Minggu, 15 Januari 2012
Ibu
Kata Ibu bermakna sangat dalam. Kita tahu bahwa dalam ajaran agama apapun, kita diwajibkan untuk bersikap hormat kepada ibu, berbakti padanya, dan menjungjungnya sebagai seorang yang tiada duanya untuk disayangi. Ada banyak kata turunan dari kata ibu ini. Ada ibu kandung, ibu kost, ibu negara, ibu kantin, ibu angkat, ibu guru (bu guru), ibu kepala sekolah, ibu menteri, ibu bupati, ibu-nya Prita, ibu-nya Dono, ibu-ibu dan sejuta arti kata ibu. Bahkan kata ibu pun menurun pada kata Ibu tiri.
Skema kognitif yang tertanam dalam benak kita, adalah seorang ibu seperti dalam buku ini ibu Budi. Baik hati, melindungi, arif, bijaksana, pintar masak, lembut, pintar semua pekerjaan rumah, jago mengelola keuangan keluarga, dia segala-galanya deh. Dengan skema kognitif seorang ibu yang seperti ini, sebagai perempuan, tentu saja kita mengarahkan citra ideal seorang ibu menjadi seperti yang disebutkan diatas.
Bagi seorang laki-laki pun demikian, ia akan mencari sosok yang bisa jadi ibu bagi anak-anaknya yang sesuai dengan citra ideal yang diharapkannya. Bagi seorang anak, yang belajar dari lingkungan di sekitarnya, akan mencoba selalu membanding-bandingkan sosok ibu ideal yang diinginkannya dengan ibu yang dimilikinya.
Tentu saja, tidak akan pernah ada ibu yang sempurna.
Menyimak dari meningkatnya kasus ibu yang membuang anaknya setelah dilahirkan, membuat kita terperangah.. lho, Harimau aja tidak akan memakan anaknya, ini koq, manusia tega-teganya membuang darah dagingnya sendiri. Lepas dari gangguan jiwakah, masalah perekonomian kah, malu karena hamil diluar nikah kah, seorang perempuan dianugerahi hormon prolaktin dan oksitosin yang membentuk insting keibuan. Hormon ini produksinya akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya janin dalam kandungan, dan ketika sang ibu menyusui. Tidak seperti binatang, yang hormonnya akan habis seiring dengan bertambah besarnya anak, manusia tidak perlu suntikan hormon untuk membentuk insting keibuan.
Lantas, mengapa manusia yang paling sempurna indra dan akal-nya bisa tega-teganya melakukan hal itu. Saya lantas teringat pada buku yang ditulis oleh Syasya Azisya yang berjudul Rich Mom Poor Mom (2010). Dalam bukunya tersebut, Syasya mengulas tentang seperti apakah Rich Mom dan seperti apakah Poor Mom itu. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW,
“ Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Menjadi seorang ibu adalah menabung investasi, dimana anak adalah “passive income” untuk orang tua diakhirat. Maka dari hadist inilah, seharusnya memicu para ibu untuk berlomba-lomba menuntun putra-putrinya dengan ikhlas mencapai akhlak yang mulia, sehingga kelak akan mengalirlah doa yang tak pernah putus dari anak soleh/ solehah, saat kita berada di alam kubur.
“Al Ummu madrasatul 'ula”, sebaik-baik madrasah adalah ibu. Melihat peran penting seorang ibu di dalam keluarga, maka sangat dibutuhkan sosok teladan yang memiliki kekayaan sejati. Seperti yang dikutip buku ini, yang kemudian diuraikan oleh penulis, menurut Dr. John F. Demartini [h.62] setiap manusia memiliki tujuh anugerah rahasia untuk mewujudkan kebahagiaan. Salah satu poinnya yang dirasa sangat penting untuk dioptimalkan oleh para ibu, yaitu anugerah mental. Melihat perjuangan seorang ibu yang pastinya begitu berat, akan sangat membutuhkan mental yang tahan banting dengan berbagai kondisi yang bisa terjadi di lingkungan diri maupun keluarga. Salah satu hal yang membutuhkan mental kuat, adalah sifat pantang menyerah seorang ibu untuk terus belajar kreatif dalam membimbing putranya menggali potensi.
Perspektif setiap orang tentang Ibu Kaya Ibu Miskin tentu saja berbeda, begitu juga dengan anak-anaknya. Seperti yang dituturkan oleh Fadli dalam buku ini, remaja berusia 16 tahun, "Bagi saya ibu kaya adalah yang memiliki kesabaran, tidak galak dan nggak pernah memaki anaknya sendiri serta mampu menjadi teman atau sahabat bagi anak-anaknya. Sedangkan ibu miskin adalah seorang ibu yang tidak sabar, galak, dan kasar pada anaknya sendiri."
Nah, Kasus ibu yang kasar kepada anaknya sangat mudah dijumpai. Tidak jarang terlihat ibu yang suka memutus keingin-tahuan anaknya, dengan cara memarahi saat si anak berkali-kali menanyakan sesuatu. Atau kasus tentang ibu yang kerap menyumpah-serapahi anaknya setiap kali marah, padahal semua pasti tahu bagaimana bertuahnya ucapan seorang ibu. Betapa menyeramkannya sebuah kata yang terucapkan oleh ibu ketika ia menyumpah. Walaupun tanpa sadar, dengan alasan ingin mengajari anaknya, atau untuk melampiaskan emosi pada anaknya, tentu saja, seorang ibu sangat perlu berhati-hati pada apa yang diucapkannya.
