Visi dasar dari pendirian RSBI
tentu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam visinya tersebut, RSBI menawarkan
sebuah konsep pengajaran yang berbasis International curricullum. Metode
pengajarannya yang berbeda, memang diperuntukkan bagi orangtua yang ingin
mempersiapkan anaknya lebih cakap lebih terampil berbahasa Inggris. dalam
praktiknya ternyata, konsep baik ini, dicurigai sebagai konsep yang melunturkan
nasionalisme anak bangsa.
konsep ini pun dituding, membuat anak yang dari
keluarga mampu, jadi punya kesempatan lebih pintar lagi. diskriminasi lah,
kalau kata yang pihak kontra.
Jadi permasalahan, ketika RSBI hanya sekedar dagangan.
tengoklah sekolah-sekolah yang
asal mengklaim bahwa mereka sudah berstandar internasional. Lantas, memasang
biaya pendidikan yang membumbung tinggi yang tak terjangkau oleh keluarga
Indonesia kebanyakan. orangtua mana yang tak ingin, anaknya berbicara bahasa
inggris dan jago science juga.
Padahal, guru-guru sekolah ini
bahkan masih ngak ngek ngok berkomunikasi dalam bahasa Inggris. koq,
berani-beraninya ya, mengklaim sebagai standar Internasional.
ini pendapat subjektif ya, cmiiw:
1. Nasionalisme , tidak bisa
diukur serta merta karena sang anak belajar bahasa asing. Zaman sudah berubah,
benda modern apa yang sekarang tidak terbumbui dengan kosa kata asing. mereka
akan diajarkan mencintai budaya mereka sendiri, justru ketika mereka bisa
merasakan budaya asing, dan kembali "mengakar" . anak-anak yang lahir dari orangtua Indonesia
atau campuran, namun dibesarkan di luar negeri sekalipun tidak menjamin bahwa
mereka tidak memiliki kecintaan terhadap Indonesia. Bahkan, banyak orang yang telah menyelami
budaya di luar negeri, kembali ke tanah air, malah menikmati mempelajari budaya
negeri sendiri.
Dalam pendidikan, tentu, ini
bukan tugas mutlak para guru. Peran orangtua, justru lebih krusial dalam
menumbuhkan semangat kebangsaan. Saya sendiri
kadang suka sewot, kalau apa-apa semua harus dibebankan pada sekolah. Halo halo,
orangtua... yok ayok sama sama kita didik anak kita. bukan Cuma diajak upacara
bendera. Alih-alih diajak nonton dangdutan tetangga, sekali-kali bisa mengajak
anak-anak mendongeng bersama. Insya Allah, lebih manfaat nemplok di hati.
2. Keluarga kaya, malah lebih punya kesempatan untuk anaknya
lebih pintar. inikan diskriminasi?
lho, bukankah kita tahu. umpamanya nich ya, seorang anak mau
belajar tari balet. kan, kita tahu, bahwa balet itu sekolahnya mahal, dan
perlengkapannya juga mahal. apakah anak dari kalangan yang tidak mampu, akan
sanggup masuk ke sekolah balet dan belajar disitu? bahkan untuk sekedar
mengetahui, bahwa ia punya keluwesan menari, dan bisa saja menjadi penari pun
terkadang mereka tidak.
kesempatan itu memang akan bicara dengan sendirinya.
saya ingat, ketika masih kuliah
di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ada program internasional yang
diselenggarakan oleh fakultas. Bahasa pengantarnya memang bahasa inggris,
mereka pun memiliki waktu belajar di dua kampus, di UI dan di Australia.
bayaran SPP nya tentu pakai dollar. Tapi materi dalam pembelajarannya, sama
dengan program Reguler, dan Ekstensi sekalipun.
Apakah reguler tampak terdiskriminasi? saya rasa tidak, toh,
secara kualitas, mereka yang belajar di program internasional belum tentu lebih
baik daripada yang di kelas reguler.
Ketika kuliah dulu, saya menjumpai rekan-rekan kuliah dari
berbagai latar belakang SMA. Ada yang dari SMA favorit Jakarta, jalur PMDK,
pesantren, SMA standar Internasional, atau bahkan SMA dari pelosok desa. Ibunya
sendiri adalah buruh tani yang pendapatannya
sebulan pun jauh daripada uang jajan seminggu anak-anak yang sekolah di
internasional ini.
Mereka-mereka ini lah yang justru malah bisa mengirim uang
ke desa. Dari beasiswa yang didapatkannya, bahkan satu orang bisa sampai
dua-tiga beasiswa, dari pekerjaan mengajar privat yang dilakoninya, tidak
menyurutkan prestasi akademis mereka di kampus.
Nah, bicara tentang diskriminasi, baru-baru ini saya
mendengar salah satu SD favorit di kota saya ini menggelar acara study tour ke
jakarta dan jogja. Anak kelas 5 dan 6 SD
lho... mereka tentu dengan senangnya bisa jalan-jalan ke tempat-tempat wisata
di Jakarta dan Jogja. yang saya tahu,
study tour ini memang tidak diwajibkan, tetapi tentu saja hal ini, toh, akan
menyisakan perasaan iri bagi anak-anak yang tidak bisa ikut karena orangtuanya
tidak mampu. . Bagi beberapa orang, mungkin akan mudahnya
wara-wiri Belitong-Jakarta, ketika liburan tiba. Tapi toh, pada kebanyakan
orang Belitong lainnya, ada yang belum
pernah meninggalkan pulau ini. Bayangkan, bagaimana ekspresi mereka ketika
teman-temannya bercerita tentang asyiknya perjalanan wisata mereka.
