
Sampai saat ini, belum ada berita dari proses negosiasi diantara pihak-pihak internal PT.Drydocks ini sehingga kami belum bisa menganalisa lebih lanjut tentang kondisi lanjutan pasca kerusuhan 22 April ini.
Kesimpulan :
a. Konflik sering terjadi pada kondisi kerja multikultural dikarenakan adanya pembedaan dan masalah komunikasi diantara karyawan baik horizontal maupun vertikal.
b. Konfllik meningkat ketika terjadi perbedaan nilai dan keyakinan, dan variabel pribadi yang memungkinkan untuk cepat terespon dengan pemicu konflik.
c. Managemen konflik sangat diperlukan unuk meminimalisir konsekuensi disfungsional dari konflik. Dalam hal ini, kepentingan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi yang fungsional.
d. Untuk mencapai kondisi yang fungsional, diperlukan adanya resolusi konflik yang dapat membantu mengembalikan fungsi organisai yaitu dengan cara mengurangi perbedaan, memperbaiki komunikasi dan pemahaman dan mengklarifikasi peran dan prosedur.
Saran
i. Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus memperhatikan perbedaan kultur diantara karyawannya dan kemudian memutuskan cara pendekatan seperti apa yang sesuai untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kepentingan perusahaan.
ii. Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk tetap memenangkan keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang kuat dan cerdas agar bisa memecahkan konflik yang ada.
iii. Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang memperkejakan tenaga kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
iv. Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan berusaha untuk membuka komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir prasangka.
Daftar Pustaka
Gitosudarmo Indriyo Drs., M.Com. (Hons)., & Drs. I. Nyoman Sudita, M.M. (2000). Perilaku Keorganisasian Edisi (cetakan kedua). Penerbit BPFP Yogyakarta.
Liliweli Alo Prof. DR. M. S. (2006). Prasangka dan Konflik. Penerbit LKiS Yogyakarta.
McShane, S.L., & Von Glinow, M.A. (2005). Organizational Behavior, Emerging Knowledge and Practice for the Real World. Boston: McGraw-Hill Irwin.
Pickering, Peg. (2006). How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik). Penerbit Erlangga. Indonesia.
Robbins P Stephen & Judge A Timothy. (2008). Perilaku Organisasi Edisi 12 (Buku 2). Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Ruky Tresnawardhani Dian. (1998). Skripsi : Persepsi Terhadap Konflik, Sumber-Sumber Konflik Antar TKI-TKA Dalam Organisasi dan Gaya Penanganan Konflik Pada Manajer Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok
http://www.bbc.co.uk/indonesia/mobile/berita_indonesia/2010/04/100423_batam.shtml?page=5
http://www.tribunnews.com/2010/04/26/kesenjangan-gaji-dan-fasilitas-jadi-pemicu
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juanita3.pdf
www.drydocksworld-southasia.com
adien.student.umm.ac.id/2010/02/11/teori-konflik/
KOMPAS, Selasa, 21/04/2010
Langganan:
Postingan (Atom)