Suatu hari, saya sempat terperangah oleh seorang keponakan yang usianya masih balita, tapi fasih sekali mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. Ia mungkin tidak tahu apa arti dari kata-kata yang tidak pantas diucapkan tersebut, tapi hal yang mengusik benak saya adalah, karena ibu nya sendiri pun sering sekali mengucapkan kata-kata yang tidak pantas tersebut. Anak-anak belajar meniru, dan mengolah dengan gayanya sendiri. Di hari lain, saya sempat terperanjat lagi oleh kejadian dimana sang ibu tega membawa serta anaknya sendiri untuk memasuki rumah orang lain, dan mengambil barang yang bukan miliknya. Tidak itu, saja, ketika dipergoki, ia justru berteriak-teriak, memaki, dan menyerang secara verbal langsung kepada orang yang memiliki barang yang diambilnya. Percaya tidak percaya, tapi entahlah, bagaimana naluri keibuan bekerja ketika ia mencubiti anaknya, atau tega menfitnah anaknya sendiri dengan mengatakan anaknya sakit demi untuk mendapat uang.
Lantas, apa arti kata ibu. Bila kita tidak menyematkan diri kita pada penghargaan setinggi-tingginya pada arti kata ibu.
Nah, sebagai perempuan, saya pun sering bertanya-tanya.
“ Apakah saya akan menjadi ibu yang baik, nantinya? “
Pertanyaan ini sekian tahun mengusik diri saya. Toh, walaupun saat ini, saya dan suami belum dikaruniai anak, saya sudah mendapatkan tiga anak dari pernikahan suami sebelumnya. Resmi sudah, ketika menikahinya, saya pun juga menikahi anak-anaknya. Ketika masih kecil, skema kognitif yang tertanam dalam benak saya pun sama dengan karakter ibu tiri yang diceritakan dalam sinetron dan film-film. Sungguh, tidak pernah sekalipun dalam benak saya bahwa saya (alhamdulillah) berjodoh menjadi ibu tiri.
Saya pun kemudian bertanya, “apakah saya akan menjadi ibu tiri yang baik, nantinya?” dan pertanyaan ini, pun tak akan pernah terjawab menjadi sekedar bilangan biner. Karena jawaban iya dan tidak, hanya terbukti dengan perbuatan. Setidaknya, saya selalu berdoa, semoga saya diberi kesempatan untuk berproses menjadi ibu. Apapun kata turunan dibelakangnya, menjadi ibu adalah pengalaman yang menakjubkan. Dan seiring waktu, realita yang berpijak, saya percaya, manusia tidak perlu sekedar kode DNA untuk mengikatkan diri dalam bahasa kasih sayang keluarga.
Ibu. Apapun kata turunan dari ibu. Ibu adalah penghormatan. Ibu. Apapun hormon yang dikeluarkan endokrin untuk menyelimuti perasaan kasih dan menyayangi, ibu adalah ibu. Darinya kita lahir, tumbuh, dan berkembang. Darinya kita hidup, mengindra kepada bentuk segala rupa dunia. Pelukannya adalah endorphin yang memberi makan jiwa. Usapannya adalah ketenangan yang membawa kerinduan sampai dewasa. Dia adalah inspirasi. Sumber dari bagaimana mata memandang, bagaimana hidung mencium, bagaimana telinga mendengar, bagaimana kulit menyentuh, dan seluruh indra yang dianugerahi Tuhan. Ia membebaskan, menghangatkan, membuka lebar-lebar molekul oksigen, dan membiarkan cahaya masuk lewat celah retina.
Belajar menjadi seorang ibu, tidak hanya sebuah kelas belajar kehidupan yang nyata, tapi juga pengakuan bahwa kesempatan untuk berproses menjadi lebih baik itu selalu ada. Seiring dengan proses menjadi ibu, kita akan belajar mengenali diri kita. Ibu seperti trigger penyemangat, juga katalisator emosi dalam keluarga. segala perasaan berkecamuk, berpusat pada aura-aura seorang ibu. Tentu saja, seperti yang telah dikemukakan oleh Syasya Azisya, menjadi ibu adalah investasi tiada duanya. Alih-alih menuntut anak untuk tidak durhaka pada orangtua, terkadang pertanyaan saya sebaliknya,
“Apakah ada orangtua yang mengakui bahwa ia durhaka pada anaknya?”
Biarkan kita bermetarmorfose..
Semoga hari ini, bahasa kasih kita sedikit lebih lembut dan waktu akan mengiringi setiap kata yang terucap, setiap perbuatan, setiap niat yang terpetik dalam hati.
Mari menjadi Ibu yang Baik..
Semoga dan Selalu Tuhan mendengar pinta kita..
Bismillah
Amin
Nina,
Pagi hari menuju siangnya,
Tak perlu kukatakan bahwa aku tak mengenalmu.. tapi entah mengapa sulit memahamimu.
sumber gambar
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjubd46AU2VvS9YCzxksXj2UWWkX5A1b1TGYNO949BnPI_cJ0mP2m9PQOF4oQE9hQyE1Q0ticMsNLzp5cCv_uQkg2OIk3WbooUW1yloTbD_C9C0E9dahJHhiEpug8dXaRaSgaV-tNhM2o0/s1600/mother-and-child1.jpg
Langganan:
Postingan (Atom)