Sewaktu SMA pun, saya yang sempat merasakan duduk di Kelas
Unggulan di sebuah SMA favorit di Jakarta, merasakan hal yang sama. Mengapa di”label”
anak unggulan, anak biasa? Mengapa di”label” lagi nich, anak IPA lebih pintar
daripada anak IPS atau Bahasa?
Inilah Persepsi yang mengsteoretype. Skemanya nyantol di
kepala. Wiii.. anak unggulan, IQ nya tinggi. Wiii..anak IPA, lebih pintar. Sama
seperti definisi kecantikan, siapa yang membuat definisi ini?
They are very adaptable .Hati-hati dengan LABELISASI.. :)
3. Guru-guru yang sedianya sudi meng"akar"kan
dirinya menjadi pendidik bukan hanya pengajar.
Geregetan dengan guru-guru sekarang yang ada aja dijumpai
menggunakan pendidikan sebagai ladang pencarian dana pribadi. Huhh, kalau mau kaya, jadi pengusaha aja.
Senyum-senyum sendiri, lihat beberapa sekolah di daerah yang
sok ikut-ikutan meng"internasionalkan" dirinya. hehehehe, ayo,
gurunya coba tes toefle.. berapa skornya? apalagi kalau disuruh menyampaikan
materi. Sebagian pasti dorong-dorongan.
RSBI “abal-abalL" inilah yang sulit dikontrol, dan
menyebabkan RSBI dihapuskan. Berdasarkan pendapat bahwa RSBI tidak sesuai
dengan UUD 1945, maka RSBI dianggap menyebabkan klasifikasi pendidikan di
Indonesia. Menyebabkan ketidak adilan
dalam pendidikan, begitu pendapat masyarakat. Hal ini, kemudian dimahfumkan
oleh MK, yang kemudian membubarkan RSBI.
Ok, pendapat saya secara mendalam ya..
aaah.. anak-anak hanya akan jadi penonton sahaja. dituntun
ke kiri, ayuk.. didorong ke kanan juga ikut. Kita-kita ini, manusia dewasa
ribut dengan hal-hal yang seakan sebuah pembenaran.
saya sendiri sebagai pribadi yang
cukup lama berkecimpung dalam dunia pendidikan ala anak-anak Jakarta itu, pun
hanya mengurut-urut dada. Keputusan MK untuk menghapus RSBI mungkin ada
benarnya, mungkin juga seperti mengada-ada.
Kalau menurut saya, RSBI itu
hanyalah tools dalam teori scaffoldingnya Lev Vygotsky. Setiap anak, tentu
berhak untuk meninggikan Zone of Proximal Developmentnya (ZPD). ZPD adalah term
yang digunakan Vygotsky yang merupakan range tertinggi, tersulit dari seorang
anak untuknya menguasai suatu materi dengan bimbingan orang dewasa atau teman
yang lebih bisa lah ya. Proses untuk memaksimalkan ZPD ini, bisa dengan metode
apa saja.
Kita lihat ada banyak konsep dalam pendidikan,
sekolah alam misalnya, Pesantren salah
satunya. Semuanya memiliki niat yang baik untuk memaksimalkan potensi sang
anak. RSBi juga tidak serta merta
dicanangkan, perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Mulai dari sarana
prasarana, kualifikasi pengajar, materi pengajaran, dan sebagainya, dengan
standar yang sudah ditetapkan. Apabila dalam
praktiknya, memang dijumpai, individu-individu yang menjadikan RSBI sebagai tools
memperdaya orangtua, menyisakan perasaan diskriminasi dan
sebagainya, maka hal inilah yang mesti dikontrol ketat.
Nah, saya sepakat dengan pendapat
salah seorang rekan, RSBi itu lumbung, apakah bila lumbung itu dihinggapi
tikus, harus dibakar semuanya?
Apakah tidak lebih baik, bagi
kita untuk membasmi tikus dan menjadikan lumbung padi ini benar-benar berfungsi
menyimpan beras terbaik?
Setiap anak berhak mendapatkan
pendidikan yang bermutu dan kuat membangun karakter. Tidak ada garansi dalam
pendidikan. Mengukurnya pun, tidak secara eksperimental.
Mahal atau murah, itu relatif.
Saya tidak yakin bahwa semua RSBI itu mahal.
Output baik dan buruk itu juga
relatif. Seperti yang saya utarakan diatas. Anak-anak yang mesti menaiki rakit
ke sekolah, bisa jadi malah menjadi seorang yang berkarakter bermanfaat bagi
masyarakat.
Saya setuju pendapat M. Furqon,
pengamat pendidikan dari UNS. Kita sebaiknya fokus kepada perbaikan kualitas
pendidikan. Sayang sekali, anak-anak yang ingin belajar, mesti terkotak-kotak
oleh persepsi eksklusifitas yang tidak terdifinisikan dengan jelas.
Setuju, dengan pendidikan
berkeadilan, bukan yang bernilai komersil selalu.
Kita-kita ini yang senyum-senyum,
miris, dan elus-elus dada melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini,
pasti bisa membantu berperan serta dalam pendidikan anak Indonesia. Generasi terbaik dari setiap zaman, akan
selalu hadir dan menjadi pemimpin negara ini. Hanya dan hanya jika, kita turut
andil, tidak hanya mengutuki, mengomentari, dan mensinisi.
Nina.
RSBI.